KKN tampak sunyi, Â teman-teman sedang sibuk membantu warga membersihkan rumput di ladang bawang. Sore itu saya dan ketiga teman kelompok masak, sudah bergegas menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam.
Langit Sore Di Desa Banjarejo sangat indah. Â PoskoJam menunjukan pukul 4.15 yang artinya kami harus segera memasak, karena tepat jam 19.00 semua teman-teman kelompok KKN sudah berkumpul untuk rapat evaluasi kegiatan selama sepekan.
Semua berjalan cukup kondusif. Ada yang tumis sayur, goreng ikan dan lain sebaginya.
Namun beberapa saat kemudian, saya mengingat kejadian yang menyakiti hati siang tadi. Teman yang bernama Rangga memprotes  makanan yang kelompok kami masak. Semuanya serba salah dimatanya. Rangga mengomel hanya didepan saya, persis perempuan saat lagi datang bulan. Dia bahkan tidak berani berceramah didepan teman yang lain. Entah karena dia memang benci, atau hanya sekedar candaan, saya tidak mengerti. Karena terlanjur sakit hati sayapun curhat ke Fani.
"Fan, tadi Rangga bilang sayur yang kita masak selalu tidak enak. Bahkan porsinya terlalu sedikit. Saya malu Fan. Setiap kali berpapasan dengannya pasti mengomel."Â Sambil sesekali saya mengelap air mata yang jatuh diantara jeda. Jangan ditanya seberapa sakit hatinya saya. Maklum perempuan, semua serba pakai perasan bukan logika.
"Sudahlah, mungkin hanya candaan. Jangan terlalu ditanggap serius." Kata Fani, mencoba menenangkan.
"Tapi katanya, lain kali kalau masak uang yang dikasih dari bendahara itu dialokasikan semua ke makanan biar tidak kurang. Lihat kelompok lain, makanan selalu melimpah ruah. Terus Rangga bilang kita manipulasi uang."Â Saya terus menangis sambil mikir kok bisa ya, menuduh tanpa bukti sementara nota belanjanya itu selalu ada. Awalnya saya pikir hanya becandaan bisa namanya juga cowok. Namun, semua terasa berlebihan saat Rangga mengulangi hal yang sama setiap kali saya lewat depannya.
"Sudahlah, coba ntar kita curhat ke teman kita yang lain."Â Saya juga sakit hati dengarnya.
Lalu, kami berdua kembali memasak. Saya cukup kecewa dengan segala tuduhan yang dilimpahkan ke kelompok kami. Diantara riuhnya suara gesekan wajan, dan hiruk pikuk teman kelompok, saya mencoba untuk menenangkan diri, menepi dan merasakan gorengan tempe panas yang asinnya mengalahkan air laut tersebut.
Kelompok masak ini sudah terjadwal dan kebetulan kami dapatnya di hari Selasa. Terdiri dari dua perempuan yaitu saya sendiri, Fani dan juga ketiga teman laki-laki, yaitu Alif, Diandro, dan Dimas.
Langit mulai gelap, sedangkan jam sudah menunjukan pukul lima sore. Dimas baru datang ke dapur dengan wajahnya yang sumringah. Dimas sudahku anggap seperti abang sendiri karena ia paling tua di kelompok masak tersebut. Orangnya pendiam tapi nyambung kalau diajak bicara. Sore itu, ia telat ke dapur tidak seperti biasanya.
"Hallo guys. Maaf ya, telat. Tadi saya ketiduran, pas bangun ternyata sudah sore. Jangan marah loh ya, nanti masakannya tidak enak." Kata Dimas sambil menaruh gelas kotor yang entah dari mana datangnya.
"Santai bro. Tidur sampai esok pagi juga tidak masalah." Kata Diandro Datar. Dari kami berlima yang paling datar adalah Diandro. Tidak suka keributan, kerja sat set. Mungkin orang paling introvert diantara manusia lainnya. Â
"Ka Dimas, tadi Rangga bilang kita manipulasi uang. Makanya sayur dan lauk yang kelompok kita masak selalu sedikit. Padahal kan baru hari ini kurang. Mungkin karena sayur kangkung."Â Kata saya sambil mencuci piring.
"Ha! Apa? Manipulasi? Mana itu Rangga. Enak saja dia bilang kita manipulasi. Apa maksudnya dia bilang begitu? Beraninya hanya dengan cewek tidak omong langsung ke saya. Tunggu dia." Terlihat jelas kemarahan diwajahnya. Senyum sumringah tadi sudah lenyap ditelan amarah. Matanya penuh kebencian, wajahnya merah persis kepiting rebus dari Alaska.
"kak, jangan marah! Saya hanya mau curhat. Bukan berarti setelah ini kamu pergi tinju dia." Saya menangis gemetaran, saya takut kalau-kalau mereka terlibat perkelahian. Oh Tuhan, apa yang harus saya lakukan.
"Sudahlah. Saya tidak akan pukul Rangga, kamu santai saja jangan panik."Â Dengan sorot mata yang masih sama dia berdiri dan pergi meninggalkan dapur.
Saya mengutuki kebodohan sendiri, kenapa harus curhat ke cowok yang sensian itu sih?! Dibalik wajahnya yang lugu terdapat jiwa petarung tidak sejati. Awh, sangat tidak sejati. Â Sebagai seorang yang bertanggung jawab saya dan Fani mencari Dimas untuk menenangkan kemarahannya.
****
Jam evaluasi pun dimulai. Selama rapat berlangsung, semua berjalan cukup kondusif, namun ternyata itu tidak bertahan lama saat Alif  mulai berbicara.
"Teman-teman, tanpa mengurangi rasa hormat, saya mau sampaikan  bahwasanya, uang kelompok yang dipakai untuk belanja,  kami tidak ambil untuk kepentingan sendiri. Kadang uang yang dari bendahara itu, kurang dan kami harus mengeluarkan uang sendiri. Jadi tolong ini kedepan tidak usah ribut soal makanan yang sudah pemasak sajikan. Apalagi sampai menyinggung soal keuangan." Dengan intonasi yang sangat tinggi Alif bicara.
"Iya dari saya, tolong teman-teman cowok kalau protes jangan protes ke cewek langsung ke cowok saja. Mulut itu jangan terlalu lemes ngatain orang. Mulai Minggu depan pas kelompok kami tugas masak, saya pribadi beli ayam 30 ekor dan wajib makan satu orang satu ekor ayam utuh. Tidak mau tahu, saya orang kaya bukan orang miskin. Ngapain kami makan itu uang 150ribu." Dengan wajah penuh amarah Dimas bicara.
Setelah evaluasi selesai, kami para perempuan tertawa terbahak-bahak mengingat ucapan ayam 30 ekor, satu ekor satu orang. Tidak ada pertengkaran malam itu, entah karena Dimas nya tidak mau bertengkar atau karena Rangga nya yang tidak ada di tempat. Karena sebelum kejadian itu, Rangga sudah pamit ke desa tetangga mengunjungi temannya.
Matahari pagi mulai menampakkan diri. Semua kembali ke aktifitas semula, ada yang ke balai desa, ke sekolah, ke sawah dan juga yang tinggal di posko untuk masak.
Semua kegiatan berjalan dengan lancar, tidak ada pertengkaran bahkan Rangga dengan Dimas berteman seperti biasanya tanpa melibatkan emosi dan amarah.