Sejauh apapun seseorang melangkah, rindu keluarga tak akan pupus. Sekelam apapun sebuah masa lalu, keluarga selalu setia menanti.
Beberapa kali menonton film Perancis, selalu ada pesan yang bisa dipetik sebagai pelajaran hidup. Menurut saya, film Eropa cenderung mengetengahkan kehidupan sehari-hari yang nyata dibandingkan film Hollywood yang terkesan menjual mimpi. Ketika membaca informasi Komik Kompasiana mengadakan nobar film Juste la Fin du Monde pada 22 Maret 2017 tanpa pikir panjang saya segera mendaftar. Film tersebut merupakan bagian dari perayaan Hari Frankofoni 2017.
Film garapan sutradara Kanada Xavier Dolan tersebut dibuka dengan adegan Louis (diperankan Gaspard Ulliel) berdialog dengan dirinya sendiri saat berada dalam pesawat. Selama 12 tahun keluarga menantikan kepulangannya. Di sebuah rumah di tengah pedesaan seorang ibu bernama Martine (Nathalie Baye) bergegas menyiapkan hidangan terbaik. Hingga suara taksi terdengar jelas di muka. Ibu beserta dua anak dan menantunya menyambut dengan penampilan terbaik mereka.
Mulanya kikuk sampai pelukan Suzanne (Lea Seydoux) memecah keheningan. Mereka larut dalam kegembiraan. Namun itu tak berlangsung lama. Sang kakak Antoine (Vincent Cassel) selalu menginterupsi dengan nada kasar. Seperti yang terjadi saat istrinya Catherine (Marion Cotillard) menceritakan perkembangan dua anak laki-lakinya kepada Louis. Louis yang berharap mendapatkan ketenangan harus menerima fakta adu mulut yang berakhir dengan pertengkaran antara ibu, kakak, dan adiknya. Beruntung Catherine tak pernah lelah mendamaikan hati pria 34 tahun itu.
Louis memandangi setiap sudut rumah yang pernah ditempatinya. Kisah masa lalu yang didongengkan sang ibu semakin meninabobokannya. Membawanya kepada ritual membersihkan mobil bersama almarhum ayahnya setiap hari Minggu. Mengantarkannya kepada masa kecil yang dihabiskan dengan menapaki tanah berumput. Melemparkannya kepada romansa bersama kekasihnya Pierre. Â Â
Usaha Louis menyampaikan kabar di waktu yang tepat kepada keluarganya bahwa hidupnya tak akan lama lagi menemui jalan berliku. Antoine tak bisa menerima alasan kembalinya Louis. Menurutnya Louis selama ini hidup sukses sebagai penulis dalam pelariannya. Antoine merasa Martine dan Suzanne selalu memposisikannya sebagai pemberontak. Sementara itu Suzanne mempertanyakan penyebab kepergian Louis saat dirinya amat  membutuhkan sang kakak sebagai pemandu kehidupan. Louis semakin terpojok ketika ibunya mempersoalkan kontribusinya sebagai anak laki-laki kepada keluarga.
Kerinduan yang selama 12 tahun terpendam bergesekan dengan ketidakcocokan masing-masing pribadi dalam keluarga itu. Antoine yang tak jarang menghardik Suzanne termasuk merendahkan Catherine hingga sang ibu yang berargumen panjang dengan Antoine. Bagaimana dengan Louis? Ia memilih diam, hanya sesekali bersuara.
Louis yang mencoba berbicara dari hati ke hati harus menelan kepahitan dengan kebencian sang kakak yang semakin memuncak. Apalagi Antoine sering mengejek gaya berbicara Louis yang menurutnya terdengar feminin hingga memandang aneh pilihannya sebagai gay. Klimaksnya Antoine memberitahukan kabar meninggalnya Pierre akibat kanker. Louis mengenang kembali kebersamaan mereka. Ia tak mampu membendung air mata yang membasahi wajah tirusnya.
Louis memutuskan kembali ke kehidupan sebelumnya dengan janji keluarganya boleh mengunjunginya kapanpun. Suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya pasalnya Louis merahasiakan alamatnya di perantauan. Derai air mata mengantar kepergian Louis. Ibu dan adiknya tak rela melepas Louis yang hanya sesaat bersama mereka. Terutama Martine yang melihat sosok almarhum suaminya di mata Louis saat memeluknya penuh haru. Mereka berharap Louis sudi meluangkan waktu lebih lama, menebus kebersamaan yang sempat hilang.
Tujuan Utama
Pertikaian yang tak terhitung banyaknya antara Martine, Antoine, dan Suzanne di hadapan Louis rasanya berbanding terbalik dengan kerinduan mereka terhadap sosok si anak hilang. Dengan caranya masing-masing mereka menyimpan semua memorabilia terkait Louis. Seperti sang ibu yang menyusun rapi kartu pos yang dikirimkan Louis. Walaupun terpisah jarak ribuan kilometer, Louis selalu ingat hari ulang tahun dan hari-hari penting dalam keluarganya. Demikian halnya dengan Suzanne yang tak pernah alpa mengumpulkan tulisan Louis yang dimuat di majalah.
Montreal dan Quebec dipilih menjadi lokasi shooting film Juste la Fin du Monde. Menampilkan kehidupan pedesaan dengan boat yang melewati sungai. Suasana berubah dengan dihadirkannya pekerja seks yang tengah menjajakan diri. Permainan emosi yang apik antarpemain mengantarkan film Juste la Fin du Monde pada 12 Maret lalu meraih penghargaan untuk kategori best direction (Xavier Dolan), best supporting actor (Vincent Cassel), hingga best supporting actress (Nathalie Baye) di samping sederet penghargaan lainnya.
Beragam kisah pelik yang terangkai dalam film Juste la Fin du Monde pada akhirnya membawa kepada satu kesimpulan, bahwa sejatinya rumah selalu menjadi tujuan utama untuk kembali. Meskipun bermil-mil jarak ditempuh, beratus-ratus hari dilewati tanpa keluarga, serumit apapun relasi antaranggota keluarga, sesulit apapun upaya menjalin hubungan yang terputus, cahaya kasih  keluarga senantiasa bersinar. Tak pernah letih menopang semua beban yang terasa berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H