Beberapa hari lalu saya terima pesan dari salah satu grup di medsos: "Siap-siap krisis ekonomi di depan mata! Per 1 Maret BBM, listrik dan tarif tol naik. Bahkan harga beras naik 'tertinggi dalam sejarah', padahal negara agraris lho!"
Spontan saya langsung merespon: Beras mahal, makan pasta saja!
Setelah dipikir-pikir, dulu harga pasta di Indonesia sudah lumayan mahal. Kalau BBM naik, harga pasta dan lain-lain tentunya akan naik pula. Ya, waktu mudik kaget juga lihat harga sebungkus pasta dengan merk sama, bisa beli 2-3 bungkus di Italia sini. Suami sampai menyarankan untuk bikin pasta sendiri daripada beli. Selain kita tahu material yang dipakai, rasanya juga jauh lebih enak. Tapi waktu itu saya berkilah, "Praktisnya, kamu yang harus adaptasi dengan makanan kami. Jadi saya tidak repot cari makanan impor." Ooops, saran ini betulnya lebih kepada diri sendiri, berdasarkan pengalaman merantau di negerinya.
Waktu tiba di Italia, saya menyewa kamar di sebuah biara di kota Perugia. Setiap petang, saya ikut misa dengan para biarawati yang mengelola penginapan tersebut. Rupanya mereka terkesan. Jadi waktu saya tinggalkan biara karena harus lanjut kursus di kota lain, mereka membekali saya dengan setumpuk beras. Saya perhatikan, hampir setiap hari ada mobil berhenti di depan biara hanya untuk drop aneka makanan. Kadang sekardus susu, mungkin isinya selusin. Kadang beras, terigu, biskuit dan sebagainya.Â
Karena saya orang Asia, mereka yakin saya makan nasi setiap hari. Jadi mereka menawarkan beras untuk bekal sebulan di tempat tinggal baru. Berasnya dikemas pakai karton. Sekotak isinya 1 kg. Dalam kotak, berasnya dibungkus plastik hampa udara. Agar tidak makan tempat di koper, kardusnya saya buang. Jadi berasnya bisa diselipkan di antara baju dan buku-buku. Saya hanya memasukan 6 kotak sebab koper saya sudah berat.
Saya harus mampir ke Roma untuk melanjutkan perjalanan ke Reggio di Calabria. Selain beras, mereka juga merekomendasi untuk singgah di biara yang menampung biarawati dari Afrika. Kereta dari Roma, berangkat dini hari berikutnya. Jadi saya bisa istirahat seharian di biara tersebut daripada bengong  sendirian menunggu di stasiun Termini.
Hampir jam makan siang waktu saya tiba di biara di Roma. Tak hanya biarawati Afrika yang tinggal di sana, tapi tampak pula anak-anak imigran asal benua mereka yang ditampung dalam biara tersebut. Wajah mereka umumnya terlihat muram, tanpa ekspresi. Mungkin karena terpisah dari keluarga. Mungkin juga rindu akan kampung halaman mereka.
Refleks, saya membongkar koper. Lima kotak beras saya serahkan kepada mereka. Serta merta, saya terima pelukan hangat dan airmata haru. Baik dari para biarawati, maupun anak-anak yang wajahnya langsung berubah ceria. Beberapa dari mereka bahkan memeluk dan mencium mesra kotak-kotak beras tersebut. Rupanya selama ini mereka hanya makan olahan terigu. Jadi saat melihat beras, mereka langsung bahagia. Karena saya baru sebulan meninggalkan tanah air, jadi belum punya kerinduan besar makan nasi seperti mereka yang entah berapa lama telah mengungsi di biara tersebut. Lumayan bisa mengurangi 5 kg berat koper.
Di Reggio di Calabria, saya menyewa rumah bersama dua teman dari Indonesia. Maka, sisa beras sekotak masih sempat saya nikmati untuk beberapa hari dengan mereka. Giliran habis dan hendak beli, kaget juga melihat harga beras. Ternyata memang mahal untuk ukuran kami yang masih menghitung dalam rupiah.Â
Isi sekilo tak sampai seliter ukuran penjual beras di pasar pagi Rawamangun. Sebulan setengah merantau, pikiran dan kalkulasi tetap membanding harga dan jenis ukuran yang dipakai untuk menakar material. Kalau makan nasi, tentu harus ditemani lauk pauk dan kawan-kawan. Sedangkan orang Italia makan pasta, cukup tambahkan saus tomat atau hanya bawang putih dan minyak zaitun.
Antara pelit, irit dan memang uang saya cekak, akhirnya saya harus mengganti pola pikir dan pola makan untuk bertahan hidup. Sebagai langkah awal, saya mulai belajar makan pasta. Di sini mudah menjumpai aneka sugo (saus) untuk variasi pasta. Harganya juga cukup murah. Selain itu, banyak dijual berbagai olahan pasta (pasta fresco) yang lebih praktis seperti ravioli, tortellini dan sebagainya. Dan akhirnya, saya jatuh cinta dengan pasta!
Di Italia beras dimasak menjadi risotto. Awal-awal perut saya kaget sebab rasa berasnya seperti aron. Pikiran saya yang masih 100% Indonesia, mengatakan bahwa aron itu nasi yang belum matang. Dikunyah pun butuh waktu, sebab agak keras. Jadi, waktu itu risotto kurang berterima di lidah dan perut saya.Â
Pada musim panas, mereka mengolah beras menjadi insalata di riso. Beras direbus sebentar dengan garam. Disaring lalu dicampur dengan acar sayuran. Bisa beli yang siap pakai, atau bikin acar sesuai selera. Tambahan lainnya, potongan sosis, ikan tuna, telur rebus dan keju. Tergantung selera masing-masing. Dimakan dingin-dingin.
Di Reggio di Calabria saya sempat menjadi pelanggan snack bar yang menjual arancini di riso. Sejenis kroket nasi yang isinya daging (ragout). Bentuknya kerucut. Makan satu, lumayan kenyang. Dan banyak resep-resep kue berbahan nasi. Tapi saya belum coba.
Dari olahan beras ala Italia, saya beralih ke gnocchi, polenta, roti dan pizza sebagai variasi karbo. Di Indonesia, pizza umumnya bertepi tebal. Pizza di Italia, tipis-tipis dan keras. Jadi setiap habis makan pizza, langit-langit mulut selalu sariawan. Maka saya beralih ke focaccia, olahan terigu antara roti dan pizza. Tidak setebal roti, tidak setipis pizza. Biasanya diberi taburan garam kasar, daun rosmarino, irisan bawang, tomat, buah zaitun atau polos sama sekali. Saya sendiri suka sekali bereksperimen menghias toping focaccia sebagai seni.
Gnocchi adalah makanan yang terbuat dari aneka tepung seperti tepung terigu, tepung beras, tepung semolina, roti kering, kentang, umbi-umbian dan berbagai sayuran. Tiap wilayah (regione)Â di Italia, punya ciri khas tersendiri dalam pengolahan dan penyajian gnocchi. Umumnya terbuat dari kentang berdaging kuning untuk menghasilkan cita rasa yang tepat. Jadi tidak sembarang kentang.
Polenta adalah makanan pedesaan kuno asal Italia yang terbuat dari jagung. Pendapat lain mengatakan bahwa polenta sudah digunakan oleh bangsa Sumeria kuno dan di Mesopotamia. Mereka memakai millet dan gandum hitam. Sementara orang-orang Yunani Kuno menggunakan tepung jelai dan variasi lain, tergantung dari bahan yang tersedia di Afrika dan Asia.Â
Kalau materialnya dari jagung, berarti polenta mulai dikenal di Italia sekitar abad ke 16, bukan dari zaman Romawi. Atau sekembalinya Columbus menemukan benua baru pada tahun 1492. Orang Venezia mengklaim bahwa merekalah yang memperkenal tanaman jagung di rawa-rawa Polesine dan Friuli. Mengutip pendapat Giovanni Beggio, penaburan "Made in Veneto" (biji jagung) pertama dilakukan pada tahun 1554. Peristiwa ini diabadikan dalam puisi berjudul "La polenta" oleh Venetian Ludovico Past dan dalam syair Jacopo Facen, "Jagung dan polenta". Hidangan ini juga dipuji dalam puisi karya Arrigo Boito dan soneta karya Carlo Porta (sumber: Il Mito della Polenta)
Polenta biasanya untuk menemani olahan laut yang dimasak berkuah atau becek dan aneka daging yang berlemak. Ciri khas makanan kebanggaan orang Veneto adalah ikan baccala mantecato yang dilahap bersama polenta bakar. Kalau ke Venezia, turis wajib mencicipi hidangan ini. Di pasaran, ikan ini dijual kering. Untuk membuat baccala mantecato, ikannya direndam. Setelah tulangnya dibuang, daging dan kulit ikan direbus dalam air asin sambil diaduk-aduk sampai menjadi krim lembut. Bumbunya hanya bawang putih, lemon, daun salam dan merica. Sangat simpel tapi kalau sudah masuk restoran, harganya lumayan mahal.
Beradaptasi dengan makanan Italia, memudahkan saya melebur dalam keluarga suami. Resep pertama yang diajarkan mama mertua adalah risotto al radicchio, sayur kebanggaan orang Treviso. Radicchio bernama ilmiah Cichorium intybus dari famili Asteraceae. Bentuknya serupa sawi/kol. Rasanya pahit. Berwarna putih kombinasi merah gelap. Tumbuh di regione Veneto hanya di musim dingin.
Resep pertama disesuaikan dengan selera saya, yaitu nasinya dimasak sampai matang. Akhirnya perut dan lidah saya mulai terbiasa dengan risotto. Cukup praktis memasaknya. Hanya tumis bawang merah, masukkan beras. Aduk-aduk sampai terdengar suara denting bulir beras menyentuh panci, masukkan anggur putih. Dengan api besar, anggur menguap. Kecilkan api, tambahkan kuah kaldu sampai beras terendam kira-kira seujung ruas jari. Hampir sama dengan budaya kita memasak nasi dengan ukuran ruas jari! Aduk-aduk sampai airnya meresap dan berasnya matang (kalau mereka cukup sampai menjadi aron). Tambahkan margarin dan keju parut sebelum nasinya asat. Siap hidang!
Dari risotto, akhirnya saya mulai membuat sendiri aneka pasta dan lasagna, roti, pizza dan focaccia. Sangat menikmati kelezatan karya sendiri, berat badan saya meningkat secara bertahap. Dari 53 kg menjadi 64 kg. Kolesterol pun ikut meningkat. Terpaksa harus berobat untuk menurunkan kolesterol. Oleh dokter saya diberi obat dengan kandungan statina. Sayangnya, berefek nyeri otot dan persendian. Jadi saya beralih ke herbal.
Ternyata semua herbal penurun kolesterol di sini, umumnya berisi kandungan beras merah. Wah, dari dulu kami sekeluarga selalu mengkonsumsi beras merah di rumah di Jakarta. Saya ingat waktu SD (tahun '70an) pernah mengajak teman makan di rumah. Dia bingung lihat nasinya berwarna merah, sebab waktu itu belum banyak yang menjual beras ini. Beruntung sekali kakek saya masih punya sawah dan menanam beras merah. Jadi bertahun-tahun dapat stok dari kakek. Dan belakangan, sudah banyak dijual di pasaran. Ya sudah, akhirnya saya kembali makan nasi biasa, nasi merah.Â
Namun rupanya nasi merah saja tidak cukup untuk memerangi kolesterol. Sebab karbohidrat yang saya makan, dalam darah berubah menjadi gula. Jadi saya harus mengurangi atau stop sama sekali mengkonsumsi karbohidrat. Juga sayuran dan buah yang manis-manis. Apalagi kue yang pasti mengandung gula.Â
Untuk minuman, sudah 6 tahun saya tidak mengkonsumsi gula. Tapi waktu pandemia, pemerintah menyarankan makan buah atau jus buah yang banyak dijual di mana-mana. Rupanya pada masa lockdown, saya kecolongan dengan minuman instan yang kala itu mudah ditemukan dibanding terigu dan ragi yang sangat langka.
Untuk mengurangi glicemia, apoteker sini memberi herbal yang mengandung ekstrak pare dan kunyit. Langsung deh saya beli pare dan bijinya saya tanam di pot besar. Lumayan setiap tahun bisa panen pare dari teras yang hanya sepetak. Bahkan bisa saya keringkan untuk stok musim dingin. Sayur, ikan dan daging, setiap kali saya masak pakai kunyit dan jahe agar memenuhi syarat untuk mengurangi kolesterol dan glicemia.Â
Tahun lalu saya juga mengupayakan diet ketat dengan mengurangi karbohidrat. Sarapan hanya dengan yogurt magro (tanpa lemak) dan cereale fiocchi d'avena (havermut) serta secangkir kopi. Makan siang bervariasi dengan karbohidrat. Makan malam hanya ikan atau daging (sapi, ayam/kalkun) dan sayuran. Lebih sering insalata yang hanya terdiri dari sayuran segar, minyak zaitun serta garam dan lada. Kadang saya tambahkan cuka. Ikan dan daging hanya dipanggang, kukus dan rebus. Jadi ayam goreng ala kentucky, tidak saya makan sebab digoreng dan pakai tepung.
Setelah jam 16, stop sama sekali dari makanan yang mengandung karbohidrat. Termasuk camilan popcorn, apalagi keripik atau kerupuk. Â Selama itu, buah yang saya makan hanya apel hijau dan kiwi. Saya banyak minum air putih. Minimal 2 liter sehari. Kadang bisa mencapai 3 liter untuk melupakan lapar. Setiap pagi saya juga olahraga jalan kaki. Saya rutin mengelilingi tepi sungai Monticano sepanjang 5 km. Kadang untuk mengganti suasana, saya mengelilingi kota Oderzo yang kecil mungil.
Saya start diet bulan Februari dengan berat badan 64 kg. Dalam 7 bulan berat saya turun 11 kg. Bulan September, timbangan saya 53 kg. Alhasil, banyak yang pangling melihat perubahan diri saya. Baju-baju koleksi lama, muat kembali di badan. Leher terlihat jenjang. Kalau jalan, badan pun terasa ringan. Saking ringan, saya pernah jatuh dari sepeda. Jatuhnya terduduk di atas aspal. Duh sakitnya luarbiasa. Rupanya badan saya menyusut sampai ke bokong. Tak hanya pipi dan pinggang yang menyusut, tapi keseluruhan badan.
Teman-teman mulai protes sebab saya terlihat seperti orang sakit. Kata orang sini, muka saya sciupata. Kurus kering, susut dan layu. Terlihat seperti orang kelelahan, tampak tua dan tidak segar walau tetap menebar senyum lebar. Sejak kurus, saya juga rentan dengan penyakit. Mulai dari vertigo, influenza dan batuk berkepanjangan. Mungkin juga efek dari vaksin covid yang muncul kemudian. Entahlah.
Suami juga mulai khawatir. Akhirnya saya longgarkan diet. Saya mulai makan aneka buah, divariasi. Untuk jenis buah yang terlalu manis seperti cachi (kesemek), saya kurangi. Demikian juga dengan jeruk mandarin, melon dan pisang yang terlalu matang. Saya tetap mengkonsumsi karbo untuk makan siang, namun hanya produk integrale (gandum utuh). Roti segar saya ganti dengan grissini dan crostini integrale (roti kering). Untuk merenda (five o'clock tea), sesekali saya makan kue porsi kecil. Kadang kala saya juga makan malam dengan risotto, pasta atau pizza dan lain-lain, yang penting beras dan tepungnya integrale. Juga tidak tidak setiap hari.  Walau rasanya hambar, kalau kita fokus pada kesehatan, rasa tidak menjadi persoalan. Lama-lama lidah pun terbiasa. Apalagi kalau bisa mengolahnya secara kreatif.
Sekarang berat badan saya naik kembali. Saya mematok berat maksimal 59 kg. Setiap pagi tetap rutin jalan kaki mengelilingi sungai Monticano sambil menyapa bebek dan angsa yang riang gembira bermain air dengan kepak sayap mereka. Jadi kenaikan harga makanan pokok tidak begitu berpengaruh sebab saya sudah membatasi porsi karbo. Toh sejak pecah perang Ukraina-Rusia, harga pangan pun sudah naik drastis. Sebelum perang, masih bisa beli beras bermutu seharga 2,20 euro. Sekarang jenis beras ini di atas 4,60 euro per kilogram. Saya juga bersyukur sudah tidak mengkonsumsi gorengan, jadi ketika harga minyak berlomba naik, saya tidak terganggu. Hanya minyak zaitun yang sekarang ikut terimbas naik. Harganya sudah di atas 10 euro/liter.
Siasat untuk mendapat harga murah, saya rajin mengikuti iklan-iklan diskon supermarket di kota kami. Kalau pas ada diskon untuk kebutuhan harian, saya manfaatkan untuk membeli lebih. Dengan catatan, harus lihat juga data kadaluarsanya. Jangan sampai menimbun barang sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H