Mohon tunggu...
Claudia Marta A
Claudia Marta A Mohon Tunggu... Freelancer - Amateur Writer

Menulis untuk Mengetahui

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengenal Atmakusumah Astraatmadja, Tokoh Pers Indonesia

31 Desember 2019   19:00 Diperbarui: 25 Januari 2020   20:06 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan yang berujudul "Soeharto Seperti Raja Telanjang" tersebut menurut Atma sebagai sebuah metafora. Atma merasa tulisan tersebut hanya metafora yang menggambarkan bahwa ada orang yang masih berani mengatakan pendapatnya secara jujur ketika semua orang tunduk kepada Soeharto. 

Beliau mengakui bahwa menjadi saksi ahli tidak berpengaruh besar terhadap persidangan dalam pengadilan malah sering kali memberatkan aktivis. Namun Atma memiliki keyakinan bahwa kebebasan berekspresi masih tetap dapat dipertimbangkan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Terpilih Menjadi Ketua Dewan Pers (2000-2003)
Abdurrahman Wahid pada 19 April 2000 mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 2000 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Pers baru. Rapat pleno Dewan Pers dilakukan pada 17 Mei 2000, dimana Sembilan[1] anggota Dewan Pers bersidang untuk menentukan Ketua, Wakil Ketua, dan menyusun Komisi-Komisi. 

Dalam rapat pleno tersebut menetapkan Atmakusumah Astraatmadja sebagai Ketua Dewan Pers dan R.H. Siregar sebagai Wakil Ketua.Ketika menjadi Ketua Dewan Pers ada beberapa persoalan yang harus dihadapi olehnya. Pada saat itu atau sekitar awal tahun 2000-an euphoria kebebasan pers memperoleh kesan negatif. 

Kebebasan pers di Indonesia dikecam sebagai kebebasan yang kelewat batas. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya penghargaan pada etika pers yang dilakukan khususnya untuk tabloid-tabloid baru. Dengan adanya kemudahan menerbitkan media, muncul beberapa konflik manajemen disejumlah media. 

Kebebasan pers pada jaman itu juga memunculkan isu-isu yang terkesan sensasionalisme dimana banyak tabloid yang menulis laporan bersifat spekulatif dan tidak memperhatikan kode etik, contohnya saja bermunculan penerbitan tabloid atau media yang mengusung pornografi dan erotisme. 

Selain itu gaya jurnalisme agresif juga terlihat pada tabloid Warta Republik pada edisi Desember 1999 yang memberitakan mengenai persaingan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan mantan Menteri Pertahanan Edy Sudrajat yang memperebutkan cinta seorang janda. Berita tersebut disebut sebagai berita atas dasar rumor yang berkembang serta tidak dikonfirmasi atau wawancara kepada pihak yang terlibat tersebut.

Dalam posisinya sebagai Ketua Dewan Pers, Atma mengakui masih banyak kekurangan yang dilakukan pers di Indonesia. Beliau juga berpendapat bahwa kata pers yang kebablasan sebenarnya tidak dikenal di dunia pers. Justru yang terjadi adalah penyalahgunaan profesi wartawan dan fungsi pers. Pers memang harus kebablasan, dalam artian pers harus mampu melunakkan kebekuan, melakukan pembaharuan, dan menjadi inspirasi untuk perubahan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun