Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari gangguan lingkungan rumah yang sulit dikendalikan hingga keterbatasan akses internet di beberapa daerah.Â
Di wilayah-wilayah tertentu, seperti pedesaan di Nusa Tenggara Timur dan Papua, misalnya, sinyal internet yang lemah mengakibatkan proses belajar terganggu, bahkan beberapa siswa harus berjalan ke area tertentu untuk mendapatkan sinyal yang cukup. Akibatnya, kesenjangan dalam pemahaman materi semakin terasa antara siswa di perkotaan dan pedesaan, menambah kompleksitas tantangan pendidikan di era digital ini.Â
Bayangkan seorang siswa yang sebelumnya mengikuti pembelajaran tatap muka, di mana ia selalu bersemangat belajar bersama teman-temannya dan berdiskusi dengan guru. Saat pembelajaran beralih ke daring, Budi mendapati dirinya harus belajar lebih mandiri, mengatur jadwal, dan menyelesaikan tugas tanpa pengawasan ketat. Di satu sisi, ia menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya.Â
Namun, seiring waktu, Budi mulai merasa kesepian dan kesulitan untuk berinteraksi dengan teman-temannya, karena keterbatasan komunikasi yang hanya lewat layar.Â
Ia kehilangan kesempatan untuk belajar bersama, berdiskusi langsung, atau bahkan sekadar bermain di luar kelas. Pembelajaran daring memang membuat seorang siswa lebih mandiri, tetapi dapat juga merasa kurang berkembang secara sosial, menunjukkan bagaimana pembelajaran daring memiliki dampak yang berbeda terhadap perkembangan karakter siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H