"Leadership is action, not position" - Jokowi
Kita tetap menghargai pilihan kubu anti Jokowi yang kritis berbalik menolak Jokowi sepanjang lahir asli dari pribadi dan analisis sendiri yang objektif dan bukan dipengaruhi oleh situasi dan orang-orang yang jago memainkan indoktrinasi, mengeksploitasi image figur dan retorika kapitalisasi elitis akibat kepentingan haus kekuasaan (vested interest). Paling tidak kubu anti Jokowi saat ini bisa dikualifikasi menjadi 3 arus besar kelompok yaitu pertama pemimpin dan kader Partai Gerindra, kedua pendukung kemapanan (statusquo) figur seorang Presiden dan ketiga penentang ideologi PDIP
Sikap Anti Jokowi dari kelompok pertama itu saat ini faktanya justru dominan berasal dari kelompok yang semula sebiduk ketika sukses gemilang mengantarkan Jokowi menjadi DKI-1. Sejak awal mereka telah mengirim sinyal (diwakili Fadli Zon) kecemasan yang amat sangat sekaligus ketidaksukaan bila Jokowi maju menjadi Capres PDIP. Namun sejak Deklarasi Jokowi di Marunda 14 Maret 2014 kelompok ini yang semula dirasuki eforia optimisme menjadi tergoncang dan luar biasa kecewa, impian jagoannya Prabowo yang saat itu elektabilitasnya paling moncer jelas mendapat gangguan yang super serius, terang saja bagai air bah dengan segala cara yang masif dan tak henti-hentinya menggiring opini baik melalui puisi, sosial media, maupun membangun tim networking penyerbu dan ofensif menyerang Jokowi dari segala lini. Berikutnya Kelompok kedua berasal dari orang-orang yang mendewakan pemimpin yang kharismatis (president look). Mereka terdiri dari voters yang labil (swing) mungkin disebabkan takaran mereka atas pemimpin Indonesia ke depan terlalu ideal (utopis)dan beranggapan pemimpin level nasional harus personifikasi orang cerdas dansedikit agung lalu disebabkan masifnya informasi sesat mereka ragu-ragu dan justru percaya bahwa Jokowi banyak kelemahan dan kekurangan akhirnya kelompok ini kehilangan arah dan tanpa malu-malu menjatuhkan pilihan kepada Prabowo yang dinilainya gagah berkharisma. Sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok minoritas yang berbasis ideologi agama yang mengimpikan Indonesia menjadi negara agama, kelompok ini adalah musuh abadi PDIP yang dianggap terlalu nasionalis. liberal dan sosialis (gotong royong), mereka juga tidak suka PDIP karena terlalu mengagungkan Pancasila, Pluralisme dan pro Barat-Amerika yang dicap kapitalis - imperial.
Sebagai sharing saja, ironisnya kenapa situasinya menjadi aneh justru Jokowi yang menjadi pemuncak dan lebih dipilih rakyat? Jawaban hipotesisnya bila dibandingkan semua calon yang tersedia mungkin karena hanya Jokowi yang paling sedikit dosanya (last evil)dan munculnya perubahan paradigma model kepemimpinan dari pemimpin pencitraan (kursi) kepada pemimpin kerja (lapangan). Jokowi dianggap oleh dunia birokrasi, kaum profesional (pelaku ekonomi) bahkan rakyat jelata sebagai antithese kemapanan (status quo). Jokowi beruntung menjadi pilihan merekamewakili aspirasi untukmengalahkanteori konvensional dan wajar saja Jokowi unggul dalam perang asimetris itu. Fenomena Jokowi ini sangat ditopang oleh PDIP sebagai Partai satu satunya yang telah jelas visi dan misinya yaitu Visi: Indonesia Hebat, Misi; Trisakti (Berdaulat dalam Politik, Berdikari secara Ekonomi dan Berkepribadian dalam Budaya) yang akan dieksekusi oleh Jokowi dengan program aksi berbasis kinerja.
Kita harusnya menyadari bahwa metode kepemimpinan lapangan Jokowi yang dekat kepada rakyat tanpa sekat telah ditiru oleh banyak negara di dunia dandunia kini (current issue) bergairah terinspirasi fenomenaJokowi (trendsetter) dan sekaligus telah menobatkan Jokowi menjadi corakmodel baru "the leader". Jadi benang merah-nya Jokowi adalah tipologi pemimpin yang tidak mikir apalagi takut kehilangan kekuasaan. Atas argumentasi itu dengan segala maaf saya yakin 3 kelompok anti Jokowi keliru besar dalam mengapresiasi sosok Jokowi. Sosok biasa dan bukan siapa-siapa yang tidak menjadikan kekuasaan sebagai cita-cita atau pusat (centre of gravity), tetapi dengan kesadaran penuh karena Jokowi benar-benar akan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat (vivere pericoloso), sang pemimpin sederhana tapi berani tanpa basa basi, tanpa kursi apalagi bagi-bagikursi. Semoga impian sederhana sosok wong ndeso yang kebetulan punya hobi membaca Buku Bung Karno ditepi Bengawan Solo itu untuk cermin demokrasi Indonesia yang "vox populi vox dei" menjadi kenyataan di tahun penentuan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H