Tetapi tetap saja sebagai seorang mahasiswa yang melakukan kegiatan pengabdian yang bertujuan menerapkan ilmu pengetahuan kepada sekitarnya, aku diwajibkan mengaplikasikan ilmuku kepada masyarakat. Sebuah timbal balik yang tidak seimbang, mengingat pengetahuan lapanganku hanya seujung kelingking.
Perjalanan setelah penerjunan KKN kami awali dengan perjalanan darat menuju Bandara Juanda, Surabaya. Kami menyewa satu buah bus berukuran sedang yang menampung 27 orang dan satu pengemudi.Â
Memulai perjalanan pukul 19.00, kami mencapai bandara pukul 01.00 malam. Menunggu jadwal pesawat pagi nanti pukul 05.20, kami mengisi waktu dengan beristirahat sebisanya dan memastikan kelengkapan barang-barang proker dan pribadi.Â
Saat jam menunjukkan pukul 03.00, bandara mulai beroperasi dengan memulai aktivitas check in bagasi. Pada proses tersebut kami bahkan menemui dua tim KKN UGM lain yang juga memiliki jadwal pagi itu.
Tujuan kami selanjutnya adalah transit sejenak di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, lalu segera melanjutkan perjalanan ke Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk. Satu-satunya bandara di Kota Luwuk tersebut berukuran tidak terlalu besar dan tampak tidak terlalu sibuk.Â
Saat pertama kali landing pukul 11.00 WITA, pemandangan di jendela kiri penumpang adalah hamparan laut biru yang tiada ujungnya. Sebuah sambutan kecil alam yang sangat aku kagumi.
Kami dijemput oleh perwakilan Bappeda Banggai Laut, yang menyambut kami dengan sangat hangat dan menyediakan transportasi bandara untuk mencapai mess Pemda Banggai Laut yang terletak sekitar tiga kilometer dari Bandara Luwuk.Â
Kami beristirahat dan menginap selama semalam di sana, menunggu jadwal keberangkatan kapal penumpang yang berlayar dari Pelabuhan Rakyat Luwuk menuju Pelabuhan Banggai Laut keesokan siangnya.Â
Makanan yang disediakan untuk kami mengingatkanku pada masakan rumah khas Sulawesi yang biasa Mama buat. Meski dari kecil di Jakarta, namun nampaknya pengaruh masakan Manado masih sangat mempengaruhi gaya masak Mama. Sekelibat, makanan tersebut membuatku sangat merindukan rumah.
Teman-teman juga sangat menikmati makanannya, beberapa bahkan berkata bahwa makanan Sulawesi lebih cocok di lidahnya ketimbang makanan Jogja. Aku hanya berharap tidaak cepat bosan dengan ikan yang tentunya selama 50 hari ke depan akan menjadi menu utama kami. Sebuah awal yang baik sebagai penyesuaian lidah, pikirku.