Akhir tahun selalu menjadi momen yang penuh kebahagiaan dan sangat dinanti oleh banyak orang untuk merayakan pergantian tahun bersama keluarga dan teman-teman. Namun, suasana gembira tersebut berbanding terbalik dengan situasi di dunia penerbangan Korea Selatan, yang saat ini sedang dirundung duka mendalam akibat peristiwa tragis jatuhnya pesawat Jeju Air.
Pesawat Jeju Air dengan nomor penerbangan 2216, rute penerbangan dari Bangkok, Thailand-Muan, Korea Selatan mengalami kecelakaan di Bandara Internasional Muan, Provinsi Jeolla Selatan pada minggu (29/12/2024) pukul 09:03 waktu setempat. Pesawat ini merupakan buatan dari perusahaan boeing, lebih tepatnya boeing 737-800. Di dalam pesawat Jeju Air ini terdapat 181 orang penumpang yang terdiri dari 175 orang penumpang, dan 6 orang kru. Diperkirakan korban jiwa berjumlah 179 orang dan korban selamat berjumlah 2 orang. Peristiwa kecelakaan pesawat Jeju Air ini kemudian disebut sebagai salah satu kecelakaan udara paling mematikan dalam sejarah penerbangan Korea Selatan
Berikut rangkuman kronologi serta beberapa fakta mengenai insiden kecelakaan yang menimpa pesawat Jeju Air dari beberapa sumber.
Kronologi insiden kecelakaan pesawat Jeju Air
Pesawat Jeju Air dengan nomor penerbangan 2216 mengalami kecelakaan saat akan mendarat di bandara internasional Muan, Provinsi Jollnam-do, Korea Selatan pada Minggu 29 Desember pukul 09:03 waktu setempat. Dilansir dari kanal youtube Korea Reomit pada pukul 8:54 waktu setempat kontrol tower dan pesawat sudah berkomunikasi dan pesawat diberikan izin mendarat di bandara Muan. Kedua pihak setuju untuk mendarat ke arah selatan, 3 menit setelahnya pada pukul 8:57 waktu setempat kontrol tower memberikan infromasi bahwa ada pergerakan burung di sekitar bandara, informasi tersebut kemudian diterima oleh pesawat, namun 2 menit setelahnya pada pukul 8:59 waktu setempat pesawat dikabarkan mengalami Bird Strike atau ada burung yang tanpa sengaja tersedot masuk ke dalam mesin peswat.
Setelah mengalami bird strike pesawat memberi kabar kepada kontrol tower bahwa mereka sedang berada di posisi emergency dan menyatakan mayday. Bersamaan dengan itu pesawat neminta izin kepada kontrol tower untuk mengubah pendaratan yang semula mengarah ke selatan menjadi ke arah utara, yang kemudian diizinkan oleh kontrol tower. Pada pukul 9:02 waktu setempat pesawat berhasil mendarat namun tidak berjalan dengan baik, kemudian sekitar pukul 9:03 waktu setempat pesawat mengalami kecelakaan dan meledak setelah menabrak localizer bandara.
3 fakta tentang kecelakaan pesawat Jeju Air
1. Pesawat menabrak localizer
Dikutip dari SDF Aviaton localizer (LLZ) merupakan Subsistem peralatan Instrument Landing System (ILS) yang memberikan panduan garis tengah dari landasan pacu bagi pesawat udara yang akan melakukan prosedur pendaratan. Dalam kasus kecelakaan pesawat Jeju Air ini localizer di bandara Muan dibuat di atas beton dan beton tersebut tertutup oleh tanah, yang mana hal ini menjadi perdebatan karena cukup banyak ahli dari luar negeri yang mengatakan bahwa biasanya localizer tidak dibuat di atas beton, dan biasanya tidak ada tembok beton di tempat untuk landing atau mendarat. Localizer umumnya hancur apabila terkena pesawat.
2. Â Keputusan untuk memilih belly landing dibandingkan mendarat di air
Menurut analisis seorang pilot, peluang keberhasilan dan keselamatan saat melakukan pendaratan di air hanya sekitar 20%. Sebaliknya, jika pesawat melakukan pendaratan di landasan pacu dengan metode belly landing (mendarat tanpa menggunakan roda), peluang keberhasilan dan keselamatan lebih tinggi hingga mencapai 90%. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan keselamatan dan analisis risiko, kemungkinan pilot Jeju Air lebih memilih untuk melakukan belly landing. Keputusan ini diambil karena metode tersebut menawarkan peluang keselamatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendaratan di air, yang memiliki tingkat keberhasilan dan keselamatan yang jauh lebih rendah.
3. Belly landing yang sempurna dan pilot yang tetap berusaha hingga detik terakhir
Belly landing merupakan metode pendaratan pesawat tanpa menggunakan roda pendaratannya, sehingga menggunakan bagian bawah pesawat (perut pesawat), sebagai media untuk pendaratan. Menurut analisis para ahli, proses belly landing yang dilakukan oleh pilot dalam insiden pesawat Jeju Air ini dinilai sangat sempurna. Keberhasilan tersebut terlihat dari minimnya percikan api yang terjadi, sehingga dampaknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kecelakaan serupa pada pesawat lain. Kemungkinan besar, mesin pesawat mengalami kegagalan akibat bird strike, namun berdasarkan foto dan video yang beredar mengenai insiden ini, jika diamati lebih seksama, terlihat jelas bahwa hingga detik-detik terakhir, pilot pesawat Jeju Air tetap berusaha untuk memegang kendali. Pilot terus berupaya keras untuk mengerem atau menghentikan laju pesawat semaksimal mungkin, meskipun berada dalam kondisi yang sangat sulit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H