Mohon tunggu...
Claudia May
Claudia May Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Menyukai segala hal mengenai kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angin yang Menghembus Sebatang Tunas Muda

23 Agustus 2024   16:00 Diperbarui: 23 Agustus 2024   16:02 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesunyian pecah oleh goresan tinta hitam yang hendak melukiskan sebuah catatan panjang pada sehelai kertas. Susunan katanya sangat tidak rapi, tulisannya jauh dari kata eksotis. Suara kertas bergesekan mulai terdengar, rupanya dia mulai menulis di lembaran kertas lain. Pena masih setia di dalam cengkraman. Seakan masih sudi untuk membantu pemuda itu dalam mencurahkan segala pikirannya. Sesekali pemuda itu menyibak rambut ikalnya ke belakang, memerintahkan agar tidak mengganggu pekerjaannya. Bagaimana tidak? Petinggi desa tempat tinggalnya tiba menerima ajakan kontraktor untuk membangun fasilitas yang untuk saat ini terbilang masih sangat mewah bagi masyarakat. Fasilitas yang sama sekali tidak dibutuhkan. Yang ada malah pembabatan tanah hijau di lingkungan mereka. Tentu saja, perlu lahan yang luas demi mencapai tujuan yang bisa dibilang rentan, terlebih desa ini memiliki lahan kosong yang cukup luas, bisa dibilang cukup untuk "menyamakan diri" dengan kota besar di luar sana. Pejabat desa bilang bahwa hal ini untuk kemakmuran masyarakat. Tapi sesuatu yang mendadak ini seakan membuat masyarakat bertaruh pada hal yang belum pasti.

Topik ini memangkas habis kewarasannya. Pertanyaan yang diawali dengan kata "Bagaimana bisa" selalu terlintas. Tangannya terus menulis sambil berpikir, langkah apa yang harus ia lakukan untuk menghentikannya?

Tiga ketukan dari arah jendela memecah segala pikiran yang menyiksa. Dia menoleh dan berdiri. Tangan itu segera menggenggam tirai dengan kasar dan membukanya dengan sedikit penekanan antara meredam suara maupun melampiaskan beban pikirannya. Dilihatnya seorang pemuda tengah berjongkok di depan jendela kamar dengan ciri khas ikat kepala merahnya. Pemuda itu memberi isyarat untuk segera membuka jendela. Tanpa pikir panjang, jendela itu dibuka lebar-lebar. Udara dingin berebut masuk, begitu pula dengan pemuda diluar. Dengan cekatan dia masuk ke dalam kamar. Jendela kembali ditutup dengan tenang, memutus udara dingin yang mulai berebut masuk. Tirai kembali tertutup seperti keadaan semula.

Sambil bersandar pada tembok dekat jendela, Rey mendengarkan dengan seksama. Rekannya, Ardian duduk di atas kasur. Ada kabar kurang mengenakkan hati yang rupanya dibawa oleh sahabatnya. Mobil proyek mulai berdatangan. Ada kemungkinan pembangunan dilakukan dua minggu kemudian. Lebih cepat dari yang seharusnya. Keduanya terhanyut dalam kesunyian dengan pikiran yang acak.

Ardian berusaha meyakinkan Rey bahwa remaja Karang Taruna ingin membantunya agat proyek ini dihentikan. Masalahnya Rey selalu saja memikul beban bersama seorang diri. Menyelesaikan masalah universal sendirian. Sudah menjadi kebiasaannya memang, tapi hal ini tidaklah sehat.

Bujukan Ardian tiada hasil. Rey tetap berusaha untuk berbicara dengan petinggi sendirian. Ucapan Ardian seakan tidak digubris. Rey yakin bisa meyakinkan para petinggi hanya dengan kata-katanya seorang. Karena dia yang paham situasinya, dia mengerti apa yang harus dilakukan jika rencana tidak berjalan dengan baik.

Tepat pukul 12 malam, Ardian pamit. Keluar lewat jendela yang sama. Dari pembahasan ini tak banyak yang berubah, hanya waktunya saja yang berubah. Sejujurnya Rey semakin panik dengan kabar baru ini. Anehnya juga, masyarakat desa terlihat sangat antusias dengan pembangunan yang jelas-jelas merugikan mereka. Mungkin ada hal yang tidak diketahui, Ada yang disembunyikan.

Mencoba untuk menenangkan diri, Rey mencoba untuk tertidur malam itu. Membiarkan kertas di atas meja tetap berserakan.

Malam telah tenggelam, matahari menggantikan peran bulan dalam menemani manusia dalam menjalani kegiatannya. Suara gedoran dari arah jendela membuat para burung yang hinggap di atas pohon mangga takut untuk berkicau. Dengan kelopak mata yang enggan terbuka, Rey memaksakan tubuhnya untuk segera bangun dan merespon gedoran yang tak kunjung reda. Jendela itu dibuka. Wajah panik sahabatnya semakin membuat Rey terbangun. Dia menoleh pada lelaki muda dengan raut wajah cemas yang berdiri di samping Ardian. Mereka berkata bahwa ada sesuatu yang tidak beres di luar sana. Rey yang memang sudah bangun bergegas mengikuti kemana Ardian dan rekannya yang lain pergi membawanya.

Mereka berdua membawa Rey pada kerumunan banyak orang. Di tengah-tengah pandangan mata masyarakat berdirilah seseorang dengan jas rapi yang tengah mengklaim bahwa acara ini merupakan acara peletakan batu pertama sebelum proyek dilakukan. Batu itu sudah tertancap sebelum Rey datang.

Sadar bahwa kedatangannya sudah sangat terlambat, Rey spontan berteriak "Berhenti!" tubuhnya mulai menerobos kerumunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun