Intinya, Abdul Jalil merasa situasi-kondisi di rumah tidak kondusif bagi aktivitas belajar Robiatul Adawiah. Di rumah majikan istrinya, ia yakin istri dan anak bungsunya itu akan belajar hidup disiplin. Melalui cara ini, Abdul Jalil ingin menanamkan atmosfir belajar pada diri si bungsu, hingga suasana di sana turut memotivasinya untuk terus belajar. ”Saya ingin anak bungsu saya itu bisa sekolah sampai setinggi-tingginya. Meskipun ia bukan anak pintar, tapi keinginannya untuk belajar, lebih tinggi dibandingkan kakak-kakaknya,” ujar Abdul Jalil, sambil tetap cermat mengendalikan palang lintasan, tiap kali ada kereta commuter line hendak melintas.
Robiatul Adawiah sangat memahami spirit ayahnya. Ia pun maklum dengan kondisi ekonomi ayah-ibunya. Karena itu, ia selalu berangkat lebih pagi ke sekolah, dari rumah majikan ibunya. Dengan berangkat lebih pagi, ia tidak perlu naik angkutan atau ojeg, tapi cukup waktu untuk berjalan kaki ke sekolah. Ia biasanya mengambil jalan pintas, melalui jalan setapak di antara rumah warga dan pepohonan bambu, hingga jarak tempuh bisa lebih singkat. Robiatul Adawiah tidak melihat semua ini sebagai beban hidup, tapi sebagai sesuatu yang normal saja, sesuai dengan kondisi kehidupan ayah-ibunya.
Satu hal yang menggembirakannya, bila akhir pekan pulang ke rumah, karena ia bisa leluasa menikmati lezatnya masakan ayahnya. Abdul Jalil, sebelum menjadi penjaga pintu perlintasan, adalah pedagang makanan. Ia pernah berdagang bubur ayam, mie ayam, juga ketoprak. Karena itu, Abdul Jalil cukup mahir memasak. Untuk kedua anaknya di rumah, karena sang istri dan si bungsu pulang sekali seminggu, Abdul Jalil selalu memasak untuk mereka. Ia menyadari keterbatasannya secara finansial, tapi ia selalu berusaha menjaga ikatan batinnya tetap kuat dengan anak-anak. Antara lain, dengan memasakkan makanan untuk mereka.
Beli Buku di Pasar Sayur
Sebagai anak penjaga pintu perlintasan liar, Robiatul Adawiah belum mengenal toko buku. Ia mengaku takut masuk toko buku, karena ia anak orang tak mampu. Tapi, ia sesungguhnya senang membaca buku. Untuk memenuhi kesenangannya membaca buku, Robiatul Adawiah menyimpan sebagian uang jajannya untuk membeli buku bekas. Ia tiap hari dapat jatah uang jajan Rp 5.000 dari orangtuanya. Karena ia pulang-pergi ke sekolah berjalan kaki, maka sebagian uang jajan tersebut bisa ia simpan untuk membeli buku.
Tempat favoritnya untuk membeli buku adalah Pasar Pucung Raya, Jatimulya, Depok. Itu adalah pasar tradisional, yang sebagian besar diisi oleh penjual sayur-mayur serta kebutuhan bahan pokok harian lainnya. Di antara para penjual sayur itu, ada yang menjual buku bekas tapi masih cukup layak untuk dibaca. Nah, itulah sasaran Robiatul Adawiah, untuk memenuhi kesenangannya membaca buku. Menurut ceritanya, penjual buku itu bisa menyesuaikan buku yang ia inginkan dengan uang yang ia miliki.
Kalau untuk buku kebutuhan sekolah, ia sering memfotokopi bagian yang diperlukan saja. Dengan begitu, ia merasa tidak menambah beban orangtuanya. Sebagai bocah perempuan berusia 12 tahun, sebenarnya kesadaran untuk hidup demikian, patut kita apresiasi. Sikapnya tentulah mengesankan, bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Ia tidak banyak permintaan, karena menyadari sepenuhnya situasi-kondisi orangtuanya. Di sekitar kita, cobalah tengok, alangkah banyak anak-anak yang cara hidup mereka tidak sepadan dengan situasi-kondisi orang tua mereka.
Di rumah, juga di sekolah, Robiatul Adawiah sesungguhnya adalah anak yang pemalu. Ia sadar akan hal itu. Untuk mengatasi rasa pemalunya itu, Robiatul Adawiah membangun kepercayaan dirinya melalui olahraga. Ia menyukai pelajaran olahraga, jenis olahraga apa saja. Katanya, dengan olahraga, ia bisa leluasa mengekspresikan dirinya yang sesungguhnya, tanpa harus pusing memikirkan angka dan rumus-rumus seperti pada mata pelajaran matematika, misalnya. Saking pemalunya, untuk diajak berfoto saja, ia mengalihkan pembicaraan dengan bermain dengan keponakannya. Itulah Robiatul Adawiah, yang mungkin bisa menggugah kita untuk berbagi, sebagai penambah semangat belajarnya.
Dukungan Agar Tak Putus Sekolah
Melihat semangatnya yang tinggi untuk terus sekolah, kita tentu tak ingin Robiatul Adawiah bernasib sama dengan keempat kakaknya: putus sekolah. Untuk jangka pendek, setidaknya kita bisa meringankan beban orangtuanya, dengan menanggulangi kebutuhan jajannya yang Rp 5.000 per hari. Bila dikalikan dengan 9 bulan lagi ia lulus SD, setidaknya bocah perempuan 12 tahun ini membutuhkan Rp 1.350.000 untuk uang jajan harian. Selain itu, untuk kebutuhan buku pelajaran senilai Rp 500.000.