"Sebelum datangnya Islam, masalah waris di Arab pada zaman jahiliyah dilatarbelakangi oleh tradisi Arab dengan cara pandang patrilineal, dimana yang dominan adalah kaum laki-laki. Sementara anak-anak, perempuan dan orang tua tidak berhak untuk mendapatkan warisan karena pertimbangan bahwa mereka adalah kaum yang lemah dan tidak bisa berperang. Terlebih lagi, para wanita pada masa itu juga dapat diwariskan. Selain itu, antara suamu istri tidak saling mewarisi," demikian Dr. Yusup Hidayat, dosen pengampu Hukum Waris Islam di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pada masa awal kedatangan Islam, muncul perbaikan sistem terhadap tradisi waris mewarisi masa jahiliyah tersebut. Islam memuliakan perempuan, dan oleh karenanya, perempuan memiliki kedudukan terhormat, dan diperlakukan dengan hormat pula. Perbaikan lainnya adalah dalam hal penentuan waris, yang tidak lagi didasarkan atas kemampuan berperang ataupun kekuatan fisik.
Kemuliaan yang dianugerahkan dalam ajaran Islam terhadap kaum perempuan ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan  mereka karena hendak mengambil Kembali Sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata-nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".  (An-Nisa ayat 19).
Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini  "Orang-orang Jahiliyah dahulu, apabila salah seorang dari mereka meninggal dunia, para walinya merasa lebih berhak untuk mewarisi isterinya. Apabila wanita tersebut tidak mau maka mereka nikahkan wanita itu dengan laki-laki yang mereka kehendaki".
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan ayat ini, terkandung ketentuan yang membela kedudukan kaum perempuan.
Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Hukum Waris Islam merupakan aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya (Zainuddin Ali. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian-bagian ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (a) disebutkan bahwa Hukum Waris Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilihan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan  beberapa bagiannya masing-masing dari harta peninggalan tersebut sesuai dengan ketetapan ajaran Islam.
Perkuliahan siang itu diwarnai berbagai pertanyaan dari para mahasiswa. Perkara waris memang merupakan hal yang sangat dekat dengan keseharian dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Dan yang menarik, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia datang dari berbagai tempat yang berbeda dengan sifat kedaerahan yang melekat pada mereka, karena latar belakang keluarga, misalnya berasal dari suku Padang, Ambon, Jawa, Sunda, Batak, dan lain-lain, dimana ketentuan waris di daerah masing-masing juga berbeda-beda jika diselesaikan sesuai Hukum Adat.
Masuknya ajaran Islam di lingkungan masyarakat Indonesia dilakukan dengan mengharmonisasikan ajaran agama Islam dengan keluhuran budaya setempat, sehingga menimbulkan kedamaian dalam kehidupan yang dapat diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H