Membuka Mata
Dalam pandangan saya, film Posesif yang diluncurkan pada 26 Oktober 2017 lalu membuka mata mereka yang berada dalam hubungan tak sehat. Posesif adalah salah satu indikasi bahwa hubungan Anda harus diakhiri. Dengan demikian masing-masing pihak tidak saling tersakiti dan relasi dengan keluarga yang awalnya renggang kembali terjalin.Â
Posesif yang dibarengi dengan kekerasan psikis seperti emosi yang meluap-luap atau kekerasan fisik seperti memukul masuk dalam ranah kekerasan dalam pacaran. Bagaimana mungkin ada kekerasan dalam hubungan percintaan? Posesif tidak hanya diarahkan kepada pacar, juga barang, teman, sampai keluarga. Rasa kepemilikan yang besar menjadikan seseorang ingin objek atau subjek tersebut berada selamanya dalam genggaman. Masalah kepercayaan merupakan penyebabnya. Yudhis tidak mempercayai pernyataan Lala. Ia mencari kebenaran dengan caranya sendiri. Kebenaran tidak didapat, malah menimbulkan petaka baru.
Film Posesif juga mengkampanyekan upaya preventif dari sang ayah yang tidak ingin kekerasan berulang terjadi pada anaknya. Hal itu terlihat pada adegan ayah yang membujuk Lala membuat visum dan melapor ke polisi setelah Yudhis mencekik lehernya. Lala menolak. Adegan ini menunjukkan fakta bahwa selama ini korban cenderung memilih tak mengadukan pelaku ke ranah hukum. Korban khawatir akan mengalami viktimasi baik dari keluarga maupun orang-orang yang dikenal jika melakukan hal tersebut.Â
Diam dinilai korban sebagai cara terbaik untuk memulihkan diri dan hubungannya dengan pelaku. Padahal satu suara bisa menyelamatkan ratusan hingga ribuan korban potensial. Tokoh Lala memberi pesan bahwa dibutuhkan keberanian untuk meninggalkan pasangan yang posesif. Butuh waktu dan proses melupakan pasangan yang telah mengukir momen terindah. Semua itu bisa terjadi. Kembali kepada diri masing-masing. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H