Mohon tunggu...
Clav Digital
Clav Digital Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketing Specialist

Membangun dan mengelola persepsi positif terhadap brand. Mencakup mendorong ulasan positif, melacak penyebutan brand, dan menanggapi komentar pengguna di media sosial, ulasan produk, dan platform lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempelajari Resep Viral Labubu, Apa yang Bisa Kita Petik?

17 September 2024   09:14 Diperbarui: 17 September 2024   09:22 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, sebuah fenomena unik muncul di berbagai platform media sosial dan pusat perbelanjaan di Indonesia. Sebuah boneka bernama Labubu tiba-tiba menjadi viral, memicu kerumunan orang dewasa yang berbondong-bondong ke mall untuk membelinya. 

Boneka yang pada awalnya tampak sederhana ini telah menciptakan sensasi yang luar biasa, bahkan menginspirasi diskusi mengenai bagaimana tren yang tampaknya tidak penting bisa mendominasi perhatian publik. Bagi banyak pengamat sosial dan pelaku bisnis, fenomena ini memberikan pelajaran berharga tentang kekuatan viralitas, budaya konsumen, dan psikologi massa.

Bagi yang belum familiar, Labubu adalah sebuah boneka dengan desain yang cenderung sederhana namun memiliki daya tarik estetika yang kuat. Meskipun terkesan biasa saja, boneka ini berhasil menangkap imajinasi banyak orang dan menjadi salah satu produk paling dicari dalam beberapa minggu terakhir. 

Mulanya, boneka ini adalah karya seni yang berasal dari kolektor mainan di luar negeri, namun tiba-tiba mendapatkan popularitas yang besar di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, popularitas Labubu meledak, dengan orang-orang dewasa berlarian ke pusat perbelanjaan, rela antre panjang, bahkan berdesak-desakan demi mendapatkan boneka tersebut .

Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa boneka ini bisa begitu populer? Apakah boneka ini memiliki sesuatu yang luar biasa dari segi desain atau fungsi, atau adakah faktor lain yang lebih kompleks di balik viralitasnya?

Viralitas Labubu bisa dilihat sebagai hasil dari dinamika budaya konsumen yang semakin berkembang pesat, terutama di era digital. Dalam dunia di mana segala sesuatu bisa dengan mudah dibeli secara online, ada kecenderungan konsumen untuk mencari produk-produk yang memberikan pengalaman berbeda atau eksklusif. Labubu memenuhi kebutuhan ini. Ketersediaannya yang terbatas membuat boneka ini menjadi barang yang didambakan, bukan hanya karena bentuk fisiknya, tetapi karena nilai simbolik yang ditawarkan---sebuah representasi dari status dan eksklusivitas.

Hal ini tidak jauh berbeda dari tren sebelumnya di dunia fashion, seperti ketika sneakers edisi terbatas atau produk fashion high-end lainnya menjadi buruan para kolektor dan penggemar. Orang-orang tertarik pada sesuatu yang tidak bisa dimiliki semua orang, karena kelangkaan itu sendiri meningkatkan nilai produk di mata konsumen . Fenomena Labubu mencerminkan hal ini, dengan banyak orang yang merasa perlu memiliki boneka tersebut hanya karena fakta bahwa tidak semua orang bisa mendapatkannya.

Salah satu faktor kunci dalam viralitas Labubu adalah FOMO atau Fear of Missing Out, sebuah istilah yang menggambarkan kecemasan seseorang ketika merasa ketinggalan atau tidak mengikuti tren yang sedang populer. Di era media sosial, di mana setiap tren atau fenomena bisa dengan cepat menyebar dan menjadi pembicaraan, FOMO menjadi dorongan besar bagi konsumen untuk terlibat dalam tren tersebut.

Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, dalam sebuah diskusi mengenai tren viral, mengatakan bahwa, "Ketika sesuatu terasa baru dan belum dimiliki banyak orang, masyarakat cenderung menganggapnya sebagai barang yang harus segera dimiliki. Di sinilah fenomena psikologis FOMO berperan besar. Konsumen merasa takut ketinggalan tren, meskipun belum tentu produk tersebut memiliki nilai yang signifikan."

Dalam konteks Labubu, banyak orang mungkin awalnya tidak tahu mengapa boneka ini begitu diinginkan. Namun, ketika mereka melihat banyak orang lain tertarik dan rela berdesak-desakan untuk memilikinya, rasa penasaran dan FOMO mulai bekerja. Bahkan mereka yang mungkin sebelumnya tidak peduli dengan boneka pun akhirnya merasa tertarik untuk membelinya .

Tentu saja, peran media sosial tidak bisa diabaikan dalam fenomena ini. Dalam hitungan hari, foto dan video orang-orang yang memegang Labubu memenuhi timeline di Instagram, TikTok, dan Twitter. Semakin banyak orang yang mem-posting tentang boneka ini, semakin besar pula antusiasme yang terbentuk. 

Media sosial mempercepat penyebaran informasi dan menciptakan hype yang sulit dihindari. Fenomena viral seperti Labubu menunjukkan bagaimana media sosial tidak hanya sebagai platform komunikasi, tetapi juga sebagai mesin pembentuk tren dan opini publik .

Namun, ada sisi lain dari viralitas ini yang patut diperhatikan. Ketika suatu produk atau tren menjadi terlalu viral, ada potensi overhype yang dapat menyebabkan produk tersebut kehilangan daya tariknya dengan cepat. Konsumen pada akhirnya bisa merasa jenuh, terutama jika mereka merasa terbawa arus hanya karena mengikuti tren tanpa memahami esensinya.

Apa yang kita pelajari dari fenomena Labubu adalah bagaimana psikologi massa bekerja dalam konteks tren viral. Ketika sebuah tren mulai mendapatkan perhatian besar, orang-orang cenderung mengikuti tanpa mempertanyakan mengapa hal tersebut menarik perhatian begitu banyak orang. 

Hal ini dapat dihubungkan dengan fenomena psikologis yang disebut bandwagon effect, di mana individu merasa terdorong untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh mayoritas, tanpa mempertimbangkan alasan rasional di baliknya.

Dalam kasus Labubu, orang-orang yang awalnya mungkin tidak tertarik pada boneka akhirnya merasa perlu memilikinya hanya karena melihat banyak orang lain melakukannya. Psikologi massa bekerja dengan cara yang unik, di mana daya tarik suatu produk atau tren seringkali lebih dipengaruhi oleh reaksi orang-orang di sekitarnya daripada oleh karakteristik produk itu sendiri .

Fenomena Labubu tidak hanya menjadi cerminan bagaimana tren bisa berkembang secara cepat di era digital, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang dinamika budaya konsumen, psikologi massa, dan cara media sosial membentuk perilaku publik. Ada beberapa hal yang bisa kita petik dari fenomena ini:

Viralitas bisa terjadi tanpa prediksi. Fenomena viral seperti Labubu sering kali muncul tanpa peringatan. Ini menunjukkan betapa sulitnya memprediksi tren dan bagaimana sesuatu yang sederhana bisa tiba-tiba meledak menjadi tren besar. Banyak orang mengikuti tren bukan karena tertarik pada produknya, tetapi karena merasa terdorong oleh tekanan sosial atau FOMO. 

Media sosial mempercepat penyebaran tren dan memperkuat dorongan bagi orang untuk terlibat dalam tren tersebut. Produk-produk yang langka atau sulit didapatkan cenderung lebih diinginkan, bahkan jika nilai fungsionalnya tidak sebanding dengan permintaan yang ada.

Fenomena Labubu adalah contoh nyata bagaimana tren viral dapat memberikan wawasan baru tentang budaya konsumen di era modern. Lebih dari sekadar boneka, Labubu mengajarkan kita tentang kekuatan psikologis di balik perilaku konsumen dan bagaimana tren terbentuk dan menyebar di era digital. Jadi, meskipun Labubu hanyalah boneka, pelajaran yang bisa dipetik darinya jauh lebih dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun