"Belum, ini belum case closed. FS punya kesempatan untuk mengajukan banding. Bahkan kalau masih belum puas, FS masih bisa menempuh jalur hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung," demikian penjelasan dosen prodi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.Â
Saya sejujurmya masih penasaran dengan kasus tindak pidana pembunuhan Brigadir J ini, karena belum sepenuhnya terang benderang. Keterangan yang disampaikan saksi-saksi ,yang disaat yang sama juga berkedudukan sebagai terdakwa, menurut majelis hakim, diantaranya ada yang tidak berkesesuaian dengan keterangan FS.
Saya mencoba secara obyektif membayangkan ilustrasi kepanikan FS saat kejadian, yang berlangsung begitu cepat, sebagaimana keterangan yang diberikannya di muka pengadilan.
Masih terasa sulit bagi saya untuk meyakini bahwa FS benar-benar melakukan pembunuhan berencana. Sebab sebagai salah seorang anggota korps kepolisian RI yang menyandang pangkat jendral dengan sederet gelar, ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa FS memiliki pengalaman pengetahuan dan skills yang mumpuni di bidang hukum.Â
Dengan jam terbang yang tinggi dan capaian prestasi dalam menangani beberapa kasus besar tindak pidana yang terjadi di Indonesia, hingga memperoleh penghargaan dari Kapolri, FS pasti sangat terlatih dalam hal berpikir logika hukum dan bertindak cepat saat menyiapkan rencana dan strategi saat masih bertugas sebagai anggota Polri.
Dengan latar belakang ini, bayangan saya, FS dengan cepat bergerak 'merekayasa' skenario kejadian tembak-menembak, yang dikatakannya bertujuan untuk melindungi Bharada E dari ancaman pidana karena telah menembak Brigadir J hingga tewas. Dan sebagai alibi, FS menembak ke dinding dengan menggunakan senjata Brigadir J yang telah jatuh tertelungkup.
FS bertahan dengan keterangannya bahwa ia tidak ikut menembak, dan tidak pernah memerintahkan Bharada E untuk menembakm tapi mengatakan "Hajar, Cad!". Ia juga mempertahankan keterangan dari istrinya, Putri Candrawathi, yang mengaku dilecehkan oleh Brigadir J saat di Magelang.
Jika saya mencermati pembelaan yang disampaikan FS, nada suaranya terdengar bergetar seperti menahan rasa kesedihan yang mendalam.
Namun sepanjang sidang yang memakan waktu berbulan-bulan ini, FS tidak menunjukkan sikap perlawanan yang agresif, tapi menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim dan jaksa dengan nada datar, bahkan terkadang terdengar lirih.
Saat FS menyampaikan sendiri pembelaannya yang disampaikan secara pribadi, ruang sidang tampak hening. Namun ketika hakim menjatuhkan vonis mati, ruang sidang seketika riuh.Â
FS tetap berdiri, berusaha tegar, sebelum hakim mempersilakannya untuk kembali duduk. Setelah menghampiri tim kuasa hukum, FS berjalan meninggalkan ruang sidang dan hanya terdiam.
Beban berat FS bukan hanya menghadapi kasus pembunuhan Brigadir H saja, tapi juga dakwaan kasus obstruction of justice. Bukti CCTV dilenyapkan dengan maksud agar skenario yang dibuatnya berjalan sesuai rencana untuk melindungi Bharada E, dimana FS menyatakan alibi bahwa ia datang belakangan ke rumah dinas yang menjadi TKP.
Namun anak buahnya mendapati fakta dari rekaman CCTV, bahwa FS ada di tempat kejadian, dan saat ia datang Brigadir J masih hidup.
Di tengah gemuruhnya terpaan badai hujatan dari berbagai elemen masyarakat, FS memilih melanjutkan perjalanan terjal berliku demi memperjuangkan hak-haknya dengan mengajukan banding didampingi oleh penasehat hukumnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H