Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Heboh Pawang Hujan

21 Maret 2022   20:35 Diperbarui: 21 Maret 2022   20:46 1489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cabe bawang, sajen penolak hujan (foto dokpri) 

Kemarin saat menonton Moto GP, kami sempat terkejut melihat aksi pawang hujan yang turun langsung ke sirkuit. Apalagi pawang ini seorang wanita yang memakai helm membawa mangkuk dan komat-kamit membacakan mantera.

Grup-grup di media sosial teman-teman di Italia dan Eropa umumnya, langsung heboh membahas sosok yang akhirnya berhasil meredakan hujan untuk sesaat. Ada yang pro dan banyak juga yang kontra.

Aksi wanita bernama Rara Istiati Wulandari mengingatkan masa kecil dulu ketika bermain di lapangan depan rumah. Bersama teman-teman, saya suka sekali bermain bola gebok, benteng dan galasin. Kalau sudah asyik bermain namun tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, biasanya kami langsung bubar. Bukan takut basah karena hujan, tapi petir dan kilat sangat berbahaya, sebab sering menyambar lapangan. Paling sering pohon kelapa di pekarangan langgar dekat lapangan, ujungnya terlihat hangus karena tersambar petir yang sangat dahsyat.

SAJEN PENANGKAL HUJAN

Kalau hanya mendung, saya dan kawan-kawan biasanya menyiapkan 'sajen' untuk mencoba mengusir awan gelap agar bergeser dan hujannya batal.

Sajen ini berupa bawang dan cabe yang ditusuk pakai lidi kemudian ditancap ke tanah. Bisa dalam pot, bisa juga langsung di pekarangan atau tanah di sekitar lapangan dekat tempat kami bermain.

Kadang mama suka ngomel karena persediaan cabe dan bawang buat bikin bumbu, jadi berkurang. Tak jarang, tiap kali mama menyelamatkan bumbu tersebut sebelum busuk untuk segera diolah menjadi sambal dan lain-lain. Kadang kakak saya juga iseng menambahkan terasi pada tusuk sajen tersebut untuk lucu-lucuan.

Berhasil? Ternyata tidak berhasil. Kalau awan gelap tampak menggantung agak rendah karena berat dan tak ada angin yang bertiup memindahkan awan ini, maka hujan pun tak dapat dihindari. Mau tak mau, kami hanya bisa memandang titik-titik air yang jatuh berirama membasahi lapangan, jalanan dan pohon-pohon.

Sambil canda, teman saya berkata: "Hujannya tidak merata. Sebab ada yang jatuh di atap rumah, ada yang jatuh di atas pohon tinggi, di atas payung, ada yang jatuh di got dan bahkan hanya di atas tanah datar".

Sebagai anak-anak yang masih polos, walau tahu 'sajenan' bawang dan cabe tak akan bisa memindahkan awan apalagi menghentikan hujan, namun ritual ini tetap saja kami kerjakan setiap kali bermain dan melihat langit mulai mendung. Seakan-akan, ritual ini telah menjadi bagian dari paket bermain kami

MAPPANINI BOSI

Semalam beberapa teman dari Sulawesi Selatan ada yang berkomentar soal ritual membatalkan hujan. Di tempat mereka, ritual ini namanya 'mappanini bosi'. Biasanya dibutuhkan kalau ada acara pernikahan. Pawang yang melakukan ritual ini biasanya sembunyi dari keramaian. Mungkin biar konsentrasi, jadi secara diam-diam melakukan aksinya tanpa diketahui orang lain.

Saya jadi ingat Venezia yang setiap tahun rutin menggelar acara Carnevale pada bulan Februari (kecuali saat pandemia). Teorinya, cuaca pada bulan Februari masih tergolong musim dingin. Tapi wilayah kami di Veneto, lebih sering diguyur hujan daripada salju. Dulu waktu masih berdomisili di Venezia, saya rajin sekali mengikuti carnevale. Sempat takjub karena pada puncak acara, wilayah San Marco tampak kering kerontang sementara wilayah sekitarnya basah karena hujan.

Iseng-iseng saya bertanya juga ke orang-orang di sana. Mereka hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya yang mungkin terkesan lugu. Memang sih ada kata 'sciamano' (artinya dukun) yang pernah terucap dari salah seorang teman di sini. Tapi kemudian saya tak lagi penasaran sebab kalau jawabnya 'dukun', berarti ritual ini universal. Bukan hanya di Indonesia kita mengenal kata dukun alias 'pawang hujan' atau mappanini bosi. Ternyata di Italia juga ada istilah 'sciamano della pioggia'.

PAESE CHE VAI, CULTURA CHE TROVI

Pagi ini beberapa media nasional Italia ramai membahas tampilan Rara yang cukup menghebohkan. Beberapa cuplikan video juga menampilkan reaksi peserta balap dalam bentuk guyon.

Umumnya semua ulasan bernada positif karena mereka saksikan langsung usaha Rara ternyata berhasil. Hujan tidak langsung stop berganti matahari yang terang benderang. Tetapi mereda dibanding sebelumnya. Tentu mereka takjub!

Ada ungkapan "Paese che vai, cultura che trovi", artinya negara yang Anda tuju, budaya yang Anda temukan. Ungkapan ini ditulis dalam salah satu media sini sebagai penghormatan mereka karena melihat perbedaan budaya sebagai hal yang positif daripada negatifnya.

BERBAGAI USAHA PROMOSI BUDAYA INDONESIA

Nama Indonesia mulai dikenal di Italia, sejak tsunami tahun 2004 lalu. Media sini sering sekali memutar film dokumenter tentang peristiwa alam yang banyak memakan korban ini. Berkaitan dengan peristiwa alam, nama gunung Krakatau juga sangat terkenal di sini. Sejarah meletusnya masuk dalam pelajaran geologi di sekolah-sekolah sini. Bahkan film Krakatoa, East of Java yang dibintangi Maximilian Schell (1969) juga sering diputar ulang hampir setiap tahun.

Hal lain yang menjadi perhatian saya, sebutan 'lahar' tetap dipakai saat menjelaskan kegiatan Krakatau dan gunung-gunung lain yang masuk dalam penelitian mereka. Dalam komentar-komentar ilmiah, dijelaskan juga bahwa kata 'lahar' berasal dari bahasa Jawa di Indonesia yang artinya lava.

Sebagai orang Indonesia, tentunya bangga karena bahasa Jawa 'lahar' dipakai dalam istilah vulkanologi internasional. Padahal kalau diteliti secara etimologi, kata  lava berasal dari bahasa Latin "labes" yang berarti jatuh, meluncur.

Penggunaannya yang pertama, terkait dengan keluarnya magma, mungkin yang ditemukan dalam tulisan pendek Francesco Serao, tentang letusan Vesuvius yang terjadi antara 14 Mei hingga 4 Juni 1737 (sumber wikipedia). Francesco Serao adalah orang Italia, tetapi istilah lahar menjadi lebih populer dalam ulasan-ulasan terminologi gunung-gunung berapi di sini.

Lewat tsunami, Krakatau, lahar, orangutan, olio di palma (minyak sawit) dan Bali yang kerap mengisi berita sini, orang Italia jadi bisa mengenal Indonesia yang digambarkan sangat eksotis karena beriklim tropis dan alamnya sangat indah.

Teman-teman di sini juga banyak yang aktif memperkenalkan budaya Indonesia, antara lain lewat sajian makanan dan bumbu. Beberapa kali nasi 'tumpeng' hadir membuka acara peresmian Biennale Arte di Venezia. Tempe pun sudah ada orang Indonesia di Italia yang mengawinkan kedele dan keju, bekerjasama dengan perusahaan keju parmiggiano di Parma. Demikian pula rendang yang sudah beberapa kali diulas dalam majalah-majalah besar di Italia.

Kami juga sangat bangga karena ada teman jurnalis Indonesia di Italia yang pernah menulis tentang asal-usul biji pala yang menjadi bumbu wajib orang sini. Lewat ulasan sejarah, akhirnya banyak orang Italia bisa mengenal bumbu-bumbu asli dari alam Indonesia.

KEARIFAN LOKAL BUDAYA

Waktu saya membaca komen-komen tentang Rara dan aksinya sebagai pawang hujan, tersirat ungkapan 'kearifan lokal budaya'. Apapun nama dan istilah yang dipakai, saya berusaha melihat sisi positifnya. Penonton seperti tersirap kala melihat Rara tampil di sirkuit Mandalika. Seolah ia menjadi bagian dari suguhan acara pertandingan. 

Indonesia pertama kalinya menggelar kejuaraan Moto GP. Dan baru pertama kali pula penonton sejagad raya menyaksikan "langsung" adegan ritual sebagai kearifan lokal budaya suatu bangsa. Dalam hal ini budaya Indonesia.

Ada banyak film-film ritual seperti Danza dela pioggia atau Rainmaking atau Tari Hujan untuk memanggil hujan. Kemarin Rara justru berusaha meredakan hujan.

Penonton dibikin 'wow' karena terpukau! Semoga tampilan Rara yang mungkin di luar program acara, akan menjadi daya tarik tersendiri yang bisa mendatangkan wisatawan untuk mengenal lebih jauh budaya Indonesia. Seperti pepatah bilang, "tak kenal, maka tak sayang", mudah-mudahan banyak dari penonton yang penasaran ingin belajar kearifan lokal budaya kita!

Dan semoga Indonesia pun semakin dikenal. Tak hanya tsunami, gunung berapi atau minyak sawit yang membuat wisatawan maju mundur. Tapi lewat olahraga, sajian makanan, bumbu khas dan tentunya kearifan lokal budaya yang aneka ragam! 

Bangga sebagai orang Indonesia!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun