Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Suara Hati Perempuan Kepala Keluarga

4 Februari 2021   21:34 Diperbarui: 4 Februari 2021   21:53 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan kepala keluarga memikul tanggung jawab tunggal menghidupi keluarganya. (foto dokumentasi pribadi)

Selama ini pria selalu diposisikan sebagai kepala keluarga yang identik dengan pencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Faktanya, tidak sedikit perempuan yang mengambil alih peran kepala keluarga. Berbagai alasan melatarinya.  

Siang itu Sumirah melepas lelah dengan berbincang bersama pedagang lainnya. Sesekali Sumirah melangkahkan kaki mengingat ia duduk dalam waktu lama sedari pagi. “Lutut saya kadang sakit kalau duduk dalam posisi ini,” tutur Sumirah saat dihampiri penulis.

Bermodalkan tampah, ember, dan kursi kecil Sumirah menggelar dagangannya. Saat itu tersisa tujuh ikan mujair kecil. Sumirah berharap masih ada pembeli yang mendatanginya. “Setiap hari suami menjemput karena saya nggak bisa jalan jauh. Apalagi tahun lalu saya operasi batu empedu,” kata Sumirah yang tinggal di RT 04 RW 02, Sunter Agung, Jakarta Utara.  

Terhitung lebih dari 10 tahun Sumirah berjualan ikan di Pasar Bambu Kuning, Sunter Agung. Tidak ada pilihan lain. Suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit jatuh sakit. Sementara itu tiga anaknya masih bersekolah. “Alhamdullilah suami yang dulunya sakit lambung kronis sekarang mulai membaik,” tutur Sumirah yang berusia 55 tahun.

Saat itu Sumirah sempat bekerja di konfeksi seminggu sekali. Ia juga pernah berjualan makanan di rumah tapi sepi pembeli. Selain itu Sumirah kelelahan memasak. Ia menyerah. “Hasil yang diperoleh belum mencukupi keperluan keluarga,” tutur Sumirah.

Suatu hari beberapa orang menawari Sumirah berjualan ikan gurami yang didapat dari Danau Sunter. Ia menerima tawaran tersebut. “Alhamdullilah hasilnya bisa untuk makan. Alhamdullilah anak-anak sudah selesai sekolah tapi dua anak masih menganggur. Anak pertama sudah punya tiga anak dan tinggal di Cikarang,” ujar Sumirah yang memilih berjualan di Pasar Bambu Kuning yang tidak jauh dari rumah.

Sumirah menyampaikan, ada orang yang mengantarkan 10 kg ikan, ada pula yang mengantarkan 3 kg ikan ke rumahnya. Semua ikan itu dikumpulkan Sumirah untuk dijual. Selain ikan mujair, sesekali ia menjual ikan gabus. Ikan mujair kecil dihargai Rp 25 ribu/kg, sementara itu ikan mujair besar Rp 35 ribu/kg.  “Kalau tidak ada orang yang mengantar ikan, saya nggak dagang,” tutur Sumirah.

Sehari-hari Sumirah berjualan pada pukul 05.30-10.30. Pembeli ramai berdatangan pada pukul 06.00-08.00. “Ikan yang tersisa biasanya saya simpan di kotak pendingin untuk dijual esok harinya,” tutur Sumirah.

Selesai berdagang Sumirah berbelanja bahan makanan di pasar. Sesampainya di rumah ia memasak, mandi, shalat, lantas beristirahat. Di tengah kesibukannya, Sumirah bersyukur masih bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.

Walaupun demikian ada duka yang terselip di balik perjuangan Sumirah. Ia harus pandai mengelola keuangan agar mampu membayar sewa rumah serta tagihan listrik dan air. Tak hanya itu, Sumirah harus menyisihkan Rp 10 ribu per hari untuk membayar sewa lapak.

Selama pandemi COVID-19 beban yang dirasakan Sumirah semakin berat. Sejak Maret 2020 terjadi penurunan omset. Sebelum pandemi, ikan mujair 15 kg yang dibawanya selalu habis terjual. Kini dari jumlah tersebut tersisa 6 kg. “Berjualan itu kadang ramai, kadang sepi.

Cara saya adalah menawarkan ikan ke setiap orang yang dikenal. Kalau tidak ada uang, mereka boleh berutang, terserah kapan bayarnya. Saya pelupa. Tiba-tiba beberapa hari kemudian ada yang  bayar,” ujar Sumirah sambil tertawa.

Perjuangan Sumirah menopang kehidupan keluarganya bukan perkara mudah. Sumirah mengenang delapan tahun lalu ia pernah menjalankan dua pekerjaan. Selesai berdagang jam 9 pagi, Sumirah bergegas pulang untuk memasak. Selanjutnya ia bekerja di sebuah konfeksi di Kemayoran sampai jam 8 malam. “Saya melakukan dua pekerjaan itu selama lima tahun. Sekarang saya fokus jual ikan karena tidak kuat lagi tenaganya,” kata Sumirah.

Sumirah mengungkapkan selama pandemi para pelanggan yang sebelumnya biasa membeli ikan baik untuk konsumsi keluarga maupun warteg mengalami penurunan. Bagaimana tidak, warteg pun sepi pembeli. “Disyukuri saja. Diam di rumah bikin jenuh. Mau tidak mau saya harus menjalani semua ini,” kata Sumirah dengan suara bergetar.

Tantangan lain yang dirasakan Sumirah adalah musim hujan. Situasi itu menyebabkan pembeli berkurang. Itulah risiko orang berjualan, demikian pernyataan Sumirah. “Di rumah kalau ada yang beli misalnya tetangga, saya layani,” tutur Sumirah.

Banyak rencana  yang dirancang Sumirah. Namun ia memilih tetap berjualan ikan. Satu-satunya pekerjaan yang dipandang bisa membantu perekonomian keluarganya. “Kehidupan selama pandemi ini semakin susah apalagi hanya saya yang mencari nafkah, menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga,” ujar Sumirah yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat.

Realitas 

Perjalanan hidup Sumirah sebagai perempuan kepala keluarga bukan hal baru. Realitas yang tidak bisa dihindari sebagai perempuan yang memikul tanggung jawab tunggal menghidupi keluarganya.

Kenyataan menunjukkan, perempuan mau tidak mau, suka tidak suka mengambil alih peran sebagai kepala keluarga dengan berbagai alasan. Suami meninggal, bercerai, ditinggalkan suami dan tidak dinafkahi, suami penyandang disabilitas, suami pengangguran, hingga suami malas bekerja. Sumirah sendiri menjadi perempuan kepala keluarga karena suami yang sakit.

Kehidupan Sumirah menjadi bukti bahwa peran sebagai kepala keluarga, dalam hal ini pencari nafkah utama dapat dipertukarkan. Suami bisa berada di rumah menjalankan aktivitas rumah tangga. Seperti suami Sumirah yang mencuci pakaian dan mengurus rumah selagi istrinya bekerja.

Menjadi perempuan kepala keluarga kini bukan hal tabu. (foto dokumentasi pribadi)
Menjadi perempuan kepala keluarga kini bukan hal tabu. (foto dokumentasi pribadi)
Kini bukan hal tabu melihat istri berkarier di ranah publik sementara suami berada di ranah domestik. Pergeseran peran itu memunculkan fenomena ‘stay at home dad’ di Amerika Serikat atau Eropa. Suami memilih mengasuh anak-anak dan menata rumah tangga lantaran penghasilan istri yang lebih besar. Tentunya dengan pertimbangan anak-anak tetap mendapatkan kasih sayang. Hal tersebut membuktikan bahwa isu perempuan kepala keluarga tidak hanya terjadi di negara berkembang, juga negara maju. Tidak hanya  pekerjaan di sektor informal, juga formal.

Variasi itu bisa dijumpai pula pada pasangan dengan perbedaan usia yang jauh. Suami yang memasuki masa pensiun berada di rumah, sementara itu istri dengan usia produktif masih bekerja.

Apakah lantas kita menormalkan kondisi rumah tangga seperti itu? Mari kita ingat kembali makna konsep jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin, yakni perempuan dan laki-laki berhubungan dengan kodrat. Seorang laki-laki tidak bisa hamil dan menyusui seperti halnya perempuan. Berbeda halnya dengan konsep gender yang berhubungan dengan konstruksi sosial yang bisa dipertukarkan seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Dengan kata lain, fungsi laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga tidak bersifat wajib. Perempuan bisa memilih menjadi kepala keluarga, sebaliknya laki-laki bisa memilih mengatur rumah tangga.

Kurang tepat rasanya menyamakan konsep jenis kelamin dan gender. Menjadi perempuan kepala keluarga bukan berarti menyalahi kodrat. Tidak perlu menghakimi perempuan kepala keluarga. Rangkul mereka sebagai perempuan seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun