Mohon tunggu...
CLICKompasiana
CLICKompasiana Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas commuter Line

Akun Resmi CommuterLine Community of Kompasiana. Akun ClicK lainnya: https://www.instagram.com/clickompasiana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dukung Robiatul Adawiah, Agar Tidak Putus Sekolah

19 Oktober 2015   15:04 Diperbarui: 24 Oktober 2015   22:37 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abdul Jalil di pintu perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, Kelurahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, sedang diwawancarai Kompasianer Setyaningrum (kiri) dan Robiatul Adawiah, yang kini duduk di kelas VI, Sekolah Dasar (SD) Negeri Kalimulya 3, Depok, menunjukkan rapor bayangan sambil menggendong keponakannya. “Meskipun ia bukan anak pintar, tapi keinginannya untuk belajar, lebih tinggi dibandingkan kakak-kakaknya,” ujar Abdul Jalil, tentang anak bungsunya itu. (Foto: Koleksi Pribadi)

Bocah perempuan 12 tahun ini, tidak ingin putus sekolah, seperti keempat kakaknya. Karena itu, ia ikut ibunya, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, yang tinggal di rumah majikannya. Melalui cara ini, atmosfir belajar di rumah majikan ibunya, turut memotivasinya untuk terus belajar.

Itulah Robiatul Adawiah, yang kini duduk di kelas VI, Sekolah Dasar (SD) Negeri Kalimulya 3, Jl. Kencana I, Kebonduren, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat. Rumah majikan sang ibu, dengan rumah mereka, sama-sama berada di kawasan Depok, hingga ibu-anak itu bisa pulang ke rumah sekali seminggu. Rumah mereka, berupa dua kontrakan kecil, sudah penuh sesak. Satu bagian, dihuni oleh kakak Robiatul Adawiah yang sudah menikah. Ada sang kakak, suaminya, dan tiga orang anak mereka di sana. Bagian lain, dihuni oleh dua kakak Robiatul Adawiah, yang keduanya sudah putus sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mereka sehari-hari ya bekerja secara serabutan. Ketika kami ke sana pada Sabtu (17/10/2015) siang, kakak yang satu sedang tertidur lelap, kakak yang lain sedang bersiap hendak berangkat. Oh, ya, kakak yang satunya lagi sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain, masih dalam kawasan Kota Depok.

Tanpa Institusi, Ikhlas Berbagi

Praktis, secara finansial, semua masih bergantung pada Abdul Jalil, sang ayah, dan Suminarsih, sang ibu. Abdul Jalil sehari-hari hanyalah seorang penjaga perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, Kelurahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Dinamakan perlintasan Gang SMP, karena perlintasan kereta tersebut digunakan warga untuk melintas dari Jl. Raya Citayam menuju Gang SMP yang berada di sisi SMP Ratu Jaya dan SMK Teknindo Jaya di Ratujaya, Cipayung, Depok. Perlintasan ini cukup ramai, karena selain banyak anak sekolah, juga karena di sekitar kawasan tersebut padat dengan rumah penduduk.

Sebagai penjaga perlintasan, yang termasuk kategoriperlintasan liar, Abdul Jalil tentulah tidak memiliki ikatan apa-apa dengan institusi perkeretaapian, baik dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) maupun PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Dengan institusi setingkat kelurahan atau desa pun, tidak ada ikatan. Meski demikian, Abdul Jalil merasa memiliki ikatan yang kuat dengan nyawa manusia, dengan keselamatan warga setempat. Karena ikatan itulah lelaki berusia 49 tahun itu, berdiri tegak sepanjang hari di perlintasan kereta itu.

Ia memodifikasi batang bambu, kemudian mengikatkan spanduk bekas di bambu tersebut, sebagai palang perlintasan. Dengan modifikasi tali yang bisa ditarik-ulur, maka Abdul Jalil bisa menutup dan membuka palang yang berada di dua arah perlintasan secara bersamaan. Untuk kegiatan tanpa ikatan institusi tersebut, sebagian warga yang melintas, ikhlas memberikan recehan kepadanya. Ada pula warga yang memberikan sepatu, celana, kaus, dan topi agar Abdul Jalil nampak resmi saat berdinas.

Meski tak menentu, ya dari menjaga perlintasan liar itulah Abdul Jalil menggantungkan sumber penghidupannya sekeluarga. Baginya, ini bukan pekerjaan tapi mencoba berbuat sesuatu untuk warga. ”Karena yang saya punya hanya tenaga, ya dengan tenaga inilah saya berbuat untuk warga,” ujar Abdul Jalil, pada Sabtu (17/10/2015) siang yang sangat terik di pinggir rel kereta. Warga pun urunan menggaji Abdul Jalil, yang kadangkala mencapai Rp 500.000 per bulan. Pengurus yayasan SMP Ratu Jaya kadang menyumbang sekitar 300.000 ribu per bulan. Pengurus SD Ratu Jaya, yang juga dekat dengan perlintasan itu, menyumbang 100.000 ribu per bulan. Praktis, per bulan Bang Jalil, sapaannya, mengantongi Rp 900.000. Kalau secara harian, ya tergantung keikhlasan warga yang lewat perlintasan.

Dengan modifikasi tali yang bisa ditarik-ulur, Abdul Jalil bisa menutup dan membuka palang yang berada di dua arah perlintasan, secara bersamaan. Di pintu perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, Kota Depok, inilah Abdul Jalil menggantungkan sumber penghidupannya (kiri). Kompasianer Setyaningrum dan Robiatul Adawiah menggendong keponakannya, di rumah mereka yang sekitar 30 menit jalan kaki dari tempat tugas sang ayah. (Foto: Koleksi Pribadi)

Spirit Seorang Ayah

Dengan tidak menentunya penghasilan, maka Abdul Jalil hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan empat anaknya terpaksa putus sekolah. Tapi, last but not least, untuk Robiatul Adawiah, ia tak ingin realitas pahit itu terulang. Ia sudah menyaksikan, betapa keempat anaknya yang putus sekolah itu, pontang-panting serta terbentur sana-sini, untuk sekadar mencari makan sehari-hari. Karena itu, Abdul Jalil tak ingin si bungsu Robiatul Adawiah, mengalami hal serupa. Karena itu pulalah, ia sepakat dengan istrinya, agar sang istri dan Robiatul Adawiah, tinggal di rumah majikannya dan pulang ke rumah sekali seminggu.

Intinya, Abdul Jalil merasa situasi-kondisi di rumah tidak kondusif bagi aktivitas belajar Robiatul Adawiah. Di rumah majikan istrinya, ia yakin istri dan anak bungsunya itu akan belajar hidup disiplin. Melalui cara ini, Abdul Jalil ingin menanamkan atmosfir belajar pada diri si bungsu, hingga suasana di sana turut memotivasinya untuk terus belajar. ”Saya ingin anak bungsu saya itu bisa sekolah sampai setinggi-tingginya. Meskipun ia bukan anak pintar, tapi keinginannya untuk belajar, lebih tinggi dibandingkan kakak-kakaknya,” ujar Abdul Jalil, sambil tetap cermat mengendalikan palang lintasan, tiap kali ada kereta commuter line hendak melintas.

Robiatul Adawiah sangat memahami spirit ayahnya. Ia pun maklum dengan kondisi ekonomi ayah-ibunya. Karena itu, ia selalu berangkat lebih pagi ke sekolah, dari rumah majikan ibunya. Dengan berangkat lebih pagi, ia tidak perlu naik angkutan atau ojeg, tapi cukup waktu untuk berjalan kaki ke sekolah. Ia biasanya mengambil jalan pintas, melalui jalan setapak di antara rumah warga dan pepohonan bambu, hingga jarak tempuh bisa lebih singkat. Robiatul Adawiah tidak melihat semua ini sebagai beban hidup, tapi sebagai sesuatu yang normal saja, sesuai dengan kondisi kehidupan ayah-ibunya.

Satu hal yang menggembirakannya, bila akhir pekan pulang ke rumah, karena ia bisa leluasa menikmati lezatnya masakan ayahnya. Abdul Jalil, sebelum menjadi penjaga pintu perlintasan, adalah pedagang makanan. Ia pernah berdagang bubur ayam, mie ayam, juga ketoprak. Karena itu, Abdul Jalil cukup mahir memasak. Untuk kedua anaknya di rumah, karena sang istri dan si bungsu pulang sekali seminggu, Abdul Jalil selalu memasak untuk mereka. Ia menyadari keterbatasannya secara finansial, tapi ia selalu berusaha menjaga ikatan batinnya tetap kuat dengan anak-anak. Antara lain, dengan memasakkan makanan untuk mereka.

Di sinilah Robiatul Adawiah sekolah, sebagai murid kelas VI, Sekolah Dasar (SD) Negeri Kalimulya 3, Depok. Dari sini, bocah perempuan 12 tahun tersebut mulai merajut kehidupannya. Sang ayah, Abdul Jalil, sebagai penjaga pintu perlintasan kereta Gang SMP di Jl. Raya Citayam, bertekad ingin menyekolahkan anak bungsunya itu setinggi-tingginya. Abdul Jalil tidak ingin si bungsu ini putus sekolah, seperti keempat kakaknya. (Foto: kemdikbud.go.id)

Beli Buku di Pasar Sayur

Sebagai anak penjaga pintu perlintasan liar, Robiatul Adawiah belum mengenal toko buku. Ia mengaku takut masuk toko buku, karena ia anak orang tak mampu. Tapi, ia sesungguhnya senang membaca buku. Untuk memenuhi kesenangannya membaca buku, Robiatul Adawiah menyimpan sebagian uang jajannya untuk membeli buku bekas. Ia tiap hari dapat jatah uang jajan Rp 5.000 dari orangtuanya. Karena ia pulang-pergi ke sekolah berjalan kaki, maka sebagian uang jajan tersebut bisa ia simpan untuk membeli buku.

Tempat favoritnya untuk membeli buku adalah Pasar Pucung Raya, Jatimulya, Depok. Itu adalah pasar tradisional, yang sebagian besar diisi oleh penjual sayur-mayur serta kebutuhan bahan pokok harian lainnya. Di antara para penjual sayur itu, ada yang menjual buku bekas tapi masih cukup layak untuk dibaca. Nah, itulah sasaran Robiatul Adawiah, untuk memenuhi kesenangannya membaca buku. Menurut ceritanya, penjual buku itu bisa menyesuaikan buku yang ia inginkan dengan uang yang ia miliki.

Kalau untuk buku kebutuhan sekolah, ia sering memfotokopi bagian yang diperlukan saja. Dengan begitu, ia merasa tidak menambah beban orangtuanya. Sebagai bocah perempuan berusia 12 tahun, sebenarnya kesadaran untuk hidup demikian, patut kita apresiasi. Sikapnya tentulah mengesankan, bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Ia tidak banyak permintaan, karena menyadari sepenuhnya situasi-kondisi orangtuanya. Di sekitar kita, cobalah tengok, alangkah banyak anak-anak yang cara hidup mereka tidak sepadan dengan situasi-kondisi orang tua mereka.

Di rumah, juga di sekolah, Robiatul Adawiah sesungguhnya adalah anak yang pemalu. Ia sadar akan hal itu. Untuk mengatasi rasa pemalunya itu, Robiatul Adawiah membangun kepercayaan dirinya melalui olahraga. Ia menyukai pelajaran olahraga, jenis olahraga apa saja. Katanya, dengan olahraga, ia bisa leluasa mengekspresikan dirinya yang sesungguhnya, tanpa harus pusing memikirkan angka dan rumus-rumus seperti pada mata pelajaran matematika, misalnya. Saking pemalunya, untuk diajak berfoto saja, ia mengalihkan pembicaraan dengan bermain dengan keponakannya. Itulah Robiatul Adawiah, yang mungkin bisa menggugah kita untuk berbagi, sebagai penambah semangat belajarnya.

Dukungan Agar Tak Putus Sekolah

Melihat semangatnya yang tinggi untuk terus sekolah, kita tentu tak ingin Robiatul Adawiah bernasib sama dengan keempat kakaknya: putus sekolah. Untuk jangka pendek, setidaknya kita bisa meringankan beban orangtuanya, dengan menanggulangi kebutuhan jajannya yang Rp 5.000 per hari. Bila dikalikan dengan 9 bulan lagi ia lulus SD, setidaknya bocah perempuan 12 tahun ini membutuhkan Rp 1.350.000 untuk uang jajan harian. Selain itu, untuk kebutuhan buku pelajaran senilai Rp 500.000.

Di samping itu, ia juga membutuhkan sepatu untuk ke sekolah, sepatu untuk olahraga dan pakaian olahraga serta pakaian sehari-hari, dengan nilai sekitar Rp 500.000. Untuk kebutuhan lain-lain pada saat Robiatul Adawiah lulus SD nanti, dibutuhkan cadangan dana sekitar Rp 500.000. Dengan demikian, untuk sampai lulus SD, Robiatul Adawiah membutuhkan dukungan dana Rp 2.850.000. Nah, bagaimana dengan kelanjutan sekolah Robiatul Adawiah setelah lulus SD kelak? Ia ingin melanjutkan ke SMP dan diperkirakan untuk berbagai biaya masuk SMP, sekitar Rp 2.500.000.

Jakarta, 19 Oktober 2015

Ditulis oleh Isson Khairul dari hasil wawancara Setyaningrum  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun