Tahun ini, saya terima surat suara tanggal 5 Januari 2024. Menurut teman-teman panitia di Roma, PPLN mengirim surat suara gelombang pertama tanggal 3 Januari kepada semua nama berawal A-E. Karena tanggung hari Jumat, jadi saya baru sempat mengirim kembali amplop surat suara tanggal 9 Januari.
Dalam lembar formulir yang harus ditandatangani, melekat catatan tambahan yang berbunyi "Merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018, azas pemilu adalah rahasia. Dengan begitu, pemilih diwajibkan untuk merahasiakan pilihan dengan tidak mendokumentasikan (foto/video/penggandaan) melalui media apapun"
Saya mungkin melanggar peraturan ini, sebab saya menayangkan foto amplop yang masih tertutup rapat. Masih fresh, baru diambil dari kotak pos di gedung tempat tinggal kami.Â
Saya hanya ingin infokan ke teman-teman di salah satu medsos bahwa saya sudah terima surat suara. Jadi saya ingin tahu reaksi mereka. Ternyata seru juga komentar teman-teman yang membaca status saya, "Yeah.. surat cinta udah nyampe!"
Berikut ini cuplikan beberapa komentar mereka: 'Punyaku belum nyampe nih'. 'Emang pemilu kapan sih?' 'Emang di sana ngga dibikin TPS ya?'. 'Keren prangkonya'. 'Sebagai filatelis (kolektor prangko dan benda pos lainnya), saya malah tertarik mengomentari amplopnya. Kenapa prangkonya gak dibubuhi cap/stempel pos (postmark) ya? Dan sepertinya prangkonya penempelannya agak kurang kuat ya? Padahal kalau ada cap pos amplop itu bakal menjadi bagian postal history (sejarah pos) yang berharga'. 'Boleh dong prangkonya'. 'Wah baru tau ada pemilu pakai pos'. 'Cepet ya. Kakakku di Amrik belum dapet'. 'Kok awal sech Mbaaak.. Maksudnya ini piye?' dan seterusnya.
Lebih seru lagi membaca komentar jawaban atas reaksi teman-teman dengan aneka argumen mereka. Di Belgia dan Amerika, rupanya belum ada yang terima surat suara. Bahkan di Italia pun masih sedikit yang terima surat suara.
Kondisi amplop yang saya terima memang berkesan surat telanjang. Ada prangko, nama pengirim dan penerima. Tapi tanpa stempel pos. Kesannya seperti surat kaleng atau surat yang dikirim via kurir bukan via pos.Â
Pikiran saya ketika melihat amplop ini, "Wah lumayan nih prangko 3,60 dan 0,50 euro, bisa dipakai ulang! Jadi beberapa teman yang gemar mengoleksi prangko, mereka berkomentar soal prangko.Â
Saat mata saya menangkap lembar nama penerima yang nyaris lepas, suami langsung berkomentar, "Wah ceroboh amat yang mengirim surat. Alamat penerimanya tidak dilem dengan baik. Kalau lepas, suratnya tidak sampai tuh."
Betul juga. Jadi saya langsung komentar ke teman yang menjadi anggota PPLN di Roma. Kebetulan dia menjawab beberapa pertanyaan dari komentar beberapa teman di status saya.Â