Mohon tunggu...
Citra Melati
Citra Melati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Guru bahasa inggris dan pengamat sosial.

Kebebasan berpikir dan berpendapat adalah hak setiap manusia (bukan 𝘢𝘥 𝘩𝘰𝘮𝘪𝘯𝘦𝘮). Pikiran tak harus obyektif, pikiran subyektif juga diperlukan di dalam proses menelaah sebuah kebenaran secara bersama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka dalam Belajar (Esai Kritik dan Saran Sistem Pendidikan Selama Pandemi) Bagian 1

1 Februari 2021   09:00 Diperbarui: 1 Februari 2021   13:32 12037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.”

-Ki Hadjar Dewantara- 

Merdeka belajar yang selama ini digembar gemborkan apakah mengandung makna merdeka yang nyata? Bagaimana implementasi teknisnya ?

Dalam pendidikan, merdeka dalam belajar adalah kebutuhan anak. Suatu keharusan dan pentingnya anak merasa merdeka dan tidak merasa terkekang saat belajar. Oleh karena itu, sesuai yang diamanahkan Ki Hadjar Dewantara, siapa lagi kalau bukan tugas pendidik untuk membantu, menuntun, dan memerdekakan lahir dan batin anak dalam belajar.

Masa pandemi diibaratkan masa jeda dari sekolah, selama ini, waktu sekolah hanya terkotak dalam teks buku dan ceramah di kelas. Demikian juga sekolah selama daring hanya terpusat pada banyak penugasan tapi minim bahkan nihil pemahaman pembelajaran, sehingga pembelajaran daring terkesan semu dan hanya formalitas.

Apa yang terjadi anak malah mengalami kendala dan beban lebih daripada masa sekolah biasanya, sekolah hanya berisi beban tugas-tugas yang memuakkan dan menyita waktu dan perhatian (sebagai ganti “waktu” di sekolah) dimana pemindahan pengajaran guru dialihkan ke orang tua dan pemindahan belajar kelas di rumah. Sehingga metode pembelajaran sekolah terkesan memaksakan.

Tugas yang memaksakan, perintah, dan hukuman, itulah sistem pendidikan Indonesia yang masih berjalan saat ini. Anak yang tidak mengerjakan tugas (saat daring), dinilai jelek, tanpa tahu sebab anak itu memang malas atau ada faktor lain. Bisa saja kondisi keluarga yang melatarbelakanginya, atau bahkan pembelajaran dan tugas yang tidak menarik dan kurang menumbuhkan antusiasme belajar anak.

Anak juga terbiasa percaya dan menganggap apa yang guru ajarkan selalu benar dan baik, sehingga anak terbiasa hanya menuruti perintah guru, jarang diberi ruang untuk berpendapat. Penyampaian kritik dan saran dengan sopan dan santun juga diperlukan, tanpa adanya itu tak akan ada anak kritis karena takut mengkritik dan hanya diam jika ada hal yang salah. 

Anak sekedar patuh mengerjakan dan mengumpulkan beban tugas setiap hari tanpa tahu makna belajar sebenarnya. Anak sering dihantui dengan pekikan seperti "Ayo, semangat mengerjakan tugas anak-anak", "Besok, harus segera dikumpulkan", "Bagi yang tidak mengumpulkan tugas, tidak dapat nilai", dimana yang menurut, patuh, dan semangat mengerjakan beban tugas adalah anak yang baik. Mereka melaksanakan perintah karena takut bukan karena kesadaran dan tanggung jawab diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun