Penegakan hukum terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana menjadi salah satu tantangan besar dalam sistem peradilan pidana. Anak sebagai individu yang belum matang secara fisik maupun mental memerlukan pendekatan yang berbeda dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana yang tidak mempertimbangkan aspek perkembangan psikologis anak justru berpotensi memperburuk kondisi anak dan masa depannya. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang berorientasi pada perlindungan anak tanpa mengesampingkan prinsip keadilan bagi korban.
Karakteristik Anak dalam Hukum Pidana
Anak di bawah umur, menurut hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada usia ini, anak dianggap belum mampu sepenuhnya memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Karena itu, hukum pidana memberikan perlakuan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana.
Salah satu konsep yang ditekankan dalam UU SPPA adalah prinsip restorative justice (keadilan restoratif). Prinsip ini bertujuan untuk memperbaiki dampak kejahatan bagi korban, pelaku, dan masyarakat, dengan fokus pada pemulihan daripada pembalasan. Pendekatan ini mengakui bahwa anak memerlukan pendidikan dan bimbingan, bukan semata-mata hukuman.
Prosedur Penegakan Hukum terhadap Anak
Dalam penanganan anak yang melakukan tindak pidana, terdapat beberapa tahapan penting sesuai UU SPPA:
1.Diversi sebagai Prioritas Utama
Diversi adalah proses penyelesaian perkara anak di luar pengadilan. Proses ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pelaku, korban, keluarga, pembimbing kemasyarakatan, serta masyarakat. Diversi bertujuan untuk menghindarkan anak dari stigma negatif yang dapat melekat akibat proses peradilan pidana.
Diversi hanya dapat dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak memiliki ancaman pidana kurang dari 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
2.Pemeriksaan dengan Pendampingan
Jika diversi tidak dapat dilakukan atau gagal mencapai kesepakatan, maka anak akan menjalani proses hukum formal. Pemeriksaan terhadap anak harus dilakukan dengan memperhatikan hak-hak anak, seperti pendampingan oleh orang tua atau wali, penasihat hukum, serta petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas). Pemeriksaan ini juga harus dilakukan secara ramah anak dan tertutup untuk melindungi privasi anak.
3.Pengadilan Anak
Pengadilan Anak merupakan lembaga khusus yang menangani perkara pidana anak. Hakim yang memimpin persidangan wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perlindungan anak. Selain itu, putusan yang dijatuhkan harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
4.Sanksi yang Diterapkan
UU SPPA mengatur bahwa sanksi terhadap anak dapat berupa pidana maupun tindakan. Sanksi pidana mencakup pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, hingga penjara sebagai upaya terakhir. Sementara itu, sanksi tindakan meliputi rehabilitasi, perawatan di rumah sakit, atau penyerahan kembali kepada orang tua. Penjara hanya dijadikan alternatif terakhir dan untuk waktu sesingkat mungkin.
Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana