Mohon tunggu...
Claudio Hello
Claudio Hello Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Youtuber

Karena menyukai sepak bola dan biasa bermain sbeagai pemain Tarkam Saya pun membuat sebuah channel Youtube yang membahas tentang Analisis pribadi saya tentang sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Pelabuhan Liverpool

16 Oktober 2018   10:00 Diperbarui: 16 Oktober 2018   10:34 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pelabuhan LIverpool

Senja, 22 maret 1994

Awan tak kelihatan. Hanya tampak birunya langit yang membentang tanpa batas, hanya berbatas sepanjang jangkauan bola mata yang masih mengamat-amati keadaan pelabuhan. Vito bahagia tinggal di tempat ini yang baginya adalah tempat terbaik di dunia: kota yang permai di pagi hari, damai di siang hari, ramai di sore hari dan sunyi ketika malam mulai menua.

Bekerja di pelabuhan membuatnya dapat melihat beribu-ribu wajah baru hampir setiap hari. Wajah orang-orang yang datang dan pergi tanpa meninggalkan bekas apa pun dalam ingatannya, yang selalu ia nantikan setiap bekerja ialah akhir pekan, agar dia bisa pergi ke Anfield[1], untuk menonton pertandingan Liverpool FC yang terkenal itu, atau ke gedung konser untuk menyaksikan grup-grup band baru yang berharap dapat mencapai kepopuleran luar biasa seperti The Beatles, grub band asal Liverpool yang telah jadi lagenda musik dunia itu.

Senja kali ini Vito pulang ke rumahnya yang berada di dekat pelabuhan itu. Dalam perjalanan tak disangka ia menjumpai seorang wanita yang tengah duduk di tembok pembatas dermaga dengan tubuh dan wajah mengarah ke dalam lautan. Berpikir wanita itu tengah mencoba bunuh diri ia pun berlari menghampiri wanita itu.

"Kuharap anda tidak sedang tak ingin bunuh diri di sini. Ini tempat yang terlalu indah. Sayang sekali jika kau ingin mengakhiri hidupmu di sini!" Teriak Vito dengan suara setenang mungkin.

Mendengar itu wanita itu pun memalingkan wajahnya ke arah Vito. Dia berdiri, mengambil ancang-ancang untuk siap melompat. Vito nampak ketakutan saat melihat itu. Tetapi tenyata wanita itu hanya melompat turun dari tembok itu.

"Aku tak sebodoh yang kau pikirkan." Wanita itu mendekati Vito lalu berkata demikian.

"Terus apa yang kau lakukan di situ?"

"Bukankah katamu tempat ini sangat indah? Aku datang jauh-jauh dari Munchen untuk membuktikan kata orang-orang itu."

"Tentu, yang kaulihat itu hanya sebagian dari keindahannya. Tetapi apa yang kau lakukan tadi nampak seperti kelakuan orang yang sedang ingin bunuh diri."

"Itu caraku untuk lebih menikmati keindahan pelabuhan ini," timpalnya santai.

Wanita itu kemudian mengajak Vito naik ke atas tembok pembatas dermaga. Mereka pun mulai bercerita. Hanya mereka. Senja pun tak berani mengganggu dua anak manusia yang kini tengah memadu kemesraan itu. Wanita itu bertanya banyak tentang kota Liverpool dan Vito pun bercerita tentang kotanya dengan semangat berapi-api.

"Namaku Dita, aku seorang wartawan." Ia mulai memperkenalkan dirinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Yang jelas tak sekedar hanya berjalan-jalan. Aku datang untuk meliput berita seputar pertandingan Liga Champions antara Liverpool dan Bayern Munchen. Aku datang bersama para pendukung Bayern Munchen yang memilih menggunakan kapal laut."

"Bukankah pertandingan itu sudah selesai kemarin?"

"Iya. Maka dari itu besok aku akan pulang."

Vito terdiam. Untuk sejenak dia berpikir. Belum pernah sebelumnya ia alami kemesraan seperti yang ia alami dalam pertemuan sesingkat ini.

"Apakah suatu saat nanti kau akan kembali."

"Mungkin. Tetapi aku tak mau berjanji."

Vito melirik arlojinya. Hanya satu jam mereka berbincang, jelas dia akan mampu melupakan wajahnya seperti beribu-ribu wajah yang setiap hari ia jumpai lalu terlupakan. Mereka memandang awan yang mulai menebal seperti kapas. Mereka mengakhiri perjumpaan itu dengan bertukar senyum tanpa tanda mata, tanpa ada kepastian akan kembali berjumpa.

***

Sunyi berarak sepanjang kabut yang menebar rindu yang tak tertahankan. Di sini secangkir Moccacino adalah sahabat buat Vito membunuh dinginnya kota ini yang mencoba menyerangnya, juga teman untuk membunuh kantuk yang selalu menggodanya untuk menabung mimpi dalam lelap.

Ini masih pagi, seperti pagi-pagi dalam hari-hari yang Vito lewati untuk menanti wanita yang hanya pernah ia jumpai sekali itu pun hanya selama sejam tetapi menyisakan rindu berhari-hari. Membuatnya selalu berusaha bangun lebih pagi dan segera berangkat ke pelabuhan, berharap Dita akan datang kembali dan mereka berjumpa di sana. Terkadang hati memang aneh, cepat mengenal tetapi terlalu sulit untuk melupakan.

Tak seperti biasanya. Dia kini mulai menjelajahi wajah setiap penumpang yang datang setiap hari dan berharap ada wajah Dita yang terselip dalam kerumunan penumpang. Sekarang Vito tak hanya menanti akhir pekan, tetapi ia juga lebih menantikan Dita. 

Karena penantian itu Vito jadi menemukan bayangan-bayangan wajah Dita melangkah pelan sepanjang wajahnya yang tengah melihat deburan ombak, pertandingan sepak bola, konser musik, salju yang turun, dan musim yang berganti.

***

Terkadang dia hanyalah awan yang datang menjelma hujan, yang pernah datang lalu pergi tak pernah kembali. Ini sudah lama sekali. Dugaannya jelas meleset. Hingga kini dia tak dapat melupakan Dita dan juga kebiasaannya untuk menantinya. Vito tak pernah membayangkan bahwa perjumpaan sejam membuat Dia rela menanti hingga empat tahun atau mungkin bisa lebih.

Hari ini kota Liverpool tengah bersiap untuk Final Piala FA di Anfield Stadium. Semua penduduk kota tentu mengharapkan Liverpool dapat mengangkat trofi FA yang tidak pernah mereka dapatkan selama enam tahun terakhir.

Ternyata bukan itu saja yang dia nantikan. Tetapi jelas dia menanti sesuatu yang tak pasti dan jenis penantian itu yang paling menyakitkan karena seolah tanpa ujung.

 Senja itu Vito langkahkan kakinya menuju tribun penonton yang ada, tetapi tenyata semua kursi telah penuh sedang di luar masih banyak supporter lain yang memaksa masuk. Semua penonton berdesak-desakan dan dia merasa sulit bernapas. Makin lama, dia merasa dadanya tak lagi punya udara untuk diihirup. Langkahnya seketika letih seakan setiap orang di sekelilingnya menyedot energinya sedikit demi sedikit. Maka matanya kabur perlahan dan setelah itu Vito tak sadarkan diri, sedang tubuhnya terinjak-injak dalam kerumunan.

Liverpool berhasil keluar sebagai juara tetapi tak ada kegembiraan. Mereka berkabung karena kemenangan mereka harus dibayar mahal dengan wafatnya empat puluh lima Liverpooldian[2] karena terinjak-injak saat menyaksikan laga itu. Kabar itu menyebar ke seluruh pelosok Eropa.

Di Jerman, seorang wanita dan suaminya tengah menonton berita yang menyiarkan tentang tragedi itu. Dalam berita itu diberitakan nama-nama korban dalam "Hilsburg Memoriam". Saat nama Vito disebut dan fotonya dipertunjukan, wanita itu tersentak.

"Ada apa.  Apakah kau mengenalnya, Dita"  Sang suami bertanya pada istrinya.

"Entahlah aku merasa pernah berjumpa dengannya di pelabuhan Liverpool"

 *

Vito sudah menanti sampai mati. Kini harusnya dia sudah tahu bahwa Dita, orang yang tak bisa ia lupakan sehingga selalu dinantinya itu telah melupakannya.  Jangan menantinya lagi.

***

[1] Stadion sepakbola milik klub Liverpool

[2] Istilah untuk menyebut para pendukung fanatik klub sepakbola Liverpool, FC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun