“Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya di dapur?”
“Jangan sekolah tinggi-tinggi nanti gaada laki-laki yang mau sama kamu”
Pertanyaan - pertanyaan itu adalah beberapa contoh yang kerap didengar para perempuan terutama perempuan yang belum memiliki pasangan saat mereka sedang menjalani pendidikan tinggi. Reaksi-reaksi tersebut seringkali diucapkan banyak orang yang setuju dengan anggapan bahwa perempuan harus mengurus dapur. Ini sangat tidak sesuai dengan kesetaraan gender dalam kehidupan bahwa hanya laki-laki yang berhak untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena hal ini dapat membatasi potensi yang dimilikinya. Pertanyaan pertama tersebut kerap kali mengundang kontra karena bersekolah tinggi itu merupakan hak setiap orang. Orang tersebut berhak memilih apakah dia ingin bekerja atau bersekolah ataupun ingin menjadi ibu rumah tangga. Selain itu, jika perempuan berpendidikan tinggi akan lebih bijak dalam mengurus keluarganya karena pola pikir yang didapat juga berbeda sebab perempuan yang berpendidikan tinggi akan menemukan lingkungan yang mempengaruhi pola pikirnya juga.
Pertanyaan kedua menurut saya juga salah besar. Laki-laki yang cerdas dan berkualitas akan memilih perempuan yang memiliki pengetahuan yang luas dan pola pikir yang berkualitas juga. Menurut saya, perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung disukai oleh laki-laki yang berkualitas.
Bila dirinci, persentase perempuan berhasil memperoleh ijazah perguruan tinggi di perkotaan mencapai 13,51 persen sedangkan laki-laki sebesar 12,56 persen. Kemudian di pedesaan, sebesar 5,57 persen perempuan berhasil memperoleh ijazah perguruan tinggi, sementara laki-laki hanya mencapai 4,76 persen. Ini menandakan bahwa jumlah perempuan yang berhasil menamatkan perguruan tinggi lebih banyak daripada laki laki.
Menurut data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan pada tahun 2022 mencapai angka 72,96. Ini menunjukkan bahwa akses pendidikan dan kualitas hidup perempuan di Indonesia semakin membaik. Harapannya ini dapat mengubah stereotip bahwa wanita tetap berakhir di dapur meskipun berpendidikan tinggi.
Nyatanya, stereotip yang kerap kali kita dengar ini berasal dari orang-orang tua jaman dahulu yang masih beranggapan bahwa perempuan hanya memiliki tugas mengurus rumah. Hal inilah yang membuat perempuan ragu untuk memulai pendidikan. Padahal seharusnya dengan pendidikan, mereka bisa mengubah garis hidupnya. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga bisa mengurus rumah. Sekarang, sering didapati bahwa laki-laki mengurus rumah tangga dan istrinya yang bekerja. Untuk sebagian orang, hal ini pasti terasa aneh karena di dalam pola pikir kita sudah ditanamkan sejak kecil bahwa ayahlah yang bertugas mencari nafkah dan ibu mengurus rumah tangga.
Lantas bagaimana cara mengubah stereotip tersebut?
Mengubah stereotip yang sudah tertanam di pola pikir sebagian besar masyarakat itu tidaklah mudah terkhusus kepada mereka yang memang mempunyai bukti konkrit bahwa ada wanita yang berpendidikan tinggi memilih untuk mengurus rumah tangga dan kembali ke dapurnya. Sebenarnya cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan membuktikan pada mereka yang mempunyai stereotip seperti itu bahwa kita perempuan yang berpendidikan tinggi memiliki hidup yang lebih baik dari sebelumnya dengan memiliki pekerjaan yang sesuai.
Hal ini juga akan membuat pertimbangan bagi mereka akan stereotip yang mereka dapat itu tidaklah selalu benar dan lebih bagusnya lagi mereka akan juga ikut tertarik untuk memulai pendidikan. Potensi yang dimiliki oleh perempuan pun juga akan tersalurkan dan tidak dibatasi dengan stereotip semacam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H