Pasal 3 Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, "dalam semua tindakan mengenai anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama".
Pada 2018 Lentera Anak sebagai lembaga independen dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak yang bertujuan mendukung Indonesia sebagai negara demokratis yang ramah anak menemukan fakta, anak-anak berusia 6-15 tahun dikepung oleh brand image rokok pada Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis selama tiga tahun terakhir. "Fakta tersebut memunculkan kekhawatiran adanya pelanggaran hak anak melalui eksploitasi ekonomi," kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari pada Focus Group Discussion "Audisi Badminton: Eksploitasi Anak atau Pengembangan Bakat Anak?" tanggal 30 Maret 2019 lalu.
Selama lebih dari 10 tahun penyelenggaraan Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis, tercatat lebih dari 23 ribu anak terlibat. Pada audisi tersebut mereka diwajibkan mengenakan kaus bertuliskan Djarum dengan huruf kapital di bagian depan kaus. Font dan warna tulisannya sama dengan font dan warna merk rokok Djarum.
Setelah audisi kaus tersebut dipakai dalam kegiatan sehari-hari anak. Tubuh anak dimanfaatkan sebagai iklan berjalan untuk mempromosikan brand image. Secara ekonomi, cara tersebut lebih menguntungkan untuk Djarum dibandingkan beriklan menggunakan spanduk. Jika menggunakan spanduk, Djarum mengeluarkan biaya enam kali lipat dibandingkan kaus.
Anak yang berumur di atas 13 tahun dan orangtua memahami logo dan huruf Djarum pada kaus berasosiasi dengan merk rokok. Sebaliknya anak yang berumur di bawah 13 tahun tidak mengetahui bahwa Djarum adalah merk rokok. Otak anak ibarat spons, menyerap semua informasi yang disampaikan. Jika Djarum dipersepsikan sebagai bulutangkis atau pemberi  beasiswa, mereka akan menerima itu. Anak akan menganggap rokok sebagai produk yang baik dan Djarum adalah perusahaan yang peduli pada pengembangan bulutangkis. Anak  mengikuti audisi dengan motif mengembangkan diri, sayangnya disalahgunakan sebagai media promosi perusahaan rokok.
Awalnya Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis hanya diselenggarakan di Kudus. Sejak 2015 audisi juga diselenggarakan di kota-kota lain, seperti Pekanbaru, Manado, dan Balikpapan. Dalam 10 tahun jumlah peserta naik hingga 13 kali lipat, dari 445 anak pada 2008 menjadi 5.957 anak pada 2018. Namun hanya 245 anak yang memperoleh beasiswa. Dengan kata lain penerima beasiswa hanya 0,01% dari total peserta. Ketimpangan tersebut menunjukkan adanya perekrutan tenaga pemasaran cilik dan pencitraan Djarum sebagai perusahaan yang seolah-olah peduli pada bulutangkis. "Masih ada orang yang belum paham dan menganggap acara yang disponsori rokok selama itu positif patut diapresiasi," ujar Lisda.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan arti 'eksploitasi ekonomi', sebagai berikut tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis merupakan bentuk eksploitasi anak secara terselubung dan berlangsung masif.
Hentikan EksploitasiÂ
Pada kesempatan tersebut, Psikolog Liza Djaprie menyampaikan perihal subliminal advertising, strategi persuasi yang populer digunakan agensi periklanan dengan stimulus visual, audio maupun visual audio yang diserap dan diproses secara tidak sadar menembus benak konsumen tanpa rintangan dari superego sehingga mempengaruhi perilaku konsumen dalam memutuskan apakah akan membeli atau menggunakan produk atau jasa tersebut atau tidak. Iklan yang diulang-ulang secara berkala dapat membuat masyarakat mengingat brand tersebut dan meningkatkan brand awareness-nya.
Pada usia kurang dari 18 tahun, kemampuan analisis anak belum berkembang maksimal. Hanya kemampuan emosi yang berkembang. Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis menimbulkan kebingungan proses analisis pada anak. Mereka belum mampu membedakan apakah rokok itu adalah zat adiktif berbahaya atau Djarum sebagai brand yang baik.
"Melalui marketing yang mengokupasi alam bawah sadar, Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis mengkomunikasikan rokok sebagai barang normal. Djarum dinilai sebagai industri yang mensukseskan olah raga Indonesia padahal rokok adalah epidemi global dan mengancam bonus demografi," ujar Editor Senior Tempo Bagja Hidayat.
Berkaitan dengan temuan tersebut, Lentera Anak mendesak Djarum Foundation sebagai penyelenggara Audisi Beasiswa Djarum Bulutangkis untuk menghentikan eksploitasi anak dalam segala bentuk termasuk menjadikan tubuh anak sebagai media promosi mengingat anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi.
Lentera Anak mendesak pemerintah untuk menindak tegas penyelenggara Audisi Beasiswa Djarum Bulutangkis dengan menghentikan kegiatan yang berpotensi mengeksploitasi anak. Selain itu pemerintah, masyarakat, keluarga, pendidik, dan semua pihak harus terus mewaspadai dan tidak terjebak dalam kegiatan promosi terselubung produk rokok sebagaimana yang terjadi pada Audisi Beasiswa Djarum Bulutangkis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H