Mohon tunggu...
Coach Pramudianto
Coach Pramudianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Idea Practitioner

Mentransformasi cara berpikir untuk menemukan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kolaborasi Guru dan Orangtua Melejitkan Potensi Anak

29 Juli 2023   15:03 Diperbarui: 31 Juli 2023   12:23 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto google diolah kembali melalui Canva

BOSA JOGYA: KOLABORASI GURU DAN ORANG TUA, MELEJITKAN POTENSI ANAK

Hampir 500 orang tua (ayah dan ibu) putra putri siswa kelas X SMA BOPKRI Satu (BOSA Jogya) berkumpul di aula untuk belajar parent as a coach. Kegiatan ini berlangsung setiap semester dan satu-satunya sekolah di Indonesia yang mewajibkan orang tua (ayah dan ibu) hadir bentuk tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Kolaborasi ini ingin berbagi peran antara orang tua dengan pendidik (sekolah). Peran orang tua yaitu MEMUTUSKAN rantai warisan yang buruk dan MENCIPTAKAN model yang baik agar anak memiliki KARAKTER yang diharapkan. Sedangkan peran guru yaitu sebagai partner MEMBERDAYAKAN pikiran anak, agar POTENSI-nya maksimal.

Kebanyakan peran sekolah berbeda atau tidak selaras dengan kebutuhan di lapangan pekerjaan, karena pendidikan kita tidak mengajarkan tentang uang dan kesuksesan. Pendidikan kita sekadar menghasilkan karyawaan yang patuh. Dalam proses pembelajaran yang seringkali terjadi melarang anak mencontek, anak harus bekerja mandiri, tidak boleh membuatkan kesalahan karena ujungnya punishman, melakukan apa yang diperintah, dan setiap soal hanya ada satu jawaban.

 Sedangkan di dunia kerja, orang wajib meniru dan kemudian memodifikasi, orang boleh melakukan kesalahan supaya menemukan produk, layanan dan cara yang terbaik, karyawan tidak bisa bekerja sendiri namun harus melakukan kolaborasi agar terjadi inovasi. Dalam pekerjaan, karyawan harus menemukan berbagai jalan keluar (solusi) dalam berbagai tantangan. Tidak mudah buat guru berperan sebagai pendidik dan coach agar sekolah sejak dini terintegrasi cara berpikir dengan dunia kerja.

Perjuangan yang cerdas sejak tiga tahun yang lalu, Sartana (kepala sekolah BOSA) memperlengkapi guru-gurunya dengan  teknik coaching (Teacher as a Coach)  membangun pola pikir mereka yang growth mindset, menerapkan pola komunikasi yang bertumpu pada presence, active listening, powerful questioning dan think fast, talk smart  ala stanford university. Mengembangkan pola merdeka berpikir dengan belajar design thinking teknik lateral thinking untuk melakukan inovasi sekolah antara lain model marketing sekolah. Melibatkan para orang tua (relationship building) untuk mendidik anak se-pola (model) yang diterapkan di sekolah, yaitu parent as a coach.

Parent as a Coach mengajarkan pola mengasuh anak tanpa 4M 1) Memarahi membuat anak kehilangan daya nalar, teori constraint mengatakan: ketika orang tua memarahi seorang anak, maka saat itu orang tua sedang mendemonstrasikan atau mempertontonkan ketidakberdayaan dirinya di depan anak. Anak tidak minta dilahirkan, orang tua sengaja meminta Tuhan untuk mendapatkan kepercayaan mengasuh anak, namun kenyataannya mereka belum siap, tidak berdaya. 2) Melarang membuat anak tidak berani bereksplorasi, bertindak dan berpendapat. 

Ada 2 kemungkinan yaitu anak tidak mau memberdayakan diri, pasrah diam, namun suatu ketika ada kesempatan justru ia akan mencari apa yang dilarangnya (teori the forbidden fruit). 3) Memerintah membuat anak tidak bertumbuh daya inisiatif dari dalam dirinya. (Theory X), sulit untuk kreatif dan menemukan solusi dalam hidupnya, karena merasa hidupnya sudah ada yang mengatur. 4) Menasihati membuat anak tidak memiliki daya juang, berpikir dan berinovasi. (Transactional Analysis-Ego state). Menjadikan anak patah arang dan kepekaan terhadap kemampuan active listening menjadi hilang (Buku Teacher as a Coach -- Dr. Pramudianto, PCC)

Sekolah BOSA telah bekerjasam dengan Adelaide International School (AIS) memberikan kesempatan peserta didik sebagian waktu studi di BOSA dan AIS (double degree) dan lulusannya bisa mendaftar di perguruan tinggi seluruh dunia. Program ini mempermudah lulusan BOSA kuliah di luar negeri, dan memberi siswa kesempatan memiliki jalur cepat menuju perguruan tinggi di luar negeri tanpa foundation. Sehingga lebih hemat waktu dan biaya.

 Selain itu bekerjasama dengan beberapa sekolah atau universitas di Inggris dan Korea Selatan. Banyak orang tua mengapresiasi atas pola yang dilakukan sekolah BOSA karena menumbuhkan pemahaman yang benar terhadap anak. Bahkan ada yang mengusulkan agar anak diberi pelatihan bagaimana mampu memahami perannya sebagai anak, sehingga terjadi pertemuan kepentingan yang akan menjadi titik pijak berkolaborasi di sekolah dan di rumah.

Ketika saya bertanya, ibu bapak berjuang dan bekerja keras untuk siapa sebenarnya? Semua menjawab untuk anak! Itulah ketidakpahaman orang tua dan menempatkan anak-anak seolah-olah menjadi penting dan prioritas. Padahal itu hanya kamuflase dalam pikiran kita saja, atas ketidakberdayaan kita memahami kebutuhan anak. Kita berjuang dan bekerja keras untuk diri sendiri. 

Jika Anda saat ini sudah berusia 40 tahun, berefleksilah, apa yang Anda inginkan saat usia delapan tahun apa sudah tercapai saat ini (Anda merasa bangga apa yang sudah dilakukan)? Ketika nanti Anda berusia 70 tahun apa ada penyesalan dimasa lampau? Ayah yang tidak belajar PARENTING dengan alasan sibuk, akan jauh lebih sibuk dan kehabisan energi ketika pola asuh Anda ternyata keliru. Ketika istri sudah kewalahan terhadap anak, maka yang terucap tuh anakmu urus sana (hehehehehe), dan seorang ibu harus mempertimbangkan teladan yang seperti apa yang harus diberikan pada anaknya (lihat kaptain Marvel ketika bercakap dengan Maria Rambeau beserta Monica).

Ketika anak bertanya kepada orang tua (ayah), siapa Anda? Semua peserta menjawab ya Ayahmu, ya Papamu. Jika yang ditanya seorang ibu, ya jawabnya saya ibumu, saya mamamu! Sesimpel itu. Hal itu menunjukkan ketidakmampuannya menjawab atas esensi  pertanyaan anak, orang tua tidak memiliki kesadaran sebagai orang tua. Anak-anak bisa menjawab: ya berarti tidak ada bedanya Anda dengan ayah atau ibu temen saya donk! Orang tua baru terhenyak. Orang tua harus memiliki relasi khusus dengan anak-anaknya itulah disebut uniqueness relationship. Bahkan relasi dengan anak satu dengan yang lain, harus memiliki keunikan sesuai dengan kebutuhan setiap anak.  

Sekolah BOSA melalui program Merdeka Belajar berupaya menerapkan relasi yang unik untuk peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan talentanya. Jika orang tua tidak memiliki relasi yang unik tersebut maka semakin lama orang tua tidak dihargai anaknya. Lu gak ada bedanya dengan orangtua (orang yang sudah tua) lainnya. Maka salah satu ibu (peserta) mengatakan, makanya anak-anak kami tidak mau dinasihati. Ketika kami menasihati, mereka bilang: ah ma itu sudah seringkali aku dengar! Orang tua perlu menerapkan sistem komunikasi RASA (Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask.)

foto internal bosa diolah picsart
foto internal bosa diolah picsart

Salah satu peserta mengatakan, kami sadar sayangnya tidak ada sekolah orang tua (sekolah menjadi orang tua), katekisasi pranikah pun tidak cukup mengajarkan menjadi orang tua, hanya diberikan teori-teori dan bacaan yang bersumber pada isi Alkitab. Sekolah di BOSA menjadi unik, karena peserta didiknya berasal dari berbagai etnis di Indonesia dan berbagai agama. Inilah proses pembelajaran yang inklusif seperti yang terjadi di Israel dikenal dengan sekolah "hand in hand" (sekolah bergandengan tangan) yang dibuat Leo Gordon tahun 1977. 

Misinya membangun inklusivitas dan kesetaraan antar warga Arab Israel dan Yahudi Israel melalui sekolah dan mengembangkan komunitas dwibahasa yang egaliter.   Bahasa Arab dan Bahasa Ibrani menjadi pelajaran wajib bagi semua murid, tentunya selain Inggris.

Pada saat dibuka, sekolah hanya mendidik 50 siswa. Pada tahun ajaran 2022-2023, sekolah sudah tersebar di kota-kota  Yerusalem, Galilea, Wadi Ara, Tel Aviv-Jaffa, Haifa, dan Kfar Saba, dan mendidik lebih dari 2.000 siswa.  Tahun ini, ratusan siswa harus masuk dalam daftar tunggu. Sementara  komunitas baru telah terbentuk di seluruh negeri. "Bergandengan Tangan" terus membuktikan bahwa hidup bersama itu mungkin, itu nyata, dan itu terjadi di seluruh Israel sekarang.

Kurikulumnya didasarkan pada nilai-nilai yang mencerminkan budaya dan bahasa, berorientasi pada multikulturalisme dan kewarganegaraan bersama dan setara. Tidak hanya pemerintah, masyarakat dan LSM mendukung keberadaan dan kelangsungan  "Hand in Hand" habis-habisan. Terutama konsentrasi untuk menghapus ancaman terbesar negara itu, yaitu tumbuhnya keterasingan sosial dan kurangnya kepercayaan antara warga Yahudi dan Arab di Israel.  Mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah hal tersebut. 

Sekolah "Bergandengan Tangan" mengajarkan bahwa kebencian dan permusuhan tak bisa dihapus dengan kebencian dan permusuhan yang lain.  Tak juga bisa dilakukan dengan menyeragamkan perbedaan, karena "Keanekaragaman adalah salah satu sumber energi".  Menyeragamkan adalah membunuh perbedaan, mendegradasi level energi menjadi  rendah.  Perbedaan  yang inklusif tidak hanya membuat kelompok menjadi "hidup", tapi juga lebih awet dan tahan banting.  "Kita" lebih kuat dibanding "kami".

Di negeri tercinta ini, pendidikan hendaknya diajarkan mindset merdeka berpikir, karena hal itu sebuah awal dalam merdeka belajar dan mengajar sehingga guru-guru mampu melesatkan anak  pada busur yang tepat untuk mencapai sasarannya. Membawa para siswa "Berkebinekaan global" yaitu mengenal dan mencintai budaya dan negaranya (nasionalisme), menghargai budaya lain, serta mampu berkomunikasi dan berinteraksi antar budaya. Mereka juga melakukan refleksi terhadap pengalaman kebinekaannya, sehingga dapat menyelaraskan perbedaan budaya untuk mewujudkan masyarakat inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Inklusif adalah merayakan perbedaan, mengucapkan "selamat datang" kepada semua orang, karena kasih adalah inklusif, bukan eksklusif. "All are welcome.  Love is inclusive, not exclusive". (Paus Fransiskus). Sebagai orang tua, Anda tidak salah menyekolahkan di SMA BOSA Jogyakarta.

Dr. Pramudianto, PCC (Professional Coach for Education)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun