Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemakaman Oderzo, Rumah Masa Depan

21 Juli 2021   06:00 Diperbarui: 21 Juli 2021   12:05 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam-makam Keluarga (Foto dok. Pribadi)

Lebih tiga minggu, kami di Italia sudah bebas dari aturan wajib masker di tempat umum terbuka. Jam malam yang selama ini membatasi gerak warga, sudah dicabut. 

Sebelumnya ada aturan jam malam dari pukul 22.00 malam hingga 05.00 pagi. Otomatis beberapa kegiatan bisnis macam restoran, bar, bioskop, teater dan semacamnya terpaksa harus tutup. Apalagi klub malam dan diskoteka yang jelas-jelas dibuka setelah jam 22.00.

Sekarang hampir semua sektor sudah bisa bergerak leluasa. Stadion olahraga, kolam renang, pusat kebugaran dan lain-lain. Bahkan diskoteka dekat rumah kami di Oderzo, langsung memasang pengumuman "Buka dari Rabu-Minggu jam 22.30-pagi".

Salah satu tempat hiburan di Oderzo (Foto dok. Pribadi)
Salah satu tempat hiburan di Oderzo (Foto dok. Pribadi)

Teorinya, masker hanya bebas lepas di tempat terbuka selama warga menjaga jarak. Untuk tempat publik tertutup seperti kendaraan umum, toko, museum, cinema, dan lain-lain masih wajib mengenakan masker. Benda ini akan tetap hadir di mana pun, kapan pun dan harus siap pakai dalam keadaan-keadaan tertentu.

Prakteknya, saya masih tetap setia memakai masker kalau keluar rumah. Mungkin sudah menjadi kebiasaan selama 16 bulanan hidup berdampingan dengan Covid. 

Muka saya rasanya telanjang kalau tidak tertutup masker. Kecuali kalau sedang berolahraga jalan kaki sendirian di tempat sepi seperti 'argine' , tepi sungai Monticano.

Argine di Monticano (Foto dok. Pribadi)
Argine di Monticano (Foto dok. Pribadi)

Pada jam tertentu, nyaris tak ada orang di tempat ini. Kalau pun ada satu dua yang berpapasan, dari jarak 5 meteran saya sudah menaikkan masker untuk menutup separuh wajah. 

Orang yang berpapasan pun akan bersikap sama. Seolah sudah menjadi kode antar sesama pejalan kaki di kota kami. Masker akan kembali diturunkan kalau jarak sudah jauh, sebab pikiran masih tetap was-was membayangkan udara yang mungkin mengandung virus dan seterusnya.

Ya, Covid telah merubah sikap saya untuk selalu was-was dan curiga, walau kadang berpapasan dengan teman yang sudah cukup akrab.

Tahun lalu keadaan kami di Italia juga tak beda dengan situasi di Indonesia saat ini. Sebagai negara kedua korban Covid setelah Cina pada awal-awal pandemi, kami juga mengalami semuanya. Bahkan fase gelombang kedua setelah liburan musim panas tahun lalu.

Dan hari-hari ini kecemasan kami pun tidak berkurang, karena suporter UEFA yang kembali dari Inggris dan pesta rakyat atas kemenangan Tim Italia, menjadi ancaman akan terjadinya fase gelombang ketiga.

Banyak yang memprediksi kalau September mendatang akan kembali gelombang ketiga sebab pertengahan Juni, Italia sudah masuk masa liburan musim panas. 

Sekolah sudah libur sejak minggu pertama Juni, kecuali pre school yang tutup akhir Juni. Nanti sekolah-sekolah buka kembali pada minggu kedua September secara bertahap berdasarkan regione.

Kalau di Indonesia ada liputan khusus arus mudik lebaran, di Italia ada liputan khusus arus mudik liburan. Suasananya juga mirip-mirip karena sama-sama macet dan chaos. Ternyata banyak kesamaan antara Italia dan Indonesia.

Turis mancanegara juga sudah berdatangan. Kapal pesiar sudah mendapat izin merapat untuk menurunkan penumpang yang ingin melihat keindahan dan lezatnya kuliner Italia.

Kalau dicermati, bisa disimpulkan bahwa pemerintah Italia melonggarkan semua aturan sebagai usaha untuk menyelamatkan sektor ekonomi, khususnya pariwisata. Sebab banyak kota di Italia yang mengandalkan industri ini. Kalau selamanya menutup pintu masuk wisatawan, kasihan para pebisnis hotel, restoran bahkan penyewa payung di pantai dst. Jadi liburan musim panas dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memulihkan ekonomi yang sempat anjlok.

Sebagian besar warganya juga sudah divaksin. Awal Juni lalu, surat kabar lokal Treviso sudah memasang berita headline kalau usia 50+ sudah mencapai target herd immunity. Saat ini masih berlangsung vaksinasi untuk anak usia 12+

Berita Utama Harian Lokal Treviso (Foto dok. Pribadi)
Berita Utama Harian Lokal Treviso (Foto dok. Pribadi)

Belakangan, kalau membaca berita tentang dampak Covid di tanah air, sedih dan geram juga karena banyak oknum nakal yang memanfaatkan kesulitan orang lain. Bukan saling membantu, justru mencari keuntungan yang menghalalkan segala cara.

Tak bisa menyalahkan situasi ini sebab mereka juga mencari cara untuk bisa bertahan hidup, dan seterusnya. Kalau membahas soal ini, tetap saja masalah tak terpecahkan sebab mereka juga umumnya jauh lebih lihai.

Mulai dari isu rumah sakit penuh, harga obat yang melambung, oksigen yang sulit didapat, bahkan ambulans, biaya kubur dan kremasi yang harganya melambung tinggi. Mudah-mudahan tidak ada lagi isu-isu negatif lain yang beredar di media.

Tahun lalu, rumah-rumah sakit di Italia juga sempat kewalahan tidak bisa menampung pasien. Mertua saya yang sedang opname untuk perawatan jantung, sempat dipulangkan karena rumah sakit waktu itu lebih mengutamakan pasien Covid. 

Tentang obat-obatan, harga jual obat bebas tanpa resep, lumayan mahal. Jadi warga cenderung pergi ke dokter untuk minta resep agar biaya bisa ditekan. Karena itu, jarang melihat orang sini memborong obat untuk ditumpuk.

Kebanyakan orang Italia juga tidak mudah terpengaruh dengan isu pengobatan alternatif seperti minum air panas, hirup aroma kayu putih atau konsumsi herbal ini, herbal itu. Apalagi mengkonsumsi obat yang di luar saran dokter. 

Mereka umumnya hanya percaya dokter dan sains. Dalam hal ini, ada perbedaan tipis antara sebagian orang Indonesia dan Italia saat menghadapi aneka berita hoax.

Sama seperti di Indonesia sekarang ini, kamar-kamar jenazah di rumah sakit di Italia, khususnya regione Lombardia, saat itu juga sudah tidak bisa menampung jenazah. Gereja-gereja di sekitar pemakaman pun sudah penuh.

Karena baru Cina dan Italia yang punya masalah ini, jadi belum ada acuan lain untuk dijadikan contoh selain kremasi. 

Dari segi kesehatan masyarakat, cara ini katanya bisa mengurangi dampak penyebaran virus. Dari segi tempat, cara ini juga lebih praktis karena tidak membutuhkan lahan sekalipun hanya berukuran 2x1 meter.

Kesimpulan, kremasi adalah solusi yang tepat dan bijak untuk menangani masalah jenazah Covid yang terus menerus bertambah. 

Masalahnya, mesin untuk kremasi tidak bisa dipaksa beroperasi 24 jam sehari. Dan tidak semua kota dan comune di sini memiliki rumah kremasi.

Akhirnya regione tetangga di sekitar Lombardia menawarkan tempat untuk kremasi sebagai bentuk partisipasi dan solidaritas. Dan, pertengahan Maret tahun lalu televisi nasional menayangkan 70 truk militer beriringan mengangkut peti jenazah korban Covid untuk dibagi-bagi di luar wilayah Lombardia.

Saya ingat, ada 15 peti yang titip kremasi di kota Spinea, kota kecil bagian dari regione kami di Veneto. 

Hari itu, akhir Maret 2020, seluruh warga Venezia diminta untuk hening sejenak, berdoa pada pukul 12 siang. 

Bendera di tempat-tempat publik pemerintah juga diturunkan setengah tiang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah korban Covid.

Lucoli, makam dalam dinding (Foto fok. Pribadi)
Lucoli, makam dalam dinding (Foto fok. Pribadi)

Beberapa hari setelahnya, abu jenazah tersebut dikembalikan kepada keluarga yang berhak untuk disimpan dalam colombario (rumah abu). 

Ada juga yang menyimpan dalam loculo atau ossuary untuk disatukan dengan sanak keluarga lain demi pengiritan tempat dan biaya sewa makam.

Di sini ada istilah, kalau biaya orang mati bisa berlipat ganda harganya dibanding bayi lahir. Rumah sakit pemerintah umumnya menggratiskan biaya ibu melahirkan sekalipun harus operasi cesar. Tapi kalau urusan pemakaman, harus hadapi jasa layanan swasta. 

Mereka yang akan tangani semua, mulai dari sertifikat kematian, memandikan dan mendandani pasien, memasang berita, antar jemput jenazah dengan kendaraan khusus dari rumah duka, gereja sampai pemakaman. Lengkap dengan bunga. Harga sewa kuburan juga beraneka, kurang lebih sama dengan di Indonesia.

Hanya bentuk kuburan yang mungkin beda dengan di Indonesia. Untuk Oderzo, luas kompleks pemakaman hanya 140x300 meter. Tapi isinya ribuan makam sebab terdiri dari beberapa lucoli, yaitu ceruk pemakaman yang umumnya berbentuk persegi panjang. 

Ceruk atau relung ini disusun berupa dinding yang terbuat dari semen. Tiap kotak berukuran standar yang bisa masuk peti jenazah dengan panjang 220, lebar 80 dan tinggi 70 centimeter.

Satu blok bisa terdiri dari 10-35 kotak lucolo. Tiap permukaan lubang ditutup dengan nisan sebagai segel dan biasanya ada tempat untuk menggantungkan vas bunga dan lilin. Karena bisa sampai 4-5 susun ke atas, pihak pemakaman juga menyiapkan tangga tinggi agar keluarga bisa membersihkan nisan, mengganti bunga dll untuk mereka yang dikubur dalam relung bagian atas.

Tak hanya deret loculi, di kompleks makam ini ada juga kuburan biasa yang di tanam dalam tanah. Juga beberapa kapel sebagai ossuary, tempat menyimpan kerangka. 

Biasanya jatah sewa kuburan maksimal 30 tahun. Setelah itu pihak keluarga yang masih hidup harus memutuskan apakah kontrak akan dilanjut atau kerangkanya dipindah ke ossuary yang ukurannya lebih kecil dan praktis, otomatis biaya sewa juga lebih murah.

Di pemakaman Oderzo, sepanjang sisi kiri kanan jalan masuk, kavlingnya sudah dibeli oleh keluarga-keluarga kaya. Berupa bangunan mini dengan aneka model yang dipersiapkan sebagai rumah masa depan keluarga mereka.

Kalau kita masih memikirkan rumah untuk bisa bertahan hidup dari hujan dan panas, mereka sudah menyiapkan tempat tinggal setelah hidup.

Makam-makam Keluarga (Foto dok. Pribadi)
Makam-makam Keluarga (Foto dok. Pribadi)

Dari debu ke debu. Saya pernah menghadiri pemakaman teman yang dikubur di tanah. Rupanya dalam lubang tersebut, sudah siap kotak beton persegi ukuran peti yang dilebihkan beberapa senti. Sama seperti bentuk lucolo, hanya letak lubangnya yang beda. Selesai peti diletakkan dalam lubang tersebut, pendeta (imam) dan keluarga menabur sejumput tanah sebagai simbol dari tanah ke tanah. 

Setelah itu, petugas langsung menutup lubang dengan lempengan beton seukuran lubang sebagai segel. Tak sampai 30 menit termasuk ibadah kubur, prosesi pemakaman selesai. Lengkap dengan lapis semen sebagai segel dan peletakan nisan. Hal yang sama dengan pemakaman dalam relung/ceruk di dinding (lucoli).

Belajar dari hal-hal sepele di Oderzo, saya memetik butir-butir manfaat yang bisa dipetik. Keluarga dan banyak pihak tidak membuang waktu berlama-lama di pemakaman. 

Biaya sewa tenda dan tenaga penggali bisa ditelan. Pemanfaatan lahan sempit, bisa dimaksimalkan. Dari segi keamanan, makambeton yang ditanam di tanah ataupun di dinding, tampaknya kuat dan solid, tahan terhadap ancaman cuaca seperti banjir dan longsor.

Ashes to ashes, dust to dust. Indonesia masih memiliki tanah yang membentang luas, jadi sistem pamakaman seperti di Italia dan banyak negara lain, mungkin tidak pernah terpikirkan. Tapi dari segi pemanfaatan lahan untuk kegiatan mereka yang masih hidup, barang kali sistem ini bisa dipertimbangkan. Apalagi Jakarta dan Jawa semakin hari semakin padat. Atau mungkin untuk ibu kota baru?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun