Mohon tunggu...
Clianta Maritza
Clianta Maritza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia

Halo! Perkenalkan saya Clianta dari mahasiswi jurusan Ilmu Hubungan Internasional UI. Saya memiliki minat dalam mempelajari kawasan Asia Tengah dan Asia Timur.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Indonesia Memecah Ketegangan Laut China Selatan

31 Mei 2024   22:22 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:14 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KRI Teuku Umar dan KRI Tjiptadi bersiap-siap melaksanakan operasi Siaga Tempur Laut TNI  di Natuna, Jumat (3/1/2020). Sumber: Kompas.id

Lanskap geopolitik Asia Tenggara diwarnai oleh dinamika yang kompleks dan relasi kekuasaan yang terus bergejolak. Dua wilayah yang menjadi sorotan utama adalah Selat Taiwan dan Laut China Selatan, yang sama-sama memiliki potensi ancaman keamanan nasional bagi Indonesia. 

Selat Taiwan dan Laut China Selatan merupakan jalur maritim penting yang memiliki signifikansi strategis dan ekonomi. Eskalasi ketegangan yang meningkat di wilayah ini, dipicu oleh sengketa teritorial dan pergulatan kekuasaan, memiliki implikasi yang luas bagi stabilitas regional dan hubungan internasional.

Laut China Selatan-yang secara historis merupakan jalur maritim dan rute perdagangan vital---telah menjadi titik rawan bagi berbagai pihak yang memperebutkan batas maritim. Sejumlah pihak memperebutkan demarkasi batas maritim di Laut China Selatan, mulai dari komunitas nelayan, negara-negara yang berbatasan dengan perairan tersebut, kekuatan internasional yang memiliki kepentingan atas hak lintas, hingga lembaga-lembaga internasional yang berusaha menegakkan supremasi hukum global. 

Sepanjang dekade terakhir, negara-negara Asia Tenggara, terutama Filipina dan Vietnam, menghadapi friksi yang kian memuncak dengan China. Hal ini dipicu oleh Beijing yang menegaskan kedaulatannya atas wilayah-wilayah yang disengketakan dan membangun sejumlah pulau reklamasi di Kepulauan Spratly. Konfrontasi di Laut China Selatan, yang semakin meningkat sejak Xi Jinping menjabat sebagai presiden pada akhir tahun 2012, menggarisbawahi perubahan yang lebih tegas dalam kebijakan luar negeri China.

Maraknya dominasi yang berturut-turut oleh penguasa tradisional negara tetangga, beberapa negara seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam terlibat dalam konflik konfrontatif saat mereka mencoba untuk mengklaim bagian atau seluruh wilayah perairan yang relevan dari satu sama lain. 

Setelah klaim mutlak China terhadap Laut China Selatan pada tahun 2012, Indonesia ikut terlibat. Ketegangan di Laut China Selatan semakin diperparah oleh kepentingan negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan terutama Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, wilayah Asia Tenggara memiliki kepentingan strategis dalam hal keamanan ekonomi dan politik. 

Secara ekonomi, Asia Tenggara merupakan bagian penting dari perdagangan berkapasitas tinggi dari negara-negara tetangga seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan China, termasuk impor minyak dan Jalur Komunikasi Laut Transit (SLOC). Dengan populasi lebih dari 600 juta orang dan Produk Nasional Bruto (GNP) sekitar USS800 miliar, negara-negara Asia Tenggara mewakili pasar potensial bagi produk AS, termasuk berbagai industri jasa dan investasi lainnya. 

Dari segi kepentingan pertahanan, sengketa Laut China Selatan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menjaga kedaulatan wilayah Natuna Utara dengan merujuk pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dasar hukum tersebut kemudian secara tegas memberikan Indonesia hak berdaulat untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, mempertahankan wilayah Natuna Utara adalah bagian penting dari kewajiban negara untuk mewujudkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanah konstitusi. 

Seiring dengan ketegangan geopolitik global dan regional yang terus berlanjut, Indonesia melihat diplomasi sebagai pilihan yang paling memungkinkan di tengah meningkatnya pengaruh China, terutama unjuk kekuatan militer mereka di Laut China Selatan. Lantas apa yang dilakukan Indonesia? Terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan. Indonesia telah mengeluarkan nota protes kepada pihak China pada tahun 2016, 2019, dan 2020. Nota protes tersebut Indonesia itu terkait  pelanggaran IUU Fishing dan pelanggaran kedaulatan karena coast guard China  yang telah melewati batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Indonesia juga menolak klaim mengenai Laut China Selatan sebagai traditional fishing ground karena klaim tersebut tidak memiliki landasan hukum yang pasti bahwasannya Laut China Selatan merupakan wilayah China.  Namun, nota protes tersebut ditolak oleh China dan mereka tetap menganggap bahwa Laut China Selatan merupakan wilayah China berdasarkan aspek historis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun