Dalam lanskap pendidikan saat ini, fenomena wisuda telah berkembang menjadi lebih dari sekedar pengakuan atas pencapaian akademik.Â
Di berbagai jenjang, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, wisuda sering kali dirayakan dengan acara yang mewah, penuh ornamen dan mahal.
Di balik pesta keceriaan dan rasa bangga ini, tersembunyi sebuah hal yang menggelitik bahwa mungkinkah sekolah seringkali menggunakan acara-acara ini sebagai alat untuk mendapatkan sumber pemasukan tambahan?
Lalu timbul pertanyaan lanjutan, apakah hal ini memperlebar kesenjangan sosial di kalangan siswa dan orangtua? Apakah penting terutama untuk sekolah tingkat TK sampai SMA? Dan, apa solusi alternatif untuk sekolah dalam meraup dana?
Secara tradisional, acara wisuda dianggap sebagai titik balik penting dalam kehidupan seseorang. Namun, saat institusi pendidikan memandang wisuda sebagai peluang komersial, dampak psikososial dari praktek ini sering kali diabaikan.
Saat sekolah memonetisasi acara wisuda, biaya partisipasi yang tinggi dapat mengakibatkan sebagian siswa dan orangtua merasa terpinggirkan. Misalnya, di sekolah Taman Kanak Kanak ABC, biaya wisuda bisa mencapai dua juta rupiah. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, biaya ini bisa menjadi beban yang berat.
Ini adalah contoh nyata bagaimana wisuda bisa berpotensi perlahan mempertinggi tembok kesenjangan modal dalam dunia pendidikan terutama di tingkat dini.
Ketidakmampuan untuk membayar biaya wisuda ini bisa menjadi penyebab bagi siswa dari keluarga kurang mampu untuk merasa tidak diakui atau tidak berharga.
Sejatinya, acara wisuda seharusnya menjadi penanda keberhasilan akademik, bukan penanda ekonomi.