Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Hari AIDS untuk Mengenang Freddie Mercury

1 Desember 2021   15:35 Diperbarui: 3 Desember 2021   10:31 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi HIV/AIDS, penularan HIV, pencegahan HIV. (sumber: Shutterstock/alexkich via kompas.com)

Seminggu belakangan, beberapa stasiun televisi di Italia berlomba menayangkan film-film kisah Freddie Mercury yang meninggal 30 tahun lalu. 

Baik memutar ulang film layar lebar yang banyak meraih penghargaan tahun 2018 lalu, maupun film-film dokumenter yang mengupas habis kehidupan penyanyi grup Queen yang sangat melegenda.

Tayangan dalam seminggu ini membawa kenangan mundur ke masa lalu. Lebih 15 tahun merantau, hampir 10 tahun berstatus istri pemusik tapi nyaris selama ini saya tak pernah melantunkan lagu-lagu yang masa remaja dulu menjadi favorit. 

Dulu saat belajar gitar, lagu Love of My Life yang bernada minor, menjadi lagu andalan ketika putus cinta. Atau ketika bertanding voli, sepenggal syair "We are the Champions" bisa memotivasi semangat tim untuk memenangkan pertandingan. Banyak lagu-lagu Queen yang sangat kontekstual bisa dinyanyikan dengan situasi yang tepat. 

Seminggu ini tiba-tiba rumah kami yang mungil jadi sedikit ingar-bingar karena suara fals saya memaksa untuk menyanyi lebih keras dari suara yang dilantunkan Freddie dan kawan-kawan. 

Suami pun terheran-heran mengamati bahwa hampir semua lagu-lagu Queen saya hafal luar kepala. Hehe, dulu kalau disuruh menghafal pelajaran susah banget. 

Tapi kalau menghafal lagu yang biasanya terlampir dalam kemasan kaset, dalam sejam bisa ingat luar kepala. Buku tulis catatan lagu yang selama ini terhimpit di antara buku cetak lain di rak, akhirnya keluar dari persembunyian. Sejak tahun 1985, buku ini setia menemani di mana pun saya tinggal.

Buku catatan lagu kenangan (Foto dokpri)
Buku catatan lagu kenangan (Foto dokpri)

Suami saya pencinta jazz. Waktu muda pernah punya grup band. Dia pemain bass dan double bass. Lewat dia, saya jadi mengenal sejumlah nama pemusik bass seperti Jaco Pastorius, Charles Mingus, Ron Carter, Marcus Miller dan lain-lain. 

Beberapa gitaris kebanggaan dia juga dikenalkan seperti Django Reinhardt, Wes Montgomery, Pat Metheny, Franco Cerri (baru-baru meninggal) dan lain-lain. 

Sepuluh tahun belakangan, telinga saya jadi menyesuaikan selera dengan musik suami. Belajar membedakan bunyi tiup antara Lester Young, John Coltrane, Dizzy Gillespie atau Miles Davis. 

Sepuluh tahun belakangan baru sadar bahwa saya juga punya penyanyi, pemusik dan grup band favorit. Jadi seminggu ini akhirnya hari-hari kami penuh dengan berbagai cerita dan debat seru menanggapi ulasan-ulasan yang ditayangkan televisi sini.

Berawal dari tayangan Bohemian Rhapsody, film biopic Freddie Mercury yang diperankan oleh Rami Malek. Akhirnya kami mulai 'search' mencari tahu lokasi persis Zanzibar yang berlokasi di Tanzania. 

Nama ini sangat familier dalam ingatan saya. Waktu SD saya punya buku HPU (Himpunan Pengetahuan Umum), buku contekan untuk mengisi TTS. 

Pertengahan tahun '70 nama Zanzibar terkenal sebagai penghasil cengkeh nomer 1 di dunia. Entah sekarang, sebab tahun '80an Indonesia mengklaim sebagai negara penghasil cengkeh terbesar di dunia. 

Kisah migrasi dari Zanzibar bersekolah di India sampai akhirnya menetap di Middlesex cukup aktual dengan situasi yang terjadi di sekitar perairan Sicilia saat ini. 

Tiap hari pengungsi asal Asia dan Afrika terlihat nekad menyeberang selat untuk meraih kehidupan yang lebih baik di benua yang menjanjikan banyak harapan. Seperti Farrokh (nama asli Freddie), ada beberapa imigran yang berhasil merubah nasibnya di 'negeri baru' mereka. 

Dari soal migrasi, diskusi kami semakin hangat ke soal perang, politik sampai menyentil ke soal agama yang akhirnya kami berdua mencari info tentang zoroaster.

Dokumentasi yang mewawancarai teman masa kecil Farrokh, menampilkan sekolah dan asrama ketika orang tua Freddie menitipkan anaknya agar mendapat pendidikan yang lebih baik di India. Kami langsung membandingkan dengan 'Coleggio Brandolini' di Oderzo, yaitu sekolah dan asrama untuk anak laki-laki. 

Sangat terkenal, khususnya pada masa perang dunia kedua, sebab menjadi pilihan orang kaya untuk menitip anak mereka di sekolah ini. Secara finansial, berarti orang tua Freddie cukup mampu untuk menitip anak mereka di sekolah bergengsi macam college ini. 

Di sekolah ini pun Freddie kecil (Farrokh) menekuni ilmu piano yang sempat dipelajari sebelum dia masuk sekolah. Juga olahraga (tinju) yang sempat mengantongi prestasi. 

Karena itu tak heran jika melihat tampilan Freddie terlihat sportif dengan jeans, singlet dan sepatu kets putih bergaris tiga yang menjadi ikon dirinya.

Dalam wawancara yang cukup blak-blakan dengan jurnalis Joe Haines, dibahas juga tentang giginya yang kerap menjadi ledekan. Termasuk Brian May dan Roger Taylor yang awalnya menolak tawaran Freddie bergabung sebab mereka melihat tampilan giginya: "Tidak dengan gigi itu!" Namun Freddie sangat percaya diri dengan kemampuannya bernyanyi. 

Karena itu, walau dia telah sukses dan kaya raya, tapi tak pernah tergoda untuk merapikan giginya yang sebetulnya bisa diperbaiki. Malah giginya menjadi merk dagang.

Banyak dugaan yang membahas seputar gigi penyanyi dengan suara bariton cenderung tenor. Dari beberapa sumber yang menjadi referensi diskusi kami, ada yang mengatakan sebagai kasus hyperdontia (kelebihan jumlah gigi). 

Rentang vokalnya yang lebar diduga karena dia memiliki 4 gigi seri. “Freddie Mercury diceva di avere quattro incisivi in più, ma secondo me non è così!" Pendapat ini disanggah oleh ahli bedah maksilofasial sekaligus penggemar berat Queen, Prof. Piero Cascone. 

Beliau mengatakan bahwa gigi Freddie diklasifikasikan dalam kelas dento-skeletal kedua yang terkait dengan para-fungsi akibat kebiasaan mengisap jari waktu masih kanak-kanak yang mendorong ke depan gigi seri atas dan rahang bawah. Para-fungsi yang berlangsung lama, menciptakan maloklusi khas Freddie Mercury.

Berarti rahasia suaranya tidak terletak pada gigi yang terkena maloklusi umum seperti interposisi bibir, tetapi lebih pada pita suara dan jalur konduksi suara. 

Menurut Rudi Dolezal yang telah mendokumenterkan film tentang pentolan Queen, Freddie takut mengubah giginya karena khawatir akan kehilangan timbre vokalnya. Freddie lebih mempedulikan suaranya daripada penampilan meskipun ia cukup menderita. 

Tentang vokalnya juga banyak mendapat perhatian dari para peneliti. Ada yang menyimpulkan bahwa dia memiliki kemampuan menyanyi sampai 4 oktaf.  

Sementara pakar suara Dr Christian Herbst, dari Universitas Wina, menulis dalam jurnal Logopedics Phoniatrics Vocology: Freddie menghasilkan frekuensi nada yang tidak biasa atau subharmonik, sebuah trik yang juga digunakan dengan cara yang lebih ekstrem oleh penyanyi tenggorokan tradisional Tuvan dari Mongolia. 

Trik ini mampu menghasilkan dua, tiga atau bahkan kadang-kadang empat nada pada waktu yang sama. Kebanyakan penyanyi rock memiliki kebiasaan mempertahankan vibrato yang hampir konstan, sedangkan vibrato Freddie cepat dan tidak beraturan namun ia pandai berimprovisasi. Suaranya digambarkan sebagai "kekuatan alam dengan kecepatan badai".

Untuk membahas gigi yang dikaitkan dengan suaranya yang luar biasa, memang menarik. Namun jauh lebih menarik ketika membahas masalah kelainan seks yang terjadi dalam dirinya. 

Kebetulan hanya Mary Austin satu-satunya orang yang paling mengerti tentang dirinya. Dalam wawancara, ia pernah menyangkal tentang orang tuanya. 

Bahkan ia menjawab kalau mereka sudah meninggal. Sepintas, jawaban ini agak mengecewakan sebab kesannya seperti anak durhaka. Namun bijak bagi Freddie yang masa itu cukup tahu diri dengan kelainan seksual yang akan membuat orang tuanya sedih. Boro-boro bangga, mungkin mereka juga akan malu. 

Saya pun sangat syok waktu mendengar pengakuan penyanyi favorit saya yang mengumumkan bahwa dirinya terinfeksi HIV dan besoknya diumumkan telah mengembuskan napas terakhir. 

Tiga puluh tahun lalu, penyakit ini cukup menghantui masyarakat. Walau semua orang tahu bahwa penyakit ini ditularkan lewat hubungan seks, namun isu bahwa donor darah, berobat gigi dan cukur rambut juga bisa tertular, rasanya ngeri untuk berurusan ke tempat yang disebutkan. 

Setahun belakangan, hampir tak pernah lagi mendengar berita tentang HIVAIDS. Kalau pun dapat berita ada teman yang meninggal karena AIDS, bukanlah sesuatu yang memalukan. Penyakit ini bukan lagi momok yang ditakuti sebab ada virus bernama corona (covid) yang jauh lebih berbahaya dan mematikan.

Diskusi kami tidak membahas lebih jauh pada masalah kelainan seksual yang ramai dibahas orang atau film Bohemian Rhapsody. Tidak juga membahas baju-baju spektakuler yang dipakai Freddie atau pesta-pesta ulang tahunnya. 

Kami lebih asyik membahas lagu-lagu lantunan suara unik penyanyi asal Zanzibar. Syair lagunya senantiasa kontekstual dan futuristik. Kepribadian dan karisma Freddie Mercury telah mengukir tidak hanya dalam catatan sejarah, tetapi juga dalam ingatan kita. 

Bersama Queen, dia telah mendedikasikan hidup untuk musik. Banyak terobosan baru sebagai eksperimen yang sukses dalam bermusik. Karyanya orisinal, kreatif dan inovatif pada masanya. 

Pantaslah dikenang karena kepribadian dan semangat seorang Freddie di atas panggung sebagai penghibur. Dia mampu berinteraksi dengan penonton memakai cara yang benar-benar unik. Secara universal, dunia mengakui bahwa dirinya sebagai salah satu frontman terbaik dalam sejarah musik.

Suami saya telah memperkenalkan sejumlah nama musisi (dan juga penyanyi jazz) dengan masing-masing kepiawaian mereka. Minggu ini saya puas bisa berkisah tentang Freddie bersama Brian May, Roger Taylor dan John Deacon. 

Cerita empat mahasiswa yang rela meninggalkan bangku sekolah demi musik.  Tentang persahabatan, tentang kekompakan dan saling mengisi satu sama lain. 

Genre lagu-lagu mereka sangat beraneka, mulai dari pop, rock, rock and roll, blues bahkan opera lirik yang sarat dengan pesan penulisnya. Juga tentang cinta sejatinya kepada Mary Austin yang paham bahwa menjadi 'beda' (biseksual) cenderung gay, bukanlah kesalahan dia.

Semingguan ini alunan suara Freddie menjadi hiburan, renungan dan sekaligus motivasi. Pribadi yang sebetulnya sangat pemalu tapi bisa tampil macho di atas panggung. Hampir separuh hidupnya yang pendek hanya untuk musik. 

Tak heran setelah kematian yang disebabkan oleh bronkopneumia terkait AIDS, atas inisiatif orang-orang terdekatnya seperti anggota band, mantan tunangan dan manager Jim Beach mendirikan organisasi bernama Mercury Phoenix Trust. 

Sejak tahun 1991 organisasi ini menyelenggarakan Konser Penghargaan Freddie Mercury untuk AIDS (The Freddie Mercury Tribut Concert for AIDS) di London. Merupakan konser amal yang hasilnya digunakan untuk memerangi HIV/AIDS di seluruh dunia.

Semingguan ini stasiun televisi dan berbagai media banyak mengulas tentang Freddie Mercury, penyanyi legendaris Queen berkaitan dengan peringatan 30 tahun hari  wafatnya (24 November 1991) yang dirangkai dengan peringatan hari AIDS sedunia pada hari ini.

There must be more to life than this..

Akhiri ketimpangan, akhiri AIDS!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun