Mohon tunggu...
Claudy Yusuf
Claudy Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Salam

"Saya mendapat ilmu ketika membaca maka saya balas dengan menulis untuk berbagi" instagram: Claudyusuf

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Baduy Menjaga Alam Sesuai Tradisi

17 Mei 2011   14:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:32 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta terus berkembang dengan berdiri kokohnya gedung-gedung tinggi, jalan layang melayang menghiasi sudut pandang ibukota, kesibukan berjalan hingga malam namun kemacetan menjadi sebuah pemandangan yang sudah biasa, polusi tersebar luas & kemisikinan merajalela. Itulah Jakarta kini yang dibangun tanpa kearifan lokal terhadap alam. Kontras dengan sekolompok masyarakat yang hidup terisolasi dari dunia luar dengan kehidupan tradisional yang mempertahankan tradisi nenek moyang untuk menjaga keseimbangan antara alam dengan manusia.

Kampung Baduy terletak dipegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten. Ditengah rimbunnya hutan terdapat pemandangan rumah panggung dari kayu, tanpa paku, tanpa jendela dengan atap ijuk yang berjejer sama bentuk menjadi pemandangan tersendiri. Ayam-ayam peliharan berkeliaran bebas disekitar kampung dan hanya ada satu hewan berkaki empat yaitu anjing untuk berburu. Masyarakat Baduy enggan memelihara hewan berkaki empat lainnya karena kontur tanah yang tidak rata. Beberapa wanita badui yang cantik terlihat  memainkan jemarinya membuat kain tenun dengan cara tradisional diteras rumah. Itulah pemandangan yang sering terlihat di Baduy Luar tepatnya dikampung Gajebo. Gemercik suara air sungai mengalir terdengar dibelakang Desa Gajebo. Bersih tanpa sampah dengan batu-batuan besar dan kecil yang berawarna-warni menahan deru air sungai yang jernih. Pohon-pohon rindang menemani sepanjang perjalanan sungai. Air sungai yang bersih terjaga digunakan untuk mandi masyarakat Baduy yang terpisah antara sungai untuk laki-laki dan perempuan. Kearifan masyarakat Baduy begitu bersahabat dengan sungai dengan tidak menggunakan sabun untuk mandi dan detergen untuk mencuci serta tidak membuang sampah disungai. Lebarnya sungai dibelah oleh jembatan bambu yang kokoh. Jembatan yang hanya terbuat dari bambu tanpa paku dan diikat dengan serat pohon. Jembatan kokoh ini dibuat dengan efisiensi waktu yang baik, hanya dengan satu hari jembatan harus selesai dibangun, tidak selesai satu hari jembatan dibongkar dan dimuali pembangunan dari awal keesokan harinya.

Berjalan dijembatan bambu menghubungkan kekomplek lumbung padi yang terpisah dari desa. Semuanya sudah terencana dengan baik, lumbung padi sengaja terpisah dari desa karena untuk menghindari jika terjadi kebakaran didesa maka lumbung padi tetap selamat dan masyarakat baduy tetap bisa bertahan hidup tanpa kelaparan. Sistem kepercayaan masyarakat Baduy masih menganut sunda wiwitan. Wiwitan itu sendiri berasal dari kata kawit yang berarti paling awal, jadi maksud dari sunda wiwitan adalah sunda yang paling awal atau paling tua. Jika ada seorang warga yang meninggal maka dikubur lalu ditandai dengan tanaman pohon hanjuang. Suara lantunan alat musik angklung yang dikukuhkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia mewarnai semangat para lelaki Baduy sebelum menanam padi. Permainan angklung yang dimainkan hanya saat ingin menanam padi ini dimainkan oleh beberapa laki-laki dan ada dua orang laki-laki yang menari. Laki-laki berpakaian hitam memainkan angklung sambil berjalan melingkar. Disiang hari waktunya para lelaki Baduy pergi keladang padi yang terletak didesa lainnya. Letak Ladang yang berada didesa lain bertujuan untuk menjaga sosialisasi antara warga desa baduy yang satu dengan warga desa baduy lainnya. Berjalan kaki menyusuri hutan yang berbukit sambil membawa peralatan berladang seperti arit dan koren (cangkul kecil). Menanam padi diladang dengan tidak bersawah itulah cara masyarakat baduy menjaga alam. Ladang padipun tidak mengubah kontur tanah agar jika ladang sudah tidak terpakai pepohonan rindang dapat tumbuh seperti sedia kala. Terlihat juga kecanggihan cara berladang masyarakat Baduy yang bisa menanam padi diladang dengan kemiringan hampir 90 derajat hanya demi menjaga agar kontur tanah tidak berubah. Penanaman padi secara serempak menghindarkan dari serangan hama sehingga tidak memerlukan lagi pestisida. Ladang padi inilah menghasilkan padi bebas bahan kimia yang menjadi santapan sehari-hari masyarakat baduy. Desa terlihat sepi disiang hari karena para lelaki pergi berladang namun sudah ada yang menjaga desa dengan ronda. Ronda ini bertujuan untuk mencegah dan memadamkan api jika terjadi kebakaran  didesa juga memberi petunjuk jika ada tamu yang tersesat. Maling bukanlah tujuan dari ronda karena prinsip masyarakat baduy yang begitu bijak "Barang yang kita miliki bukanlah milik kita, maling tidak perlu dijaga hanya berdasarkan kesadaran dosa akibat mencuri ditanggung pencuri" Keraifan terhadap alam dengan membagi dari 5101 ha menjadi 1/3 untuk pemukiman, 1/3 untuk ladang dan 1/3 untuk hutan serta menjaga sungai tetap bersih menjadi tanggung jawab yang dipegang teguh membuat alam tetap asri tanpa polusi. Bentuk rumah yang sama dan dibangun bersama menghindari dari kecemburuan sosail. Efisiensi waktu membangun jembatan merupakan budaya menghargai waktu. Kehidupan berladang yang letaknya didesa lain menjaga sosialisasi antar desa membuat pertikaian tidak pernah terjadi. Padi yang alami menjadi energi masyarakat Baduy. Inilah sebuah tradisi budaya yang patut dicontoh dan membanggakan dari Baduy, Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun