Pembelajaran daring membawa suasana yang berbeda di ruang belajar siswa. Di satu sisi, layar komputer menjadi pengganti papan tulis, sementara ruang tidur berubah menjadi kelas. Suasana belajar yang dulu dipenuhi interaksi langsung dengan guru dan teman-teman kini digantikan oleh suara-suara dari speaker dan gambar kecil di sudut layar. Tidak ada lagi tatapan antusias dari guru yang menjelaskan materi, atau canda tawa saat jam istirahat.
Kedisiplinan yang biasanya ditanamkan melalui rutinitas berangkat ke sekolah dan jam pelajaran yang teratur, perlahan memudar di balik kenyamanan rumah. Suasana yang serba virtual ini membuat batas antara waktu belajar dan waktu pribadi kabur, memengaruhi pola kebiasaan dan tanggung jawab siswa terhadap tugas-tugas mereka.
Pembelajaran daring memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kemandirian dalam belajar karena mereka perlu mengatur waktu, menentukan prioritas tugas, dan bertanggung jawab atas proses belajarnya tanpa pengawasan langsung dari guru. Hal ini memungkinkan siswa untuk melatih manajemen waktu dan mengambil inisiatif dalam mengelola tugas-tugas mereka sendiri, yang dapat memperkuat rasa tanggung jawab pribadi. Di sisi lain, pembelajaran daring juga membawa tantangan yang signifikan dalam aspek perkembangan karakter sosial siswa.
Dalam konteks pembelajaran tatap muka, siswa biasanya berinteraksi langsung dengan teman-teman sekelas dan guru, yang memperkaya pengalaman mereka dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan menunjukkan empati. Namun, saat pembelajaran beralih ke daring, interaksi ini menjadi sangat terbatas, mengurangi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal. Sebagai contoh, diskusi kelompok yang biasanya dilakukan di dalam kelas kini digantikan oleh komunikasi virtual yang lebih kaku dan terbatas.
Akibatnya, kemampuan siswa dalam hal toleransi, kerja sama, dan membangun kepercayaan dengan orang lain bisa terhambat, karena mereka tidak lagi mendapatkan pengalaman berinteraksi yang intensif seperti dalam lingkungan fisik. Oleh karena itu, meskipun pembelajaran daring dapat memperkuat kemandirian siswa, kekurangannya dalam aspek sosial menjadi penghalang bagi perkembangan karakter yang holistik.
Pembelajaran daring ibarat mendaki gunung tanpa pemandu di tengah kabut tebal. Di awal perjalanan, siswa mungkin bersemangat dengan kebebasan yang ditawarkan, namun seiring waktu, ketidakpastian arah mulai terasa.
Materi yang disampaikan secara virtual seperti peta tanpa rincian, hanya memberi gambaran umum tanpa kedalaman pemahaman yang jelas. Di tengah “kabut” kesenjangan akses, terutama di wilayah yang sulit mendapatkan sinyal, siswa harus berjuang keras untuk tetap berada di jalur yang benar. Bagi mereka yang beruntung mendapat dukungan teknologi, perjalanan ini mungkin lebih mudah, tetapi mereka yang tidak mendapat akses lengkap terpaksa menempuh jalur berbatu dan sulit.
Setiap rintangan—mulai dari distraksi lingkungan hingga keterbatasan alat—menjadi batu terjal yang menguji ketangguhan mereka. Tanpa bimbingan langsung dari guru, siswa harus mengandalkan intuisi dan usaha pribadi untuk tetap bertahan, berharap kabut ini akan tersingkap agar jalan menuju pemahaman lebih jelas terlihat.
Ruangan tempat siswa belajar di rumah sering kali dipenuhi dengan berbagai benda yang tak terkait dengan proses pembelajaran. Di salah satu sudut, terdapat tumpukan buku, tetapi juga mainan atau peralatan lain yang mengalihkan perhatian mereka. Suasana kelas yang formal berubah menjadi lebih santai, karena mereka bisa belajar sambil berbaring atau mengenakan pakaian sehari-hari.
Di layar, tampak wajah-wajah kecil teman-teman sekelas yang sering kali berkurang fokusnya, dengan latar belakang kamar atau ruang tamu rumah masing-masing. Suasana ini sangat berbeda dengan ruang kelas yang biasanya disiplin, rapi, dan kondusif untuk belajar.
Pembelajaran daring memang memudahkan akses materi, namun juga menyuguhkan tantangan baru dalam penguasaan materi secara menyeluruh. Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2021, sebanyak 58% siswa di Indonesia merasa kurang paham terhadap pelajaran yang disampaikan secara daring dibandingkan saat belajar tatap muka.