Desa Kutuh menjadi contoh desa yang sukses mengelola sebuah kawasan hingga membawa banyak manfaat untuk masyarakatnya. Masyarakat yang dahulu hidup sebagai petani rumput laut, kini mampu bangkit dari kemiskinan melalui objek wisata Pantai Pandawa.
Minggu, 1 Juli 2018. Waktu menunjukkan jam 10 pagi. Para blogger yang bergabung bersama rombongan dari Kementerian Koperasi dan UKM bersiap meninggalkan hotel. Perlahan bus melaju dari Denpasar menuju Pantai Pandawa. Pantai yang berlokasi di Kabupaten Badung tersebut ditempuh dengan melewati Jalan Tol Bali Mandara. Jalan tol pertama di Provinsi Bali tersebut menghubungkan  Nusa Dua, Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, dan Benoa. Saat memasuki jalan tol, di kiri dan kanan kami terhampar lautan. Jalan tol sepanjang 8 km tersebut telah lima tahun beroperasi. Tampak di kejauhan hilir mudik kapal pengangkut barang.
Perjalanan menuju Pantai Pandawa ditempuh selama 40 menit. Setelah melewati barisan rumah penduduk, kami memasuki area dengan tanaman liar. Jalan masuk ke Pantai Pandawa diapit dua tebing tinggi. Terdapat patung Dewi Kunti, Dharma Wangsa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dari tempat parkir bus ke pantai tak butuh waktu lama. Pasir putih dan ombak biru menyambut kami. Di sepanjang pantai disewakan kursi berjemur dilengkapi payung. Saat itu Pantai Pandawa cukup ramai oleh pengunjung baik turis lokal maupun mancanegara. Mereka asyik berswafoto, bermain air di tepi pantai, hingga bersantai menikmati semilir angin. Sayangnya pengunjung dilarang berenang hingga ke tengah. Pasalnya ombak yang tinggi dinilai membahayakan.
Pantai Pandawa dipenuhi kios yang menjajakan aneka makanan, pakaian, hingga souvenir. Penduduk sekitar baik tua maupun muda menjalankan usaha tersebut. Keberadaan kios-kios tersebut membuat pengunjung pun tak kesulitan mencari makanan. Menurut saya harga yang ditawarkan tergolong cukup tinggi seperti yang biasanya ditemui di objek wisata lainnya di Indonesia. Sebagai contoh, semangkuk mie instan yang dipesan seorang teman dihargai Rp 10 ribu. Sementara itu mie instan dengan telur dihargai Rp 15 ribu. Saya sendiri membeli es krim seharga Rp 20 ribu dengan harga standar setengahnya.
Seiring dengan melemahnya usaha rumput laut, tahun 2011 Pantai Pandawa difungsikan sebagai objek wisata. Terdapat sembilan unit usaha desa yang dikendalikan BUMDA secara terintegrasi, yakni Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kutuh, Pantai Pandawa, Gunung Payung Cultural Park, Timbis Paragliding, wisata seni dan budaya, Pecalang Trepti Jaga Buana, pengelola barang dan jasa, Piranti Yadnya, dan Mandiri Transport. Setiap unit  harus mengikuti aturan desa. "Pengelola barang dan jasa membawahi pedagang yang mayoritas menjual makanan dan souvenir," ujar Wayan.
Wayan menyayangkan para pedagang yang hanya mengutamakan keuntungan tanpa memperhitungkan aspek lainnya. Ia mencontohkan, produk sebenarnya bisa dijual Rp 10 ribu tapi dijual Rp 75 ribu. Hal itu terjadi karena pedagang melihat pembeli memiliki banyak uang. Sebaiknya masing-masing pedagang menetapkan harga yang sama. Â Ke depannya kepala desa akan membentuk kelompok yang permanen. Dengan demikian mereka bisa membuat laporan.
Mei lalu Dinas Pariwisata Kabupaten Badung menyelenggarakan Festival Bahari di Pantai Pandawa. Namun Wayan menilai event tersebut kurang maksimal. Penyelenggara sebenarnya memberikan kesempatan kepada pedagang untuk berpameran dengan menyediakan stand gratis. "Pembukaannya hanya di sini tapi kegiatan lanjutan berpindah ke daerah lain, misalnya surfing di Kedonganan sehingga pedagang tidak tertarik," ujar Wayan.
Ekonomi Masyarakat
Wayan mengungkapkan, pedagang di Pantai Pandawa hanya memasarkan, tidak memproduksi barang. Padahal Pengelola Kawasan Wisata Pantai Pandawa ingin membuat wisata edukasi dengan merekrut beberapa orang sebagai karyawan. Namun masyarakat menolak. Mereka menilai berdagang lebih cepat menghasilkan uang. Berbeda saat menjadi petani rumput laut dengan pekerjaan berat dan tantangan alamnya. Selain itu masyarakat harus menunggu panen untuk mendapatkan uang. "Berdagang itu membantu ekonomi masyarakat," tutur Wayan.
Dari sembilan unit usaha desa yang dikendalikan BUMDA, Desa Kutuh meraup keuntungan sebesar Rp 14,5 miliar. Payung hukum unit usaha itu adalah desa adat. Dengan demikian desa tetap bisa menikmati keuntungan. Sejak Maret 2016 Desa Kutuh bekerja sama dengan pemda sehingga 75% penjualan tiket menjadi milik desa setelah dipotong biaya operasional (gaji karyawan, kebersihan, dan keamanan), biaya upacara, biaya pembangunan desa adat, biaya pengembangan dan objek kawasan, dana CSR untuk biaya pendidikan, dana kesehatan, dan dana sosial. Sementara itu 25% penjualan tiket masuk ke pemda. "Setiap bulan kami melakukan monitoring supaya perekonomian desa meningkat. Apalagi biaya ritual itu Rp 3 miliar per tahun," ujar Wayan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H