Visinya orang Papua harus menaklukkan dunia  dengan menari. Di luar sana banyak orang ingin mendengar Papua. Kalau bukan generasi muda, siapa lagi.
Mempelajari tari yospan pada usia tujuh tahun menjadi awal ketertarikan Darlane Litaay, pria kelahiran Sorong, Papua Barat pada  dunia tari. Mengetahui hal tersebut,  sang ayah marah. Pasalnya saat itu tarian identik dengan kenakalan. Selanjutnya ketika  duduk di kelas 1 STM Darlane berkenalan dengan break dance. Sang ayah membiarkan. Berbagai kejuaraan pun dimenangkannya. Pada tahun 2002 Darlane melanjutkan pendidikan di jurusan Teknik Elektro Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta. "Setelah dua tahun kuliah saya bertemu teman streetdance di Sorong. Dari dia saya tahu ada jurusan tari di Institut Seni Indonesia (ISI)," tutur Darlane.
Darlane segera menyampaikan keinginannya untuk mempelajari tari kepada sang ayah. Namun ia dihadapkan pada beragam pertanyaan, 'kamu mau jadi apa dengan menari', 'prospeknya bagaimana'. Darlane tetap  bersikeras mencoba tes masuk ISI. Tak lupa ia berdoa, memohon kehendak Tuhan. Saat mengetahui dirinya diterima di ISI, Darlane yakin bahwa  seni sudah membuka pintu dan ia harus masuk. Banyak tantangan yang dihadapi. Berkuliah di dua bidang yang berbeda hingga  kakak  yang hanya membiayai kuliah di AKPRIND. "Selama di ISI saya  mendapat  beasiswa, juga mengikuti sejumlah pentas yang bisa menambah uang makan," kata Darlane.
Walaupun Darlane sukses menyelesaikan kuliah di AKPRIND dan ISI, keluarga masih berharap ia bekerja di bidang yang berkaitan dengan teknik elektro. Untuk itu Darlane mengukir berbagai prestasi yang akhirnya membuat orangtuanya bangga dan berbalik mendukungnya. Pada tahun 2011 Darlane  memperoleh Hibah Seni Kelola  Kategori Karya Inovatif dari Kelola Foundation dengan karya 'Suiwa Project'. Selanjutnya pada tahun 2014 ia mengulang prestasi yang sama dengan karya 'Puncak Pesisir Telinga Tropis'.Â
Darlane mengakui banyak karyanya dipengaruhi budaya Jawa. Menurutnya spirit tari Jawa tidak hanya  soal gerak, juga  rasa dan penjiwaan. Ada sesuatu yang sangat kontras antara tari Papua yang dinamik dan tari Jawa  yang harus  duduk diam beberapa menit. Hal itulah yang disukai Darlane. Beberapa karyanya merupakan  perkawinan Jawa-Papua, seperti imajinasi keraton  di tengah hutan Papua, orang kribo memakai sanggul, hingga orang Papua mengenakan caping berdiri di tengah  sawah.
Legenda dan tema-tema sosial tentang kepapuaan seperti fenomena  masuknya modernitas mempengaruhi orang Papua menjadi inspirasi karya Darlane. Ia memberi contoh, fakta mama-mama di Papua yang berjualan di bawah sementara para pendatang berjualan di dalam kios. Ketika hal tersebut diangkat ke dalam seni, dalam pandangan Darlane akan semakin memperkuat. "Ada  warna baru yang saya buat," tutur Darlane.
Mengangkat Papua
Sejak 2013 Darlane bergabung di  Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua, Jayapura sebagai pengajar tari. Menurutnya ISBI adalah ruang picu berkesenian. Darlane tak bosan-bosannya menyampaikan kepada para mahasiswanya bahwa lima hingga sepuluh tahun mendatang merekalah yang akan pentas ke berbagai festival tari di Eropa dan Amerika, bukan dirinya. Untuk itu Darlane membagikan seluruh ilmu dan pengalamannya guna membangun diri para mahasiswa. Secara kontinu  ia selalu kembali ke Yogyakarta untuk memetik ilmu baru dan menyebarkannya kepada para mahasiswa. "Kita tidak bisa merangkak, kita harus berlari," tutur Darlane yang mementaskan  'Pig' di International Environmental Theater Project 2013, Namoodak Laboratory Movement, Cheongsong,  Korea Selatan.
Berpijak pada tari,  Darlane mampu  melakukan  akting hingga bermusik. Hal tersebut dilatarbelakangi kejenuhan akan tari Papua dan tari Jawa. Ia mencoba  alternatif, semacam eksperimen dengan hal-hal baru. Ciri khas Darlane yang menjadi pembeda dari penari lain adalah  spesifikasi gerak yang kecil, detail, cepat, dan lincah. "Ke mana-mana saya selalu menari tunggal karena lebih kuat dan fokusnya hanya satu. Bebannya berat, bagaimana membuatnya menjadi  tidak monoton," kata Darlane.
Indonesia sedang dilirik oleh dunia. Menurut Darlane itulah kesempatan bagi seniman Indonesia  menseriusi kesenian itu sendiri. Ia berharap ke depan muncul seniman-seniman baru dari Papua. Banyak orang Papua yang asyik berkarya di luar Papua. Justru  orang Papua harus kembali untuk mengangkat Papua. "Mimpi saya Papua yang  bicara," kata Darlane, asisten sutradara Martinus Miroto dengan karya 'Harmoni Raja Ampat' di Sail  Raja Ampat, Pantai  WTC, Raja Ampat, Papua Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H