Mohon tunggu...
Helvira Hasan
Helvira Hasan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perempuan Biasa!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta untuk Ayah

26 November 2010   11:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:16 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terlahir dengan nama Cinara Pratita. Saat tatapan pertamaku dengan Ibu, beliau memanggilku cinta. Dari kata cinta itulah Ibu memberi nama lengkapku. Cin diimbuhi dengan akhiran -ara, Ta diimbuhi dengan awalan prati-. Jadilah nama itu tercetak di akta kelahiranku. Cinara Pratita, yang selalu dipanggil oleh ibu dengan sebutan... CINTA.

Hari ini, adalah hari yang sama dengan hari ketika aku muncul di muka bumi beberapa tahun yang lalu. Aku tak peduli berapa usiaku. Yang ku pedulikan... Aku terlahir karena panggilan cinta. Dan aku terlahir dengan nama cinta. Aku pun dibesarkan dengan cinta ibuku. Ayahku... Entah kemana. Orang-orang di sekitarku bilang, ayah hanya mencintai ibuku sementara waktu. Lalu dengan cinta yang semakin menipis, dia pergi meninggalkan ibu untuk perempuan lain yang ia cintai. Ayah gampang jatuh cinta. Dan ibu setia dengan cintanya pada ayah. Ibu rawat buah cintanya dengan cinta kasih. Tak dia biarkan cintanya tergantikan untuk lelaki lain. Ibu cintai aku, karena cintanya pada Ayah si pemberi benih.

"Ibu, kenapa Ayah tak pernah datang?" tanyaku dengan pandang penuh harap pada Ibu. Ibu diam saja. "Hari ini, ulang tahunku. Tak sekali pun Ayah memberi kado ulang tahun buatku. Mana cinta Ayah untukku, Bu?"

"Tanpa kado ulang tahun tak berarti Ayahmu tak mencintaimu, Cinta," jawab Ibu dengan senyum manisnya yang selalu bisa menjadi obat penenangku. Sekarang, giliranku diam. Aku tetap setia duduk di samping Ibu. Rajutan syal Ibu hampir jadi. Mungkin untukku, warnanya cerah, biru muda. Ibu selalu memberi kecerahan buatku. Jadi, mungkin memang rajutan itu untukku.

"Cinta, rajutan Ibu hampir jadi. Ini untukmu. Hadiah ulang tahunmu. Maaf, Ibu hanya bisa memberimu ini." Satu simpul lagi, jadilah syal biru mud, diselempangkan di leherku. Ibu menciumi kedua pipiku, lalu kami berpelukan hangat sejenak. Aku tersenyum bahagia pada Ibu.

"Terima kasih, Bu.Ini hadiah yang sangat berharga. Syal yang dihiasi dengan cinta kasih Ibu. Aku mencintaimu, Bu." Mataku buram, digenangi airmata yang tertahan. Tak ingin menangis. Aku tidak sedih, jadi tak perlu menangis. Aku tahu, ada tangis bahagia. Tapi aku lebih suka senyum bahagia. Jangan buang lagi air mata. Aku tak mau mataku kering, lalu tak bisa melihat Ibu.

Saat itu, jumat sore, perayaan ulangtahun pertamaku. Satu tahun sudah usiaku. Bukan perayaan yang mewah. Sederhana. Ibu, Eyang, Bude dan kedua anaknya. Hanya mereka yang datang. Ayah ditunggu Ibu di depan teras. Ayah janji akan pulang kantor lebih cepat. Pukul sembilan malam, belum juga Ayah datang. Eyang, Bude dan anak-anaknya tak lagi bisa menunggu. Mereka pun pergi. Tiup lilin dan potong kue tanpa Ayah. Tiup lilin dan potong kue dengan Ibu. Tanpa Ayah, Ibu tetap mencintaiku. Beliau tetap tersenyum bahagia karena setahun sudah usiaku.

Ibu menangis pilu saat kami tinggal berdua saja dirumah. Ayah tak kunjung pulang. Sudah hampir tengah malam. Berkali-kali Ibu menelepon ke kantor Ayah, tak ada jawaban. Ibu menunggu Ayah. Namun, Ayah tak pernah datang lagi sejak itu. Ayah meninggalkan kado pertamanya untukku, kepergiannya dengan perempuan lain. Hampir tiap saat Ibuku selalu berusaha menghubungi Ayah. Bahkan ke kantornya untuk menemui Ayah. Ayah tak peduli. Ayah memutuskan untuk hidup dengan perempuan lain. Cinta ayahku tergerus untuk Ibu. Ibu tetap mencintaiku.

Ayah tak pernah menemuiku. Katanya suatu ketika pada Ibu, aku ini bukan anaknya. Ibuku terluka. Maka tak lagi Ibu menemui Ayah. Aku pun tak lagi dikunjungi Ayah. Aku dibesarkan ibuku dengan cinta. Ibu tak ingin aku sedih tanpa Ayah. Ibu ingin aku tetap ingat Ayah, mendoakan Ayah di tiap pertemuanku dengan Tuhan. Ibu tak sedikit pun menanamkan kebencian pada Ayah. Maka aku pun tak membenci Ayah. Tapi, aku tak mengerti kenapa aku harus mencintai Ayah. Untuk apa doa-doa yang kupanjatkan buat Ayah?

Sekian tahun berlalu tanpa Ayah, sekian tahun berlalu dengan harapan Ayah akan datang memelukku sambil menyesali perbuatannya. Doaku belum dijawab. Tuhan, sampai kapan aku menunggu Ayah? Ibu, seorang pria akan melamarku. Dan aku belum mengizinkannya. Karena aku ingin dia melamarku dengan Ayah di sampingku.

"Cinta, aku harus tunggu berapa lama lagi? Lahir batin aku sudah siap jadi pendamping hidupmu. Kenapa kamu tak pernah mengizinkan aku ke rumahmu?" Itu lagi yang dia tanya. Haruskah kujawab lagi?

"Aku ingin kamu lebih bersabar. Aku belum siap karena Ayahku belum siap. Ibuku pun akan siap ketika Ayah telah siap." Kutinggalkan Banyu duduk di kafe tempat kami biasa kencan.Aku tahu dia mencintaiku. Aku pun mencintainya. Tapi, aku meragukan apakah itu cinta selamanya atau hanya cinta sementara. Tak ingin dia seperti Ayah.

"Ibu, ada seorang lelaki di hatiku. Namanya Banyu. Sudah dua tahun kami jalan bersama. Dan sudah berkali-kali aku tak mengizinkannya berkunjung ke rumah." Ibuku terperangah, sudah dua tahun, dan beliau baru tahu hari ini.

"Kenapa kamu baru ceritakan sekarang, Cinta?" Aku tak menjawab. "Kamu mencintai lelaki itu?" Aku mengangguk pelan. "Ajaklah dia kerumah, kenalkan pada Ibu." pinta Ibu dengan sangat.

"Tapi, Bu, aku tak ingin dia tahu tak ada Ayah di rumah ini." Ah... Kenapa kalimat ini yang keluar dari mulutku. "Bu, maafkan aku. Aku sungguh berharap dapat bertemu Ayah. Ayah yang Ibu bilang mencintaiku seutuhnya. Ayah yang Ibu pinta untuk selalu mendoakannya di tiap sujudku. Ayah yang tak pernah lagi kutemui sejak seperempat abad yang lalu. Ayah yang tak pernah menganggapku sebagai anaknya." Tak lagi terbendung air mataku.

"Cinta, jangan pernah dengar omong kosong itu. Kamu ini anak kandung Suryo Priyandono, ayahmu. Cintailah Ayahmu apa adanya."

"Cinta seperti apa untuk Ayah yang meninggalkanku, Bu? Kenapa aku tak dibiarkan menemui Ayah? Kenapa aku hanya menunggu disini bersamamu, Bu? Aku tahu Ibu terluka hingga tak sanggup menemui Ayah, bahkan mengajakku untuk mengunjungi Ayah. Ibu bilang tetap mencintai Ayah sampai mati. Tapi, kenapa Ayah dibiarkan bersama perempuan itu, Bu?"

Ibu pergi, dikunci pintu kamar itu. Aku duduk termenung merenungi kata-kataku barusan. Tersakitikah Ibuku karenanya? Maafkan aku, Bu.

Aku ingin bertemu Ayah. Tak cukup aku memandangi gambarnya. Aku harus menemuinya. Tapi, aku tak tahu harus cari Ayah dimana. Ibu tak pernah memberitahuku dimana Ayah tinggal. Kemana harus kumulai pencarianku. Aku menyesali kenapa tak dari dulu mencari Ayah. Apa Ayah masih ada? Kuharap Ayah belum meninggalkan dunia fana ini. Aku ingin bicara dengan Ayah. Kata Ibu, Ayah mencintaiku, tapi Ayah meninggalkanku. Kata Ibu, aku tak boleh membenci Ayah. Kata Ibu, sengaja Ibu memberi nama Cinta untukku, biar selalu ada cinta di hatiku, biar tak ada benci untuk siapapun. Aku mencintai Ibu, maka aku dengar kata Ibu, aku tak membenci Ayah, aku mencintai Ayah, dan aku akan mengatakannya langsung padamu, Ayah, aku mencintaimu. Yang Ibu katakan benar kan, Yah? Ayah mencintai Cinta, kan?

“Banyu, aku ingin kamu tahu yang sebenarnya. Sepertinya Ayahku tak pernah siap untuk menerimamu. Ayahku tak pernah ada. Kamu bisa bertemu Ibuku.”

“Apa maksudmu, Cinta?” Banyu bingung dengan kata-kataku.

“Ayahku telah lama pergi sejak usiaku baru satu tahun. Pergi meninggalkanku dan Ibu, demi perempuan lain. Sejak itu, aku tak pernah bertemu dengan Ayah.”

“Cinta, kenapa kamu baru cerita sekarang? Aku tak peduli dengan itu. Aku mencintaimu apa adanya. Tanpa Ayah pun, aku tetap akan melamarmu. Tak harus ada Ayah.” Banyu, terimakasih telah mengerti.

“Masalahnya, aku ingin ada Ayah disampingku saat acara sakral itu terjadi. Aku mencintai Ayahku, dan aku ingin Ayah ada saat aku berbahagia dilamar oleh lelaki yang mencintaiku apa adanya. Yang mencintaiku semoga untuk selamanya, yang semoga tidak seperti Ayah...” Ah...aku tak kuat lagi harus seperti ini. Kenapa aku harus selalu ingat Ayah, kenapa harus mencintai Ayah... Namaku memang Cinta. Ibu, haruskan cinta ini tetap kuberikan untuk Ayah?

Banyu mendekapku, dihapusnya airmata yang berlinang di kedua pipiku. Banyu, cintailah aku untuk selamanya.

“Cinta, jangan bersedih. Tak salah namamu Cinta. Biarpun Ayahmu meninggalkanmu, kamu tetap mencintainya. Berbahagialah dengan cintamu itu, Cinta. Karena cinta itu tak menyedihkan. Kamu selalu bilang itu...”

“Banyu... aku ingin mencari Ayahku. Aku ingin menemui Suryo Priyandono, ayah kandungku,” kataku lantang. Dilepaskan dekapan itu, Banyu menatapku tajam.

“Suryo Priyandono??? Nama yang tak asing.” Sebatang rokok lagi terapit di bibirnya. “Kamu yakin Ayahmu bernama itu?” Aku mengangguk cepat. Tentu saja aku yakin. Ibu selalu menyebut nama itu setiap kutanya siapa Ayahku. Ibu selalu bercerita tentang lelaki bernama Suryo Priyandono. Aku yakin dengan nama itu. Tak ada yang salah. Banyu tampak berpikir sambil jari-jarinya sesekali mengusap keningnya.

“Mungkin kebetulan saja namanya sama. Pamanku juga bernama itu. Tapi, tak pernah ada rumor di keluarga besarku dia beristri lebih dari satu. Aku akan mengenalkanmu dengannya. Tapi jangan terlalu berharap dia Ayahmu. Aku yakin bukan dia...”

“Banyu, bawa aku segera kesana. Aku ingin menemuinya.” Langsung saja kudesak Banyu untuk mengenalkanku dengan pamannya yang bernama sama dengan Ayahku. Aku sadar, bisa saja ini kebetulan sama. Tapi, bisa juga dia memang Ayahku. Peluangnya sama. Tak ada salahnya aku menemui paman Banyu yang bernama Suryo Priyandono itu.

Ibu tak tahu aku akan menemui lelaki itu hari ini. Yang kulihat, Ibu tampak senang karena Banyu sudah kukenalkan padanya. Pertama kalinya, Banyu menjemputku di rumah ini. Aku lega akhirnya perkenalan Ibu dan Banyu terjadi juga. Namun, ada beberapa hal lagi yang menghalangiku untuk meresmikan hubungan aku dan Banyu. Ayahku... yang semoga memang Ayah yang ‘kan kutemui nanti.

Perjalanan ini terasa lama. Banyu menyetir tanpa banyak bicara seperti biasanya. Aku pun tak tahu harus mengobrol apa dengan Banyu. Terasa lengang dengan musik di radio mengalun pelan. Sudah lebih satu jam perjalanan. Kutanya Banyu kapan perjalanan ini berhenti. Tak kukira sejauh ini. Banyu bilang aku akan menemui Pamannya di sebuah panti werdha di pinggiran kota.

Bangunan tua itu masih tampak kokoh, tertulis di sebuah papan, Panti Werdha Cinta Kasih. Kenapa lelaki itu ditinggalkan disini. Kalau memang dia Ayahku, betapa kasihannya. Kemana perempuan yang dulu dipilih Ayahku hingga tanpa kasihan Ayah meninggalkan Ibu dan aku. Tak sabar ingin segera menemuinya.

“Pamanku pemilik panti ini. Sejak istri dan kedua anaknya meninggal dunia tiga tahun yang lalu karena kecelakaan, paman lebih sering tinggal di sini. Ia mengaku lebih senang di panti bersama tetua-tetua lain yang sudah dianggap saudaranya.” Kudengar penjelasan Banyu seolah-olah dia ingin meyakinkanku bahwa pamannya bukan ayahku.

Sampai di depan pintu masuk, aku dan Banyu bertemu dengan seorang petugas panti yang sudah tak asing bagi Banyu. Perempuan baya dengan suara Jawa medoknya menyambut Banyu hangat. Ia pun langsung mengantarkan kami ke ruang santai panti. Mengantar kami ke tempat Paman Banyu berada. Saat ini, masih sebagai Paman Banyu. Masih berharap semoga dia memang lelaki yang kucari.

“Pakde,” sapa Banyu hangat. Lelaki tua itu pun tersenyum riang melihat Banyu. Bangkit dari kursinya, lalu ia memeluk erat Banyu. Ia masih tampak kuat, belum terlihat tua, usianya hampir 60 tahun. Keriput-keriput di wajahnya tak menyamarkan kesamaan paras dengan wajah lelaki paruh baya di foto ayah yang selalu ku simpan dalam dompetku. Tak salah lagi, paman Banyu adalah ayahku. Usianya pun sama. Tapi, aku tak bisa menodongnya begitu saja. Aku harus segera menanyainya.

“Banyu, hahaha... kamu makin gagah saja.” Beliau pun melihatku berdiri terdiam. Tak tahu harus bicara apa. Aku bahkan cukup kaget untuk mengakui beliau mirip Ayah. Seketika aku jadi tak yakin, bisa saja itu hanya halusinasi.“Gadis cantik, mari sini. Kamu pasti Cinta. Banyu sudah cerita padaku.” Kami bersalaman. Aku masih diam. Masih terus memandanginya, hingga benar yakin dia memang Ayahku yang terpajang di foto yang tiap hari kulihat. Tapi, kenapa tidak ada chemistry yang mengikatku dengannya. Dia begitu sangat asing. Apa hubungan darah ini tak cukup menyetrum suatu koneksi batin?

“Pakde, ada sesuatu yang ingin kami bicarakan dengan Pakde. Cinta sangat ingin bertemu dengan pria bernama Suryo Priyandono. Mendengar hal itu, aku cukup kaget. Apa mungkin Pakde orang yang dicari Cinta. Makanya kuajak Cinta ke sini,” kata Banyu.

“Oh ya? Memang benar itu namaku. Kenapa kamu mencari orang bernama itu, Cinta?” tanya lelaki tua itu dengan tenang. Kami sudah duduk di kursi ruangan ini. Tak banyak orang. Hanya ada kami dan dua orang nenek yang duduk berdampingan di kursi pojok ruang.Cukup jauh untuk bisa mendengar obrolan kami.

“Maaf, Pakde. Aku bingung harus mulai darimana.” Aku berusaha mencari kata-kata yang tepat. Dia memang lelaki di foto yang terpajang di rumah, di foto dalam dompet Ibu, juga dalam dompetku. “Apa Pakde mengenal perempuan bernama Ayu Dyah?”

Ibu, kenapa aku dibohongi? Ibu, siapa Ayahku? Ibu, kenapa kau bilang sahabatmu adalah Ayahku? Dia memang menikahimu, Bu. Tapi, dia bukan Ayahku. Dia memang sangat baik. Dia memang pantas aku doakan tiap saat. Dia memang telah menutupi aibmu. Dan memang itulah sahabat, Ibu. Ibu, biarlah yang lain kau bohongi. Biarlah yang lain menganggap kehamilan yang tak seharusnya itu akibat ulah sahabatmu. Tapi, jangan tutupi kenyataan itu dariku, Ibu.

Dia menikahimu karena lelaki bejat itu, Ayah kandungku, lari meninggalkanmu dengan aib perut yang akan membuncit itu. Dia menikahimu biar ada Ayah disaat aku dilahirkan. Dia menikahi sahabatnya, karena dia tak mau sahabatnya terluka lagi. Dia menikahimu, tapi dia bahkan tak menyentuhmu. Dia menyayangimu, Ibu. Tapi kenapa harus Ibu fitnah dia meninggalkanku demi perempuan lain. Perempuan itu memang sudah lebih dulu ada di hatinya. Dia pergi meninggalkan kita untuk perempuan yang sudah bersabar menunggunya. Karena cintanya untuk perempuan itu sesungguhnya. Cintanya untuk Ibu sebatas sahabat, Bu. Bukankah memang kesepakatan kalian begitu?

Ibu, jangan bohongi aku lagi. Ibu, katakan padaku! Siapa ayah kandungku? Aku akan tetap mencintainya, Bu. Karena aku adalah Cinta, hanya ada cinta di hatiku untuk Ayahku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun