Dunia sekolah terkesan eksklusif, menciptakan sekat antara dunia sekolah dengan alam keluarga dan masyarakat. Anak membantu orangtua bekerja dianggap tidak belajar, anak bermain dolanan dianggap main, bukankah bermain bagian dari belajar? Justru saat sekolah, anak harus dikenalkan langsung dengan kehidupan sekitar. Seharusnya ada korelasi antara sekolah dengan kehidupan di masyarakat dan kehidupan sekitar, sehingga anak bisa siap dan punya life skill untuk bisa survive berkat sekolah.
Bukan tentang sekolah, bukan tentang mau dibawa kemana sekolah, tapi mau dibawa kemana arah pendidikan yang "baik dan benar" bagi anak selama di rumah, jika membicarakan sekolah maka tak henti hentinya untuk selalu dengan tugas dan pemenuhan kurikulum yang rumit dan terkesan malah destruktif (merusak).
Banyaknya beban tugas dan belajar sekolah yang tidak disukai anak disertai kesulitan orangtua dalam mendampingi anak saat belajar bukan membuat anak jadi pintar malah jadi stres, yang mana hal ini bisa menimbulkan ketidakharmonisan antara orangtua dan anak.
Kesempatan orangtua bercengkrama dengan anak seharusnya kebersamaan yang ceria dan menyenangkan, bukan disibukkan memenuhi tugas sekolah anak. Dalam hal ini, perlunya sikap kritis dari orangtua mengenai pendidikan anak di sekolah supaya orangtua tidak asal menurut jika ada hal yang kurang berkenan. Orangtua berhak tahu dan mengevaluasi pendidikan anak di sekolah dengan memberikan kritik dan masukan yang baik dan sopan demi pendidikan yang berpihak pada anak bukan sekolah.
Orangtua sebagai pengganti guru formal sekolah di rumah secara terus-menerus merupakan transformasi pembelajaran yang tidak masuk akal dan pemerkosaan pendidikan yang sudah salah jalur.
Orangtua bukan pengganti guru sekolah, tugas pengetahuan secara formal adalah guru sekolah, kalaupun orangtua punya sumber pengetahuan, tugas berlaku dari orangtua sendiri bukan guru sekolah. Tugas dan pembelajaran sekolah adalah tanggung jawab penuh guru sekolah bukan orang tua. Orangtua sekedar mendampingi, apabila hasil belajar anak tidak memuaskan bukan salah orangtua dan anak, tapi guru sekolah yang memberi tugas.
Melihat latarbelakang pekerjaan orangtua berbeda beda, adanya paksaan meminta dan memenuhi tugas semua pelajaran sekolah anak adalah hal yang dibuat-buat;akhirnya orangtua yang mengerjakan PR bukan anak. Orang tua tentunya punya kesibukan baik di rumah maupun di luar, dan punya tanggung jawab mendidik anaknya sendiri, tapi bukan mendidik layaknya guru formal sekolah untuk mengajar semua mata pelajaran. Terkadang orangtua demi sekolah anak diatasi dengan mengambil les pelajaran di luar sekolah, maka apa fungsi guru sekolah?
Pemerintah seharusnya melibatkan aktif guru, dan guru juga ikut andil dalam menyikapi kurikulum dan sistem pendidikan menyesuaikan kebutuhan anak didik. Pemerintah sudah memberikan opsi untuk tidak menggunakan pemenuhan kurikulum selama pandemi. Mustahil bisa memenuhi standar kompetensi kurikulum di masa pandemi, melihat kondisi yang tidak memungkinkan, mengapa sekolah cenderung memaksakan?
Perlu diingat kembali kabar baru baru ini, berita ibu yang membunuh anak kandung sendiri, memukul anak sampai tewas saat mendampingi belajar daring karena kesal anak tidak mengerti saat diajari, nyawa melayang akibat belajar daring, sekali lagi yang jadi korban adalah anak, sebenarnya tujuan pendidikan sekolah itu apa dan untuk siapa? Bukankah sekolah, guru, orang tua, dan pemerintah ikut berperan dalam membunuh anak? Tidak cukupkah ini adalah bukti gambaran pendidikan sekolah yang miris? Mungkin kita tak pernah tahu berapa data kasus kekerasan anak saat belajar dari daring karena orangtua jadi pengganti guru sekolah di rumah.
Selama pandemi, yang terjadi adalah guru memanfaatkan kuasanya hanya memberi tugas, dan guru sendiri takut tidak memenuhi kurikulum sehingga anak dipaksa mengerjakan tugas untuk memenuhi penilaian kurikulum.
Belajar di rumah selama pandemi saat ini masih berlangsung, dengan melihat kondisi pendidikan yang sampai memakan korban jiwa, paradigma sistem pendidikan seharusnya segera diubah ke arah yang lebih humanis bagi anak.