Mohon tunggu...
fq dani
fq dani Mohon Tunggu... -

sometime kepo make u get killed, sometime kepo make u smart, sometime kepo make anything possible and sometime...... nevermind. Okay so here the hard news,soft news, opinion and all that matter in our life. well spoke!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peradi: Korupsi Peradilan Bisa Akibatkan Orang Tidak Bersalah Dihukum

25 Juli 2015   17:22 Diperbarui: 25 Juli 2015   17:22 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, 24 Juli 2015

Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradi) mendukung penuh upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membersihkan korupsi peradilan yang masih marak terjadi. "Pengadilan yang bersih, fair dan berkeadilan juga menjadi tujuan para anggota Peradi," tegas Ketua Bidang Peradi Bidang Organisasi Peradi, AJ Harris Marbun, saat dihubungi Kamis (23/7).

Menurut Harris, korupsi peradilan sangat berbahaya bagi pencari keadilan, karena pihak yang tidak bersalah sangat mungkin akan menjadi korban atau dikorbankan. Ia menambahkan, peradilan yang korup akan cenderung mengorbankan rakyat kecil yang tidak punya kemampuan finansial, akses dan informasi yang memadai.

Namun dia mengatakan, banyaknya kasus korupsi peradilan yang melibatkan advokat tidak berarti profesi ini korup. Pasalnya masih banyak advokat yang memiliki integritas, independen dan menjalankan profesinya dengan standar profesionalisme yang tinggi.

"Upaya untuk membersihkan korupsi peradilan harus melibatkan banyak pihak, tidak mungkin hanya menuntut advokat agar bertindak fair, jujur dan independen jika perangkat hukum lainnya tidak punya komitmen yang sama. Peradi memiliki komitmen untuk menciptakan peradilan yang bebas korupsi dan berkeadilan untuk semua golongan masyarakat," imbuh Harris.
Kasus korupsi peradilan kembali mencuat menyusul aksi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap pengacara dari kantor pengacara OC Kaligis dan majelis hakim di PTUN Medan. Dalam kasus ini OC Kaligis dan Yagi Bhastara telah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK bersama dengan Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, Hakim Anggota Amir Fauzi, Hakim Anggota Dermawan Ginting, dan panitera PTUN Medan Yusril Sofian.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI-FHUI) Melli Darsa mengatakan, kasus suap yang diduga melibatkan kantor pengacara OC Kaligis telah mencoreng wajah advokasi Indonesia. Jika kasus ini tidak segera ditangani, masyarakat akan mempertanyakan berbagai kasus lain apakah diputuskan berdasar keadilan hukum atau karena praktik gratifikasi advokatnya.

"Kita mengingatkan semua advokat bahwa profesi ini adalah pembela hukum, bukannya kasir gratifikasi apalagi korupsi,” kata Melli Darsa.

Terkait penetapan OC Kaligis sebagai tersangka gratifikasi peradilan, sejumlah aktivis hukum meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan lebih ketat terhadap kasus yang kini ditangani oleh kantor pengacara ini. Salah satunya yang sangat kontroversial adalah gugatan perdata senilai US$ 125 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun terhadap Jakarta Intercutural School (JIS).

"Pengawasan terhadap kasus-kasus yang melibatkan kantor pengacara itu harus diperketat. Korupsi peradilan ini adalah masalah mental," tandas Choirul Huda, Guru Besar Universitas Muhamadiyah Jakarta beberapa waktu lalu.

Dalam kasus JIS, OC mewakili TPW, ibu MAK, salah satu murid di JIS yang mengaku mengalami kekerasan seksual. Dalam persidangan perdata terungkap sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Di antaranya adalah keterangan tertulis dari Dr. Osmina dari RSPI yang menyatakan bahwa TPW telah menyalahgunakan surat rujukan yang dia keluarkan. Surat yang harusnya digunakan untuk mengurus klaim asuransi MAK, justru digunakan TPW sebagai bukti adanya kasus kekerasan seksual terhadap MAK.

Celakanya, surat keterangan RSPI tersebut dijadikan dasar oleh majelis Hakim untuk memvonis 5 pekerja kebersihan PT ISS dengan pidana penjara 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Padahal sejak awal bukti medis adanya kasus kekerasan seksual tidak pernah terungkap. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun