Malam kudus,
sunyi senyap
bintangmu gemerlap
....
Aku masih ingat betul.
Tahun lalu, dan setahun lalunya lagi, aku duduk diapit teman baik, memegang lilin, juga ponsel untuk Instagram Story ketika lagu ini dinyanyikan.
Ribuan lilin menyala, rasa haru mengudara, 'bintang buatan' ini sungguh indah.
Aku juga masih ingat betul.
Dua tahun lalu, juga setahun kemudiannya. Selepas seremoni, kita duduk mengitari meja.
Sebatas menyantap Penyetan, atau mie ayam. Masing-masing ditemani segelas teh hangat, sambil membuat perbincangan hangat.
Tentang hari kemarin, insiden kecil soal lilin dalam seremoni tadi, atau kisah di hari esok.
Aku tidak akan lupa tentang hari-hari itu, namun tak juga merindukan atau menginginkannya lagi.
Lalu untuk tahun ini? Tak perlu ditanya, lah....
Malam kudus kali ini sudah terjamin sunyi. Tak ada antrian mengambil, atau menyalakan lilin, tak ada ribuan bintang, tak ada Instastory.
Paling tidak, hanya ada segelintir orang seatap saja.
Lebih dari itu, ada banyak tradisi lain yang tak bisa terpenuhi tahun ini, sebab jarak berkuasa.
Entah untuk tukar kado, makan bersama, atau kongkow sampai pagi pun dilarang negara.
Lalu apa? Bagaimana harus merayakannya?
Tanpa itu semua, apa arti Natal tahun ini dengan segala larangan, serta hambatan yang ada?
Kristus.
Yang harusnya jadi pusat perhatian ketimbang dekorasi gedung, rumah, bahkan Pohon Natal.
Yang harusnya dilihat sebagai kado terindah dari Bapa, bukan sapu, kotak tisu, atau buku tulis dari Tukar Kado.
Yang harusnya jadi alasan untuk merayakan Natal, untuk bersukacita, sebab Ia lebih dari cukup untuk merayakan Natal tahun ini,
juga setiap Natal yang ada.
ketika segala seremoni lenyap (termasuk Pohon Natal) dan yang tersisa hanyalah lagu Natal
berputar ceria di pengeras suara tua milik Ayah, dilengkapi suara rintik hujan dan semangkuk sup masakan ibu, sisa jualan hari ini.