Mohon tunggu...
Clint Perdana
Clint Perdana Mohon Tunggu... Penulis - Just an Ordinary Learner

Menulis sebagai media bertukar pikiran, diskusi dan dakwah modern di tengah luas namun sempitnya dunia ini, mari berbagi!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menemukan Jalan Pulang dalam Labirin Keterikatan Komunitas

11 Juni 2023   08:44 Diperbarui: 11 Juni 2023   09:59 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa sering kita mendengar kalimat bijak "Seekor burung yang merdeka terbang lebih tinggi dibandingkan burung dalam sangkar emas". Filosofi sederhana ini mengekspresikan nilai-nilai kebebasan, individualitas, dan ekspresi diri. Namun, ironisnya, banyak dari kita yang berakhir seperti burung dalam sangkar emas dalam komunitas yang kita ikuti.

Mencari ilmu dan teman, mengisi waktu luang, atau sekadar bergabung demi meningkatkan keterampilan---alasan beragam. Semula seru dan menantang, namun lama-lama perasaan keterpaksaan dan keterikatan merasuki, mengubahnya menjadi pengalaman yang tidak nyaman dan tidak sehat. Lantas, mengapa fenomena ini bisa terjadi?

Salah satu faktor yang mendasari adalah "harapan yang berlebihan". Ketika kita memutuskan untuk bergabung dalam suatu komunitas, seringkali kita dipandu oleh ekspektasi tinggi---baik itu terkait peningkatan pengetahuan, keterampilan, ataupun jaringan. Namun, kenyataan tidak selalu seindah harapan. Ketika ekspektasi ini tak terpenuhi, rasa kecewa dan keterpaksaan mulai merayap masuk.

Contoh relevan dapat kita lihat dalam komunitas pelajar. Seorang siswa yang bergabung dalam klub debat dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan berbicaranya, bisa jadi merasa tertekan ketika ia diharuskan untuk berpartisipasi dalam kompetisi tanpa henti. Awalnya ia merasa antusias, namun seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah rasa terpaksa.

Faktor lainnya adalah "keterikatan sosial yang kuat". Komunitas yang awalnya dirasakan memberikan kebebasan untuk berekspresi dan menjadi diri sendiri, lama kelamaan mungkin justru membatasi ruang gerak individu. Tekanan sosial untuk selalu hadir, berpartisipasi, dan berkontribusi dapat menimbulkan rasa keterikatan yang berlebihan.

Ambil contoh, seorang anggota komunitas pecinta buku yang awalnya merasa gembira berbagi dan mendiskusikan buku favorit, lama-kelamaan bisa merasa tertekan dengan keharusan untuk selalu update dengan buku-buku baru dan rutinitas diskusi mingguan. Jika ini yang dirasakannya, perasaan keterpaksaan dan keterikatan berlebihan sudah mulai mengendap.

Namun, kita tidak perlu berputus asa. Ada berbagai cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi fenomena ini, yang setidaknya akan dapat membantu kita mempersiapkan diri dengan kondisi tersebut antara lain;

Pertama, "realistis dalam menentukan ekspektasi". Memahami bahwa tidak ada komunitas yang sempurna adalah kunci utama. Jika kita menyadari bahwa setiap komunitas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, kita akan lebih mudah menghadapi ketidak sesuaiannya dengan ekspektasi awal.

Seorang siswa yang bergabung dalam klub debat misalnya, ia harus menyadari bahwa tidak hanya peningkatan kemampuan berbicara yang akan didapat, tetapi juga tantangan untuk berkompetisi. Jika ia sudah paham hal ini sejak awal, kekecewaan bisa diminimalisir.

Kedua, "menetapkan batasan". Meski terlihat sederhana, tetapi ini sangat penting. Penentuan batas bukan berarti kita tidak berkontribusi, tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa tetap berkontribusi tanpa merasa terbebani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun