Mohon tunggu...
Clemens Ambrosius M. Linus
Clemens Ambrosius M. Linus Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Menjalani hidup dengan prinsip.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kontroversi Pelajar yang Ingin Menetap di Luar Negeri

16 Oktober 2022   17:38 Diperbarui: 18 Oktober 2022   11:28 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dewasa ini, dengan semakin berkembangnya dunia pendidikan, melanjutkan sekolah di luar negeri merupakan suatu mimpi bagi sebagian besar generasi muda. 

Bahkan, sebagian besar juga tidak menyangka untuk dapat memperoleh kesempatan tersebut, baik melalui beasiswa atau melalui cara lain. Terdapat usaha, yang tidak sedikit, untuk mewujudkan mimpi tersebut.  

Bagi banyak orang Indonesia yang belajar di luar negeri, pada waktu tertentu pasti akan muncul suatu pertanyaan di benak mereka, yaitu untuk kembali ke tanah air atau tidak. Keputusan mahasiswa untuk pulang atau tidak terus menjadi suatu hal yang kontroversial, hingga saat ini.

Gagasan bahwa pilihan orang Indonesia lebih cenderung memilih untuk menetap di luar negeri didukung dengan beberapa argumen. Tokoh Indonesia B.J. Habibie, mantan Presiden Republik Indonesia yang pernah menekuni studi di Jerman sendiri mengungkapkan: “Dari zaman saya di Eropa, isunya sama: brain drain. Tapi, kita realistis saja. Bagaimana orang pintar mau pulang ke Indonesia kalau tidak ada lapangan pekerjaan di sana?”. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka yang berhasil untuk memperoleh kesempatan di luar negeri, yang cenderung memiliki kualifikasi yang lebih berat dibandingkan dalam negeri, adalah orang yang bekerja keras, lebih-lebih lagi mereka yang memperoleh beasiswa. 

Belum lagi berbagai peraturan, perbedaan nilai mata uang yang signifikan, inflasi yang terjadi, kondisi geopolitik, standar yang beda pada tingkatan pendidikan yang sama dan lain sebagainya di Indonesia yang membuat sebagian orang merasa tidak diterima, atau perlu mengorbankan segala yang mereka dapatkan, saat di luar negeri, pada saat mereka pulang.

Untuk sekarang, kita harus mengakui bahwa taraf kualitas kehidupan di luar negeri lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Indonesia. Dalam kasus ini, sebagian alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang menjalankan studinya di luar negeri tidak ingin untuk kembali ke tanah air. 

Padahal mereka yang menerima beasiswa seharusnya diwajibkan untuk kembali melaksanakan pengabdian di tanah air selama 2 kali masa studi ditambah 1 tahun. Kini, sebanyak 15.930 dari 32.826 penerima beasiswa LPDP telah lulus. Namun masih terdapat 138 alumni (0,9%) yang belum kembali setelah menyelesaikan studinya.

Selain itu, terdapat juga 175 orang yang sempat tidak ingin kembali, namun berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah ditindak. Mereka yang telah lulus mendapatkan waktu 90 hari untuk kembali ke Indonesia, atau mendapatkan sebuah peringatan. Baru apabila 30 hari setelah peringatan belum kembali, akan dikenakan sanksi. 

Mengatasi hal tersebut, LPDP menjalin kerjasama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mengoptimalkan kegiatan pemantauan keberadaan awardee LPDP di luar negeri.

Tentu ada argumen yang menentang sikap tidak kembalinya para pelajar tersebut, yakni nasionalisme. Mereka adalah pelajar yang memiliki kesempatan untuk belajar di luar negeri, keberuntungan untuk memperoleh ilmu yang lebih luas. Namun, bukannya berkontribusi menggunakan ilmu ini untuk mengembangkan negara sendiri, mereka memutuskan untuk bekerja demi negara lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun