Salah satu dampak negatif yang muncul adalah adanya tekanan sosial bagi generasi muda, khususnya bagi mereka yang bukan keturunan Tionghoa. Mereka mungkin merasa tertinggal atau tidak cukup baik hanya karena tidak bisa memenuhi ekspektasi yang telah dibangun oleh figur-figur Chindo di media sosial. Hal ini dapat memperkuat jurang ketimpangan sosial yang sudah ada, di mana mereka yang berada di luar kelompok ini merasa "kurang" atau "tidak sebanding."
Jika kita terus memuja kelompok tertentu berdasarkan stereotip atau citra yang terbentuk di media, kita sedang membangun ekspektasi sosial yang tidak realistis bagi masyarakat secara keseluruhan. Pemujaan ini bisa berujung pada diskriminasi terhadap kelompok lain yang dianggap tidak memiliki karakteristik yang sama.
Masyarakat Indonesia harus belajar untuk memandang fenomena Chindo ini dengan lebih kritis. Mengagumi dan menghargai pencapaian seseorang tentu tidak salah, tetapi pujaan yang berlebihan bisa menciptakan bias sosial yang merugikan. Stereotip, baik positif maupun negatif, seharusnya tidak menjadi dasar bagi penilaian kita terhadap individu atau kelompok.
Penting bagi masyarakat untuk menyadari kompleksitas dalam fenomena ini. Chindo bukanlah simbol kesempurnaan, dan mereka juga bukan representasi dari seluruh komunitas Tionghoa di Indonesia. Kita perlu lebih bijak dalam memandang kesuksesan dan tidak terjebak dalam ekspektasi yang dibentuk oleh media atau tren sosial.
Pada akhirnya, Indonesia yang plural membutuhkan pendekatan yang inklusif terhadap kesuksesan dan prestasi, tanpa memandang latar belakang etnis atau budaya seseorang. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang dapat mengapresiasi pencapaian siapa saja, tanpa terbatas pada identitas atau stereotip yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H