Mohon tunggu...
Clarissa Novita Safitriana
Clarissa Novita Safitriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Fiskal dalam Sudut Pandang Islam

29 Juni 2022   08:41 Diperbarui: 29 Juni 2022   08:42 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a. Ziswa (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf)
Zakat merupakan kewajiban untuk mengualarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syariat islam, guna diberikan kepada berbagai unsur masyarkaat yang sesuai dengan ketetapan syariat islam. Sementara infak, sedekah, dan wakaf merupakan pemberian seseorang secara sukarela atas sebagian hartanya yang juga sangat dianjurkan oleh islam. Dengan demikian Ziswa merupakan salah satu unsur unsur yang terkandung didalam kebijakan fiskal yang sesuai dengan tujuan kebijakan fiskal sendiri yaitu memaksimumkan kesejahteraan hidup manusia dan untuk mencapai kesejahteraan tersebut perlu diadakannya distribusi kekayaan yang berimbang dalam masyarakat. Sesuai dengan konsep fiqih sendiri dimana zakat merupakan suatu usaha dalam mempertemukan pihak surplus muslim dengan pihak defisit muslim dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan. Sehingga pendistribusian harta dapat dilakukan secara merata di tengah masyarakat. 

b. Kharaj
Kharaj merupakan pajak yang dibebankan atas tanah yang dimiliki. Kharaj sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Rasulullah setelah perang khaibar. Kharaj ini diberlakukan sejak Rasulullah memenangkan perang khaibar dan kharaj ini diperuntukkan kepada masyarakat yang non muslim karna pada saat itu masyarakat non muslim kehilangan tanah nya dan Rasulullah mengizinkan masyarakat non muslim untuk menempati tanah mereka kembali dengan syarat harus membayar pajak. Dengan seiring berkembangnya waktu kharaj ini berubah menjadi semacam pajak tanah seperti pajak bumi bangunan (PBB). Namun kharaj sendiri memiliki ketentuan tersendiri yang berbeda dnegan pajak bumi bangunan, dimana kharaj ditentukan berdasarkan tingkat produktivitas dari tanah bukan berdasarkan zoning (penetapan daerah / wilayah) dan juga mempertimbangkan bagaimana karakteristik/tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman dan jenis irigasi. Dan yang menentukan besar kecilnya pembayaran kharaj ialah pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk tanah yang bersebalahan sekalipun meski luas tanahnya sama sementara jenis tanaman dan hasilnya berbeda, maka mereka akan membayar jumlah kharaj yang berbeda pula. Sementara dalam PBB (Pajak Bumi Bangunan) pajak dikenakan terhadap setiap tanah dan bangunan yang merupakan hak milik dan dikenakan setiap tahunnya.
c. Jizyah

Jizya sendiri merupakan pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat non muslim ataas kompensasi terhadap fasilitas sosial, ekonomi. Layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara islam. Jizyah ini berlaku selama seseorang tersebut belum memasuki agama islam, jika seseorang tersebut masuk kedalam agama islam maka otomatis kewajiban jizyah ini akan gugur. Dan jizyah sendiri tidak wajib kepada seseorang non muslim yang memiliki ketidak mampuan untuk membayar Jizyah tersebut karena kefakiran atau kemiskinannya. Maka dari itu jizyah sendiri seperti pajak jiwa yang dikenakan pemerintah kepada warga asing yang masuk / menetap dalam wilayah kekuasaan suatu pemerintahan, yang mana istilah itu dikenal dnegan nama visa.
d. Usyur
Usyur merupakan pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang memasuki negara islam atau datang dari negara islam sendiri. Dan pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Pada mulanya pajak ini merupakan kebijaka resiprokal, dimana dengan tujuan untuk mengimbangi penguasa non muslim yang mengenakan pajak terhadap barang-barang dagangan kaum muslimin. Dan besarnya pajak ini pun bervariasi mulai dari 2,5% bagi pedagang muslim dan 5% bagi pedagang kafir dzimmi, dan 10 % bagi pedagang kafir harbi.
e. Pinjaman atau Utang
Pinjaman atau utang baik didalam negeri ataupun luar negeri dalam ekonomi islam ini sifatnya hanyalah sebatas penerimaan sekunder saja. Karna didalam ekonomi islam tidak mengenal sistem bunga, demikian pula untuk pinjaman dalam islam haruslah bebas dari bunga, sehingga pengeluaran pemerintah akan dibiayai pengumpulan pajak atau bagi hasil.
f. Penerimaan lain atau Kaffarat
Penerimaan lain atau biasanya disebut dengan kaffarat ini merupakan sebuah denda yang dijatuhkan kepada suami istri yang melakukan hubungan intim pada siang hari di bulan puasa. Jika terdapat pasangan suami istri melakukan hubungan intim pada bulan puasa maka mereka diwajibkan membayar denda dan denda tersebut masuk kedalam pendapatan negara. Selain kaffarat juga terdapat istilah warisan kalalah dimana warisan kalalah ini berlaku kepada seseorang yang meninggal dan tidak mempunyai ahli waris, maka harta warisannya akan dimasukkan ke dalam pendapatan negara.

  

     Berbagai instrumen atau formula dan aplikasi kebijakan fiskal Islam dilandasi oleh prinsip-prinsip Islam yang berkenaan dengan belanja publik. Mengacu pada alqawaid al-fiqhiyyah, Umer Chapra merumuskannya menjadi enam prinsip yaitu :

  • Pertama, kriteria pokok bagi semua alokasi pengeluaran adalah sejahteranya masyarakat.
  • Kedua, penghapusan kesulitan hidup dan penderitaan harus diutamakan di atas penyediaan kenyamanan.
  • Ketiga, kemaslahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit.
  • Keempat, suatu pengorbanan atau kerugian privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan dan kerugian public, dan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih besar dapat dihindarkan dengan memaksakan pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil.
  • Kelima, siapapun yang menerima manfaat harus bersedia menanggung biaya.
  • Keenam, sesuatu di mana tanpa sesuatu tersebut kewajiban tidak dapat terpenuhi maka sesuatu itu hukum wajib

   Mengacu pada praktik di masa Rasulullah, dapat digaris bawahi bahwa kebijakan fiskal Islam merupakan kebijakan keuangan publik terkait dengan prinsip penyelenggaraan negara untuk kemaslahatan umat. Seluruh warga negara bagaikan berada dalam satu keluarga besar. Ada rasa sepenanggungan dan saling menjamin (takaful).

Penulis : Clarissa Novita Safitriana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun