Akhir Januari lalu, saya ditawarkan untuk mengisi rubrik di website teman. Awal pembicaraan, rubrik ini mengasuh aneka hasta karya yang saya hasilkan selama ini seperti rajut, lukis, sulam, jahit dan tentunya daur ulang aneka sampah menjadi barang seni. Karena idenya sejalan, tawaran ini langsung saya sambut dengan positif.
Besoknya saya siapkan semua dokumen berupa foto-foto karya yang pernah saya pajang di media sosial selama masa pandemia, sebab tema utama rubrik ini berkaitan dengan kegiatan mengisi masa lockdown. Tentu berikut manual dari setiap karya yang saya tampilkan. Sesuai titel saya sebagai ‘pengasuh’ rubrik, setiap foto saya jelaskan dengan rinci, mulai dari bahan yang diperlukan, langkah-langkah pengerjaan dan seterusnya.
Karena website ini masih tahap penjajakan, sangat dimaklumi jika sistem pengelolaannya masih agak kacau. Perbedaan waktu antara Italia dan Indonesia juga sedikit membingungkan petugas IT di Jakarta yang harus mengunduh semua tulisan kami. Waktu itu hanya kami bertiga yang mengelola website ini, yaitu teman pemilik website, seorang teman lain sebagai editor dan saya sebagai penulis rubrik yang diberi nama KRIYA.
Lewat seminggu, paket tulisan saya belum juga dipublikasikan, padahal saya sudah memenuhi apa yang diminta teman saya. Untuk bertanya, agak sungkan sebab dua tulisan yang sudah dia terbitkan sebelum saya bergabung, hanya bercerita profil teman lain selama mengisi masa lockdown dengan ‘hobi baru’ seperti melukis. Sedangkan paket dokumen yang saya tulis dan kirim, berisi kegiatan saya sebagai ‘hobi lama’ yang kebetulan dikerjakan selama masa pandemi tahun lalu. Jadi saya pikir, mungkin tidak sesuai atau tidak aktual untuk rubrik ini.
Suatu hari teman saya mengusulkan nama calon untuk saya liput. Mencontoh dua profil sebelumnya yang dia tulis, saya berusaha mengikuti kerangka tulisan tersebut. Karena saya terbiasa menulis panjang dan rinci, maka hasil tulisan saya langsung terbaca ‘asli’ oleh teman-teman yang sudah akrab dengan gaya tulisan saya.
Berhasil. Tokoh yang saya tulis, sangat gembira luar biasa. Secara implisit, rubrik ini ikut mempromosikan jenis usahanya. Lanjut profil berikutnya yang tak kalah gembira. Dan berikutnya, serta berikutnya. Sebagai penulis, saya juga ikut senang kalau mereka puas dan sangat sukacita. Akhirnya saya bisa berbuat sesuatu yang sangat positif untuk orang lain dari kegiatan tulis menulis.
Masuk tulisan kelima, pagi itu saya ditelpon oleh 'profil' yang menyatakan kecewa dengan tulisan yang terbit. Wah!? Langsung saya kaji ulang hasil tulisan tersebut yang sudah dipublikasikan lewat media sosial di laman saya. Biasanya saya teruskan ke publik kalau saya tekan tombol 'oke'. Tapi karena tulisan ini tidak sesuai dengan hasil wawancara, jadi saya tahan untuk tidak dipublikasikan.
Saat membaca judul, mulut saya langsung monyong seraya menyuarakan bunyi “Oh.. oh..!?” Saat membaca isi, napas saya tertahan karena ikut syok dengan hasil tulisan yang diedit oleh teman saya pemilik website yang berlatarbelakang jurnalis.
Sepanjang hari itu, sepanjang malam.. bahkan dalam beberapa malam saya dilanda overthinking!! Bertepatan masa menopause, suami saya tidak heran kalau jam tidur malam saya terganggu. Dia pikir, semuanya karena efek hormon alami wanita paruh baya seusia saya. Tapi yang sebenarnya, saya sedih karena hasil tulisan artikel ‘profil’ yang mencantumkan nama saya, telah membuat seseorang berduka. Dengan kata lain, tulisan yang mengatasnamakan saya, tak selamanya membuat orang lain bahagia.
Seminggu berlalu, saya tetap konsisten menerbitkan profil lain setiap Selasa yang menjadi jadwal tetap untuk rubrik Kriya. Hari itu, kembali pujian mengalir dari profil yang baru saja saya terbitkan. Hari-hari pun tambah semarak dengan dering telpon yang mengucapkan terima kasih. Mungkin mereka pikir wajib menyampaikan ucapan sakti ini setiap hari sebagai ungkapan sukacita mereka. Sementara ada satu orang yang bahkan tak berani membaca artikel bergambar dirinya.
Saya pribadi memaklumi sikap teman pemilik website yang notabene jurnalis. Judul berita memang harusnya ditulis yang ‘wah’, sedikit heboh agar dilirik pembaca. Jurus ini memang terbukti manjur. Tapi akhirnya isi tulisan jadi mengikut judul yang jelas merombak maksud awal tulisan. Jelas berbeda dari aslinya. Sungguh dilema, karena saya paling malas berdebat walau sadar bahwa masalah ini harus diselesaikan.
Berhari-hari saya mencari akal untuk membebaskan overthinking yang akhirnya menyulut ke vertigo. Saya pun mulai melirik dan mempelajari kompasiana. Akhirnya mencoba untuk mendaftar yang ternyata tidak gampang. KTP Jakarta saya sudah kadaluarsa. Maka saya memakai paspor untuk mendaftar akun. Entah formatnya yang salah, entah alamat rumah saya yang aneh sebab tidak ada pilihan kota dan propinsi pada kolom tempat tinggal, dan seterusnya.
Walau belum berhasil dengan akun, saya tetap 'klik' untuk mendatakan tanggal dan jam tayang artikel pertama yang saya tulis berdasarkan hasil wawancara dari narasumber. Saat mengetik ulang artikel tersebut, ada rasa ‘plong’ yang sulit dikatakan. Tulisan mengalir seperti sungai. Candaan saya membuka awal tulisan untuk menggiring pembaca menyelam riang memahami maksud yang ingin saya sampaikan.
Pada hari tulisan tersebut muncul, akhirnya terdengar suara di ujung telepon yang membahana dengan riang. Saya hanya menarik napas lega dan tersenyum bahagia membayangkan sukacita teman yang beberapa hari itu ikut overthinking. EUREKA!! Saya menemukan solusi dari overthinking yang semingguan lebih merisak jam tidur.
Terima kasih kompasiana. Sejak terbit artikel pertama, saya bisa melanjutkan tidur dengan nyenyak. Bahkan bulan di atas langit Oderzo ikut tersenyum menemani malam-malam saya dengan sejuta mimpi. Sebab hanya bulan yang mengerti saat saya gundah gulana dilanda overthinking!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H