Tiap saat ada kemajuan. Rute Bali, Lombok, Sumbawa, kecuali Papua yang paling ribet karena jalan yang pernah dibuka Soeharto entah hilang minggat ke mana, semuanya hampir selesai kugariskan. Dan setelah empat pulau besar Indonesia-kecuali Papua itu-sudah penuh garis, aku mengalkulasikan kilometer yang akan dijilati roda-roda sepeda kami nantinya. Angkanya membuatku merinding. 10.000 kilometer terlampaui.
Tiap kali rumah berbunyi ,“tok tok tok”, dan yang datangnya tukang paket, tandanya bagus. Tandanya komponen sepeda Anto tambah lengkap. Tandanya keinginan dia untuk merakit sepeda segera terlaksana.
Karena tiap langkah adalah perwujudan. Tak ada langkah kedua jika tak ada langkah pertama.
Setelah kami melewati bulan-bulan dengan rutinitas yang hampir sama, tampak sekali mimpi kami semakin bulat menyerupai bulan. Dan walaupun lonjong kami ngotot berangkat. Kami ibarat pion yang tidak mengenal kata mundur. Apalagi surat pengunduran diri Haris dan Anto sudah di-acc oleh pihak atasan masing-masing. Anto, kepalang berani mengambil keputusan dengan melepas spidol hitam dan papan tulisnya. Melepaskan anak-anak didiknya yang entah sedih atau malah senang kehilangan sosoknya di depan kelas.
Sementara Haris, ia putus bertugas memelototi layar monitor di tempat kerjanya di Jakarta. Dan pastinya, Haris juga telah mengulurkan jabat perpisahan dengan teman-temannya yang baik, yang sudah memiliki kaos-kaos bertema sepeda itu. Aku yakin, barang tentu juga ia pamit sambil menyelipkan ucapan terima kasih ke mereka.
Tiga bulan sebelum hari keberangkatan Bandi menyimpan sepeda di rumahnya. Ia telah memilih jalan hidupnya. Keinginan melihat nusantara berganti baju rapi dan pergi bekerja ke perusahaan baru di Bekasi. Bekasi. Di Bekasi itu tempat tinggalnya Kisut yang juga urung berangkat. Kisut dirundung galau berkepanjangan. Alasannya karena berat meninggalkan ibunya.
Untuk selanjutnya Haris dan Anto-lah yang bersandingan gelar denganku: pengangguran. Kami bertiga laksana pengangguran sinting. Kumat dihipnotis mimpi dan tetap yakin meski usaha lewat proposal selalu gagal. “Berapapun dana yang ada, gua tetap berangkat”, Anto sama sekali tidak khawatir. Jawabannya jujur apa adanya. Seapa-adanya misi kami. Menikmati hidup.
***
Fajar di 12 Juni 2012 adalah keberangkatan. Kami seperti tiga kera gunung yang berlompatan keluar dari persembunyian setelah semalaman merindukan matahari pagi untuk berjemur. Inilah kami yang gembira di ujung perjuangan sepuluh bulan yang membosankan. Aku menutup netbook dan menjauhkan diri dari mouse, Anto tidak lagi bertemu muka dengan orang-orang di jasa pengiriman di dekat rumahku. Aku pamit ke ibuku, Anto minta restu ke keluarganya, dan Haris berhenti membayar sewa kos di Tangerang. Lalu kami semua pergi menyambut matahari pagi, menjemput mimpi kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI