Namun, Didin melanjutkan, pasar kaligrafi di Indonesia dikuasai oleh orang Tionghoa non Muslim. Mereka  mengetahui nilai komersil atau tujuan bisnis kaligrafi. Menurut Didin, nilai kaligrafi sangat universal dan unpredictable. Nilai itu relatif, bergantung kesepakatan kaligrafer dan pembelinya. Didin mencontohkan seorang kaligrafer dari Bandung yang berhasil membangun rumah seharga Rp 1 miliar dari hasil penjualan 10 kaligrafi. Abubakar sendiri menjual kaligrafi hasil karyanya dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 30 juta. "Nilai jual kaligrafi yang saya buat dilihat dari ukuran. Semakin besar  ukurannya,  harganya semakin mahal," ujar Abu Bakar.
Didin memandang, kaligrafi sebagai koleksi seni klasik yang bernilai tinggi semakin diminati. Orang Tionghoa melihat hal tersebut sebagai peluang dengan mendirikan galeri atau sanggar kaligrafi hingga  pembuatan bingkai kaligrafi. Didin mendorong semakin banyak umat Muslim masuk ke pasar kaligrafi. "Orang  Muslim kalah dalam hal berdagang  dengan orang Tionghoa maka mereka yang menikmatinya," tutur Didin.
Sementara di luar negeri, Didin mencontohkan, seorang pelukis  dari Jepang mampu memasarkan kaligrafi melalui manajernya di Inggris. Kaligrafi tersebut dipasarkan di  London dan negara-negara lainnya. Hal tersebut tak berbeda jauh dengan kaligrafer dari  China yang  aktif memasarkan karya dan laku terjual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H