Kesan pertama menginjakkan tanah di Nusa Tenggara Timur (NTT), bahwa orang-orangnya ramah, murah senyum dan nampak pekerja keras. Kehadiran saya di NTT yang kedua kalinya membutuhkan waktu tujuh belas hari bersama pejabat pemerintah provinsi, bupati, camat, kepala UPT Kemendikbudristek, kepala dinas pendidikan, bimas Kristen di kabupaten, sinode Gereja Masehi Injili di Timor, para pendeta, kepala sekolah, guru-guru dan siswa.
Pertanyaan saya setiap pelatihan yaitu "jika saya seorang tamu di masyarakat NTT, ingin tahu karakter Anda, apa jawabannya?" Â Orangnya keras, kasar, pemalas, suka mendidik dengan marah, menggunakan rotan/alat pukul dan yang lain. Jadi akhirnya saya tahu tentang karakter orang NTT berasal dari siapa? Mereka serentak menjawab "KAMI!", terus image (citra) buruk ini siapa yang membangun? "KAMI orang NTT!" apa dampaknya terhadap saya dan Anda sendiri? mereka mulai bergumul, berpikir dan menjawab "ya.. kami akhirnya mempertahankan image (citra) tersebut dalam perilaku keseharian dan orang luar memahami kami seperti itu dan bahkan perilaku itu kami hadirkan ketika merantau di tanah lain"
Sekarang kita akan ubah, ikutin kata-kata saya "Orang NTT ramah, murah senyum, bekerja keras, pembelajar, baik hati, suka menolong, pintar dan selalu menghargai". Semua peserta menirukan berulang-ulang dan saya kembali bertanya "setelah Anda berkata seperti itu, apa konsekuensinya dalam sikap dan perilaku Anda?" Jawab mereka: kami harus mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Lantas image (citra) apa yang akan diketahui oleh orang luar NTT? Ya image (citra) yang baru, yang baik tentang kami.
Perjumpaan saya dengan berbagai pihak cukup mengagetkan karena saya menemui seorang anak SMP Kelas satu belum bisa membaca dan menulis, dan kondisi tersebut terdapat di berbagai sekolah. Jawaban guru-guru sekolah dasar "ya kami tidak ingin mereka tinggal kelas", pergumulan guru-guru SMP "bagaimana kami bisa mengajar kontennya? Apa kami harus mengajari mereka membaca dan menulis?" Seorang Bupati mengatakan "saya menolak merdeka belajar! Masyarakat kami di sini mau belajar harus di tumbuk (dipukul, dikerasin)".Â
Ini merupakan budaya turun temurun dan menerapkan pepatah "di ujung rotan ada emas" untuk membenarkan tindakan mereka dalam mendisiplinkan anak-anak dengan memukul mereka dengan sebuah tongkat.
Ketika saya memperkenalkan cara mendidik  tanpa 4M (memarahi, memerintah, melarang dan menasihati) hampir semua mengatakan tidak mungkin terjadi di NTT. Secara perlahan saya membuka mindset mereka dan mengajarkan dengan teknik coaching, semuanya baru paham ada metode yang lebih baik, dan mengatakan karena selama ini tidak tahu cara mendidik yang benar selain dengan kekerasan. Kami pikir kekerasan akan membentuk anak menjadi tangguh, ternyata kekerasan membuat anak terluka dan enggan untuk belajar.Â
1) Memarahi membuat anak kehilangan daya nalar, teori constraint mengatakan: ketika orang tua memarahi seorang anak, maka saat itu orang tua sedang mendemonstrasikan atau mempertontonkan ketidakberdayaan dirinya di depan anak. Anak tidak minta dilahirkan, orang tua sengaja meminta Tuhan untuk mendapatkan kepercayaan mengasuh anak, namun kenyataannya mereka belum siap, tidak berdaya. 2) Melarang membuat anak tidak berani bereksplorasi, bertindak dan berpendapat.Â
Ada 2 kemungkinan yaitu anak tidak mau memberdayakan diri, pasrah diam, namun suatu ketika ada kesempatan justru ia akan mencari apa yang dilarangnya (teori the forbidden fruit). 3) Memerintah membuat anak tidak bertumbuh daya inisiatif dari dalam dirinya. (Theory X), sulit untuk kreatif dan menemukan solusi dalam hidupnya, karena merasa hidupnya sudah ada yang mengatur. 4) Menasihati membuat anak tidak memiliki daya juang, berpikir dan berinovasi. (Transactional Analysis-Ego state). Menjadikan anak patah arang dan kepekaan terhadap kemampuan active listening menjadi hilang.
Transformasi pendidikan modern di NTT akan lebih baik menggunakan pendekatan budaya dengan melibatkan tokoh masyarakat, lembaga keagamaan (gereja khususnya GMIT) yang memiliki jutaan umat dan mengelola kurang lebih 600 sekolah (sebelum ada sekolah negeri atau sebelum Indonesia merdeka sudah ada sekolah yang dikelola GMIT). Selain berjumpa dengan murid yang memiliki kemampuan terbatas, saya menemukan guru penggerak yang tidak memiliki kapasitas yang seharusnya bahkan kepala sekolah penggerak yang bertanya pun tidak paham atas pertanyaaannya, bagaimana mungkin guru penggerak mendapatkan akses langsung menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah.
Pemahaman tentang merdeka belajar masih sangat minim, kontradiktif dengan apa yang diviralkan mas Nadiem tentang bagaimana guru bisa (punya hak) mengajar siswa dengan mundur ataupun maju, disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Kenyataannya ketika guru melakukan hal tersebut, tuntutan kepala sekolah secara administrasi harus tuntas kontennya, karena satuan pendidikan dituntut oleh pengawas sekolah hal yang sama. Pengawas tidak dibekali melakukan supervisi dengan memberdayakan sekolah. Kebutuhan di setiap daerah sangat berbeda dan hendaknya pengukuran yang dilakukan untuk para pejabat kemendikbudristek pun harus kontekstual. Di NTT yang dibutuhkan adalah bagaimana mentransformasi budaya mendidik, perubahan mindset dan makna komunitas belajar.