Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaligrafi Tionghoa, Paduan Budaya Arab dan China

23 Agustus 2017   21:01 Diperbarui: 24 Agustus 2017   02:02 4309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaligrafi Muslim China menggunakan huruf Arab dengan gaya Tiongkok (khat ash-shini). (foto dokumentasi pribadi)

Namun, Didin melanjutkan, pasar kaligrafi di Indonesia dikuasai oleh orang Tionghoa non Muslim. Mereka  mengetahui nilai komersil atau tujuan bisnis kaligrafi. Menurut Didin, nilai kaligrafi sangat universal dan unpredictable. Nilai itu relatif, bergantung kesepakatan kaligrafer dan pembelinya. Didin mencontohkan seorang kaligrafer dari Bandung yang berhasil membangun rumah seharga Rp 1 miliar dari hasil penjualan 10 kaligrafi. Abubakar sendiri menjual kaligrafi hasil karyanya dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 30 juta. "Nilai jual kaligrafi yang saya buat dilihat dari ukuran. Semakin besar  ukurannya,  harganya semakin mahal," ujar Abu Bakar.

Masyarakat China Muslim telah melahirkan satu gaya kaligrafi yang merupakan nilai plus. (foto dokumentasi pribadi)
Masyarakat China Muslim telah melahirkan satu gaya kaligrafi yang merupakan nilai plus. (foto dokumentasi pribadi)
Dalam pandangan Abu Bakar, permintaan kaligrafi di China cukup berkembang  dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya  pemerintah Ning Xia aktif  memperkenalkan kaligrafi ke luar China. Dengan demikian semakin banyak orang yang mengapresiasi karya tersebut. Sementara itu  secara keseluruhan regenerasi lebih baik  dibandingkan dahulu. Mulai ada permintaan mengajarkan kaligrafi di sekolah. "Kaligrafi adalah karier seumur hidup saya. Saya ingin terus  menciptakan kaligrafi dan  memperkenalkan budaya Islam," kata Abu Bakar. 

Didin memandang, kaligrafi sebagai koleksi seni klasik yang bernilai tinggi semakin diminati. Orang Tionghoa melihat hal tersebut sebagai peluang dengan mendirikan galeri atau sanggar kaligrafi hingga  pembuatan bingkai kaligrafi. Didin mendorong semakin banyak umat Muslim masuk ke pasar kaligrafi. "Orang  Muslim kalah dalam hal berdagang  dengan orang Tionghoa maka mereka yang menikmatinya," tutur Didin.

Sementara di luar negeri, Didin mencontohkan, seorang pelukis  dari Jepang mampu memasarkan kaligrafi melalui manajernya di Inggris. Kaligrafi tersebut dipasarkan di  London dan negara-negara lainnya. Hal tersebut tak berbeda jauh dengan kaligrafer dari  China yang  aktif memasarkan karya dan laku terjual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun