Mohon tunggu...
senja
senja Mohon Tunggu... Full Time Blogger - freelancer

mendengar-memahami lalu menulis/mengetik sebuah artikel.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mental Ilness dan Rasa syukur: Apa Hubungannya?

23 Januari 2025   17:41 Diperbarui: 23 Januari 2025   19:45 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Ketika seseorang sedang curhat tentang hal yang sangat ia cemaskan ke mereka yang dianggap bisa dipercaya namun mereka belum memahami Mental illness, kecemasan yang Ia dengar akan dianggap sesuatu hal yang berlebihan. Pada seseorang yang terlahir di Tahun 80-90an ataupun sebelum Tahun 80an, fenomena mental illness bisa dikategorikan hal-hal yang berlebihan. Sedangkan mereka sadar tingkat stress setiap harinya semakin meningkat dengan naiknya sejumlah barang dan kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi. Tak jarang merekapun menganggap penyakit mental illness hanya disebabkan karena kurangnya rasa bersyukur. Bersyukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terimakasih kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menyatakan perasaan lega,senang dan sebagainya. Sedangkan Mental illness adalah kondisi kesehatan yang mempengaruhi pemikiran,perasaan,perilaku,suasana hati atau kombinasi diantaranya.
       Memasuki awal Tahun 2025, Nyatanya banyak orang yang masih menyepelekan Penyakit Mental atau Mental Illness dengan kata-kata yang bisa memicu pejuang gangguan mental semakin malu dan takut untuk berobat. Jangankan dihakimi ataupun dicela, terkadang ketika seorang psikiater ataupun psikolog memberikan kata-kata motivasi untuk bertahan atau menyemangatipun masih tidak mengubah pemikiran untuk mengakhiri hidupnya. Memang benar kita sebagai makhluk untuk bersyukur, tapi tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk penyembuhan. Psikolog/Psikiater hanyalah perantara dan semua terjadi akan kuasa Tuhan, namun perlu diketahui merekalah yang ahli dalam bidangnya dalam mendiagnosa dan memberikan solusi sebagai ikhtiar.Mental Ilness perlu adanya penanganan khusus terlebih jika sampai mengalami halusinasi hingga mencoba mengakhiri hidupnya. Maka tak jarang, pejuang gangguan mental akan diberi obat yang hanya dapat diberikan melalui resep dari psikiater.

        Pentingnya pemahaman tentang mental illness bagi masyarakat agar pejuang gangguan mental tidak dihakimi Sedangkan perlunya perlindungan serta dukungan bagi mereka yang sedang menjalani pengobatan maupun terapi agar kondisi mental mereka kembali stabil. Karena penyakit mental tidak hanya sekedar stres, depresi, atau menarik diri dari lingkungan. Banyak penyebab yang harus di cari solusinya. Rasa trauma yang berat dapat memicu rasa cemas, frustasi hingga berteriak tanpa sebab yang jelas. Mudah marah dan menarik diripun juga termasuk Gangguan Mental. Tak hanya yang marah-marah secara berlebihan, mereka yang mengurung diri dan tidur lebih dari 10 jam perharipun bisa dikategorikan memiliki Gangguan Mental.

         Rasa Syukur dapat kita kaitkan dengan Mental Illness manakala pejuang Mental Illness sudah bisa mengendalikan emosinya. Bersyukur ketika bisa berkomunikasi dengan baik. Bersyukur ketika keluar rumah tidak merasakan kecemasan berlebih dan mengontrol emosi ketika ada hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun