Darah adalah cairan yang mengalir di dalam tubuh mahkluk hidup dan terdiri atas plasma darah, sel darah, dan platelet (trombosit). Pentingnya darah bagi makhluk hidup adalah untuk menyalurkan sari-sari makanan dan oksigen ke seluruh tubuh agar masing-masing bagian tubuh dapat bekerja sesuai fungsinya. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui berbagai jenis dan ukuran saluran yang disebut dengan pembuluh. Mengalirkan darah ke seluruh tubuh merupakan tugas jantung sebagai pompa.
Pada abad ke-20, tepatnya tahun 1930, Karl Landsteiner mengemukakan penggolongan darah berdasar sistem ABO yang didasari pada penelitian pencampuran darah antara individu manusia yang sebagian menggumpal dan sebagian tidak menggumpal. Secara lebih rinci, penggolongan darah yang ditemukan oleh Karl Landstainer berdasarkan pada ada tidaknya aglutinogen tipe A dan tipe B pada permukaan eritrosit serta ada tidaknya aglutinin tipe (anti-A) dan tipe (anti-B) di dalam plasma darah.
 Aglutinogen dapat disebut juga protein antigen, sedangkan aglutinin dapat disebut juga protein antibodi. Pada dasarnya, antibodi bertugas untuk menggumpalkan antigen yang masuk ke dalam tubuh agar tidak menyebabkan gangguan dan penyakit pada fungsi tubuh; maka aglutinin bertugas menggumpalkan aglutinogen.Â
Dengan adanya aglutinin dan aglutinogen, menyebabkan transfusi darah harus dalam jenis golongan darah yang sama antar individu. Bila tidak, akan terjadi penggumpalan darah yang membuat ginjal bekerja lebih keras untuk membersihkan darah yang menggumpal pada tubuh sehingga kerja organ tubuh yang lain menjadi tidak optimal.
Penggolongan darah selain menggunakan sistem ABO, dapat menggunakan sistem Rh (Rhesus) yang ditemukan oleh Karl Landstainer dan Wiener pada tahun 1940. Penggolongan darah dengan cara ini cukup mirip dengan sistem penggolongan ABO. Rhesus atau Rh merupakan jenis protein atau antigen yang berada pada permukaan sel darah merah.Â
Antigen yang digunakan untuk menggolongkan darah berdasarkan Rhesus disebut sebagai antigen D. Jika hasil tes darah seseorang menunjukan adanya antigen D dalam darahnya, ia termasuk RhD+. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki antigen D, ia termasuk RhD-.
Permasalahan yang sama ditemukan juga pada penggolongan darah berdasarkan rhesus. Bila terjadi transfusi pada pasien ber-rhesus negatif diberi darah ber-rhesus positif, maka akan terjadi aglutinasi atau penggumpalan. Hal ini terjadi karena darah rhesus positif membawa antigen yang dianggap "benda asing" oleh darah rhesus negatif.Â
Maka, darah rhesus negatif akan membentuk antibodi sehingga dapat melawan "benda asing" tersebut.. Pada transfusi yang pertama kebanyakan orang tidak bermasalah karena darah rhesus negatif tidak bertemu dengan antigen sehingga belum membentuk antibodi. Namun pada transfusi darah yang kedua dan seterusnya, bila tetap terjadi transfusi darah beda rhesus akan mengakibatkan aglutinasi (penggumpalan) sehingga terjadi lisis atau pemecahan eritosit (sel darah merah).
Peristiwa penggumpalan atau aglutinasi yang terjadi antara jenis darah berbeda, selain pada kesalahan transfusi darah, juga dapat terjadi pula pada kasus kehamilan beda rhesus antara ibu dengan janin. Rhesus janin biasanya menurun dari rhesus ayah. Selain itu, hal ini juga terpengaruh oleh kromosom ayah yang homozigot atau heterozigot.Â
Perbedaan rhesus darah pada kehamilan dapat menyebabkan pecahnya sel darah merah janin yang berujung pada kematian janin akibat animea berat. Kasus pecahnya sel darah merah (eritosit) pada janin di dalam kandungan disebut sebagai eritroblastosis fetalis atau Immune Hydrops Fetalis. Peristiwa ini memerlukan penanganan yang terperinci dan tepat karena tingginya angka kematian janin.
Bila ibu memiliki darah dengan rhesus positif mengandung janin dengan rhesus negatif tidak bermasalah karena antibodi janin yang menganggap darah ibu sebagai "benda asing" belum cukup kuat untuk memecahkan sel darah merah (eritrosit) ibu.Â