Pengetahuan masyarakat Indonesia terkait bencana belum menjadi sikap, perilaku, bahkan budaya. Merupakan tantangan untuk mengkomunikasikan dan mensosialisasikan siaga bencana, salah satunya melalui siaran radio.
Mengapa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memilih sandiwara radio untuk sosialisasi bencana? BNPB ingin mencari sesuatu yang berbeda dengan kementerian atau lembaga lain. Berdasarkan banyak penelitian dan pengalaman, sosialisasi kepada masyarakat akan lebih mudah dipahami dan diterima melalui jalur-jalur informal, terlebih jalur kebudayaan dan kesenian yang disukai masyarakat, salah satunya sandiwara radio. Demikian Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BNPB Sutopo Purwo Nugroho membuka nangkring “Siaga Bencana melalui Media Sandiwara Radio” pada 18 Agustus lalu. Acara tersebut terselenggara berkat kerja sama BNPB dan Kompasiana.
Masih terekam jelas dalam ingatan Sutopo pada 1986 saat duduk di bangku SMP di Boyolali, ia tak sabar menanti sandiwara radio Tutur Tinular atau Saur Sepuh. Termasuk suara Ivone Rose yang lekat dengan perempuan penggoda. Menurut Sutopo, cara tersebut membuat informasi lebih mudah diterima dan diingat seterusnya. Oleh karena itu BNPB menginisiasi sandiwara radio, roman sejarah Asmara di Tengah Bencana karya S. Tidjab. Kisah tersebut mengandung unsur heroisme atau kepahlawanan, romantisme, dan disisipi dengan hal-hal yang terkait masalah bencana. “Ini adalah program BNPB untuk mensosialisasikan siaga bencana melalui siaran radio,” kata Sutopo.
Sutopo melanjutkan, pertimbangan anggaran menyebabkan sandiwara radio tersebut dibuat dalam 50 episode, satu episode berdurasi 30 menit. Sandiwara radio tersebut disiarkan di 20 radio, terdiri dari 18 radio lokal dan dua radio komunitas di seluruh Pulau Jawa mulai 18 Agustus. Pada erupsi Merapi tahun 2010 dan erupsi Kelud tahun 2014, masyarakat berhasil dalam penanganan maupun pascabencana. Mereka cepat sekali bangkit berkat media komunikasi yang sangat efektif, yakni radio komunitas. Itulah yang akan digunakan BNPB sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. “Ingat, media menjadi sesuatu yang penting dalam penanganan bencana,” tutur Sutopo, lulusan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Faktor-faktor tersebut yang selalu dipegang sehingga media menjadi prioritas dalam penanganan bencana. Bagi BNPB media adalah mitra yang strategis. Banyak jalur yang digunakan, baik itu media cetak, televisi, radio, online, dan sebagainya. Kerja sama dengan blogger khususnya Kompasianer pertama kalinya diadakan. “Maka kami ingin saran dan masukan, ide-ide yang menurut rekan-rekan baik untuk kami tampung,” kata Sutopo yang merampungkan S2 dan S3 di bidang hidrologi di Institut Pertanian Bogor.
Mungkin perlu dibentuk komunitas blogger peduli bencana, sebagaimana diusulkan Sutopo, seperti komunitas wartawan peduli bencana (Wapena). Mereka membentuk forum komunikasi di wilayahnya masing-masing, seperti Bali dan Kalimantan Timur. Wartawan dari berbagai media dilatih di provinsi sebanyak dua sampai tiga kali dalam setahun.
Menurut mereka ternyata tidak mudah menangani bencana, seperti mendirikan tenda atau operasi SAR. Tujuan pelatihan tersebut adalah wartawan memiliki pemahaman yang komprehensif baik teori maupun praktik. Tentu saat penulisan akan berbeda sekali ketika memiliki pengetahuan baru. “Saya mohon dukungannya. Program sandiwara radio ini baru pertama kali diadakan. Belum ada kementerian atau lembaga yang membuat semacam ini,” ujar Sutopo.
Apakah masyarakat Indonesia siap menghadapi bencana? Belum. Sutopo memaparkan, pengetahuan bencana meningkat setelah tsunami Aceh. Namun pengetahuan itu belum menjadi sikap, perilaku, bahkan budaya. Masih sangat jauh. Berbeda dengan Jepang yang sudah siap menghadapi bencana. Sebab pengetahuan warganya sudah menjadi sikap, perilaku, bahkan budaya. Ini menjadi tantangan yang besar.
Penelitian menunjukkan kesiapsiagaan masyarakat Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, kebakaran hutan yang setiap tahun terjadi. Atau longsor tahun 2014, 2015, dan 2016, bencana yang paling mematikan. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Karena masyarakat tinggal di wilayah yang rawan longsor. “Mungkin mereka tidak tahu atau tahu tapi tidak ada pilihan lain. Hal tersebut terkait lemahnya penegakan hukum,” kata Sutopo.
Sutopo juga mencontohkan gempa. Jalur sesat hanya terlihat di peta. Kemudian berkembang menjadi permukiman. Ketika terjadi bencana semua ribut. Misalnya, masjid yang dibangun di jalur sesat dengan patahan. Di Jepang semua wilayah yang terendam tsunami tidak boleh dijadikan permukiman. Berbeda dengan Indonesia. Tsunami suatu saat pasti akan terjadi lagi. Pasalnya tsunami adalah bencana biologi dengan siklus 200-300 tahun sekali. Masyarakat Indonesia belum menganggap penting tsunami. Banyak alat peringatan dini yang hilang. Bahkan seismograf di puncak gunung hilang. Tak hanya itu, semua kota di Jepang punya museum bencana. Berbeda dengan Indonesia, sehingga pengetahuan kebencanaan sulit disalurkan. “Ini tantangan dan tugas kita bersama, bagaimana mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat,” kata Sutopo.
Kekuatan Suara
Komunikasi adalah inti suksesnya penanganan bencana. BNPB menggunakan strategi kehumasan, salah satunya media tradisional yakni kesenian rakyat. Dua minggu lalu BNPB mengadakan pertunjukan wayang golek di Ujung Kulon yang dihadiri lebih dari 10 ribu orang. Sebelumnya BNPB mengadakan kegiatan serupa di Banyuwangi yang dihadiri lebih dari 20 ribu orang. Sementara pada 3 September, BNPB mengadakan pertunjukan wayang kulit di lereng Merapi. Masyarakat sangat antusias.
Kesenian rakyat ini sangat menghibur, membuat mereka tahu tentang bencana. “Tidak usah muluk-muluk mengatakan masyarakat langsung siap mengetahui bencana setelah kegiatan. Di Ujung Kulon anak kelas 6 SD tidak tahu lagu Indonesia Raya. Bagaimana kalau ditanyakan tentang tsunami dan sebagainya. Itulah pentingnya sosialisasi penanganan bencana yang dilakukan terus menerus,” ujar Sutopo.
Bila hasilnya bagus BNPB akan menyelenggarakan lagi dengan tema yang lebih baik. Selain itu membuat komik Asmara di Tengah Bencana. Program sebelumnya adalah pembuatan FTV Pesan dari Samudra, kerja sama dengan produser Riri Riza dan Mira Lesmana. Dalam sosialisasinya BNPB selalu menayangkan FTV ini. “Sosialisasi yang kami selenggarakan, diantaranya berkeliling ke sekolah-sekolah,” kata Sutopo.
S. Tidjab menjelaskan, Asmara di Tengah Bencana mengisahkan pasangan yang saling mencintai tapi ditentang oleh keluarga dari dua belah pihak. Beliau ingin menggambarkan betapa sulitnya pada jaman itu pasangan menjalin kasih sampai di pelaminan. Namun pasangan ini nekat. Mereka terus menjalin kasih meskipun gagal ke pelaminan. Momen itu bertepatan dengan meletusnya Gunung Merapi. S. Tidjab ingin memperlihatkan bahwa kisah ini adalah tragedi yang sangat menyedihkan.
Tak ubahnya bencana yang merupakan sebuah tragedi dengan beragam dampak. Seri awal yang berjumlah 30 akan bebicara mengenai percintaan, seri selanjutnya diisi dengan informasi bencana. “Dramatiknya harus dibangun terlebih dahulu. Sandiwara ini mengandung ajaran moralitas, bahwa rakyat biasa asalkan jujur, setia, dan berkredibilitas tinggi mampu memberikan sesuatu kepada orang lain,” ujar S. Tidjab, penulis sandiwara radio Tutur Tinular.
Praktisi radio Achmad Zaini menguraikan, sandiwara radio yang digagas BNPB adalah sesuatu yang luar biasa, membangkitkan kembali kerinduan orang-orang yang berusia 40 tahun ke atas. Achamd mencontohkan dirinya saat kecil sering mendengarkan sandiwara radio. Itu nikmat sekali. Kekuatan radio adalah suara. Suara itu yang membuat pendengar berimajinasi. Ia akan membayangkan jalan ceritanya. Imajinasi itu menempatkan pendengar sebagai salah satu tokohnya. “Faktor lain yang mempengaruhi imajinasi pendengar adalah karakter, dialog (dubber), jalan cerita, musik, hingga sound effect,” kata Achmad, seorang radio consultant.
Achmad senang sekali BNPB memakai sandiwara radio sebagai sarana sosialisasi siaga bencana. Pasalnya sandiwara radio tersebut disiarkan di daerah rawan bencana, seperti Merapi dan Kelud. Daerah tersebut biasanya memiliki paparan media yang sangat kurang untuk sosialisasi bencana. Radio adalah media yang paling dekat karena sifatnya personal, bisa masuk ke setiap rumah, bisa dibawa ke manapun, dan murah. Namun kelemahan radio adalah tidak bisa ditembus oleh frekuensi radio profesional. “Di situlah sebetulnya peran radio komunitas dengan jangkauannya,” tutur Achmad, seorang jurnalis.
Radio Merapi yang sangat sukses dibentuk oleh penyiar di Klaten, Boyolali, dan Magelang pada 2010. Mereka prihatin akan sosialisasi dan kewaspadaan dini warga yang minim terkait bencana Merapi. Setelah dimanage dengan profesional, kini radio tersebut menjadi radio utama dalam menyebarkan informasi mengenai Merapi. Faktor yang mempengaruhi efektivitas penggunaan radio sebagai sarana sosialisasi atau edukasi kepada masyarakat, sebagai berikut, pertama, pemilihan jalur cerita.
Achmad sangat senang dengan jalur cerita yang terkait masalah kebudayaan. Mau tidak mau budaya adalah hal yang mudah masuk ke masyarakat serta mudah dicerna dan diingat. Achmad mengusulkan, karena sandiwara radio ini diputar di seluruh Jawa, ke depan perlu dibuat variasi. Mungkin mengambil alur cerita dari Tanah Pasundan. “Sebab setiap daerah punya fanatisme tersendiri terhadap budaya,” tutur Achmad.
Kedua, sasaran target pendengar radio. Kalau sasaran targetnya adalah usia 40 tahun ke atas, cerita kolosal masih cocok. Mereka memiliki kerinduan tersendiri dengan sandiwara radio. Bagaimana dengan remaja dan anak muda? Apakah mereka mau mendengarkan sandiwara radio? Biasanya anak muda mendengarkan musik dari radio. Itu perlu dipikirkan. Ke depan mungkin bisa dibuat sandiwara radio yang bertemakan kekinian, misalnya tema keluarga yang diselipkan dengan materi edukasi. Hal tersebut perlu dipikirkan karena pendengar radio itu heterogen dari segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sampai taraf ekonomi.
Konten Lokal
Tahun 1980-an sampai 1990-an radio di daerah menyiarkan sandiwara radio dengan konten lokal yang diproduksi sendiri. Hal tersebut sangat membantu penerimaan sandiwara radio di masyarakat. Pemilihan stasiun radio ini penting. Harus diperhatikan sejauh mana radio itu bisa menjangkau pendengarnya di pelosok. Namun terkadang kondisi alam menghambat frekuensi masuk sampai ke pelosok. Radio komunitas memegang peranan. Achamd menyarankan BPNB ke depannya membantu radio komunitas di daerah lain supaya bisa berkembang.
Selain itu perlu dilihat apakah radio memiliki basis pendengar yang cukup baik. Biasanya radio punya data perihal penetrasi siaran, jumlah pendengar, usia pendengar, sampai waktu mendengarkan. Data tersebut bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan jam siar. Perlu diperhatikan pula kualitas daya siar. Semakin kecil power dalam memancarkan siaran radio, frekuensinya semakin jelek. Maka harus dicek kekuatannya. Selain itu promosi program, sejauh mana radio yang ditunjuk ini bisa melakukan promosi program sandiwara radio kepada pendengar dengan menarik. “Misalnya membuat ads clip dengan kutipan sandiwara radio itu, memasang spanduk, atau menempatkan informasi di website atau social media,” ujar Achmad, seorang coach&trainer.
Achmad memberi masukan untuk menyelenggarakan acara off air, semacam temu kangen. BNPB bisa memanfaatkan kesempatan untuk melakukan presentasi. Acara off air sangat penting bagi pendengar. Sebab mereka merasa lebih dekat dan bisa bicara secara langsung. Tak hanya itu, diselenggarakan kuis berhadiah untuk membangun kesetiaan mendengarkan sandiwara radio. Sutradara sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana Haryoko yang memiliki pengalaman panjang, menyampaikan saat ini jauh lebih mudah memproduksi karena kelengkapan yang berbeda dengan jaman dulu. Kekuatan sandiwara radio pada masa lalu adalah jalan ceritanya. Sebab musik dan sound effect sangat terbatas. “Secara teknis sudah terjaga. Hal ini membuat imajinasi pendengar lebih mudah dimainkan karena musik yang kuat dan dramatisasi,” kata Haryoko.
Pada jaman dahulu persaingan tidak seketat jaman sekarang. Saat ini kompetitor radio sangat banyak. Namun bergantung kepada promosi dan sosialisasi sandiwara radio. Sekarang eranya digital. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi tonggak sejarah sandiwara radio kembali lagi walaupun dengan media yang berbeda, seperti streaming. Tokoh yang berjaya pada masa lalu kini tidak muda lagi, salah satunya Ivone Rose. Oleh karena itu Haryoko melakukan penyesuaian karakter. Karakter suara Ivone tidak lagi anak muda yang masih emosional, lebih cocok memerankan lurah. “Kesulitannya adalah tidak ada regenerasi pemain drama radio. Sulit mencari peran muda,” kata Haryoko.
Haryoko menceritakan saat acara off air beberapa tahun lalu, banyak sekali penggemar drama radio yang sangat fanatik. Bahkan seorang tunanetra dari Bali hapal semua dialog ketika diperkenalkan dengan tokoh idolanya. Sulit memaksakan anak muda mendengar drama radio. Sebab banyak sekali pilihan jaman sekarang. Pendekatannya, bagaimana drama radio bisa masuk ke media mereka, misalnya melalui Twitter.
Di akhir diskusi, Sutopo berharap rekan-rekan blogger menulis artikel pencegahan bencana dan kampanye kegiatan prabencana, bukan hanya saat bencana terjadi. Tema itu sudah diliput semua media. Bagaimana dengan tulisan prabencana, risiko bencana yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan itu disebarluaskan. Ingat, penanganan risiko bencana adalah investasi dalam pembangunan. Di Amerika, ada dana yang diinvestasikan untuk penelitian serta kegiatan pengurangan risiko bencana, entah itu sosialisasi, latihan, atau pendidikan. Ternyata cara tersebut mampu mengurangi kerugian bencana. “Di Indonesia belum ada penelitian soal itu,” kata Sutopo.
Sutopo mencontohkan, di Imogiri Kabupaten Bantul saat musim kemarau pohon-pohon selalu merangas, sumur kering, dan banjir. Solusinya adalah membangun bendungan mini dengan biaya Rp 80 juta. Warga gotong royong membiayai sekitar Rp 13 juta. Tiga tahun kemudian BNPB datang lagi, sudah terjadi perubahan total. Terlihat hutan. Seorang warga menyampaikan, warga kerja bakti meninggikan tanggul agar air hujan tidak menggenangi sawah. Kegiatan terebut harus menjadi gerakan sosial. “Semua informasi kebencanaan bisa diperoleh di www.bnpb.go.id. Ada juga BNPB TV, berisi film-film dokumenter,” kata Sutopo.