Mohon tunggu...
Clarisa Shinta
Clarisa Shinta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sisi Feminisme Dalam Sepak Bola: Kampanye Tanda Merah di Liga Serie A

20 Mei 2024   22:04 Diperbarui: 20 Mei 2024   22:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, fenomena kekerasan terhadap perempuan masih menjadi perhatian masyarakat dunia. Pasalnya, semakin hari bentuk-bentuk baru akan kekerasan terhadap perempuan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya femicide atau pembunuhan terhadap perempuan yang merupakan bentuk manifestasi paling brutal terkait kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan ini juga sering dijumpai di dalam rumah tangga, perkantoran, sekolah, dan lain sebagainya. Pada dasarnya banyak faktor yang melatarbelakangi kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi. Seperti adanya faktor budaya atau pandangan patriarki yang menganggap bahwasanya laki-laki lebih tinggi kedudukannya dalam struktur masyarakat.[1] Kemudian juga terdapat faktor ekonomi, faktor kebencian, dan lain sebagainya.

Dampak dari kekerasan terhadap perempuan sendiri dapat berakibat pada kesehatan dan sisi psikologis perempuan. Adanya trauma pada perempuan akibat mengalami kekerasan berbasis gender dapat mengacaukan sistem fisiologis sensitive terhadap sistem tubuh sehingga membuat para penyintas atau korban berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan.[2] Selain itu dengan adanya trauma tersebut, juga dapat menimbulkan depresi dan rasa takut pada perempuan dalam menjalankan aktivitas sosialnya. Hal ini kemudian dapat berpengaruh pada munculnya hambatan dalam kinerja dan perkembangan perempuan dalam kontribusi masyarakat dan komunitas.[3] Kekerasan berbasis gender ini menjadi perhatian berbagai negara, seperti halnya Italia.

Italia saat ini cukup mengkhawatirkan akan fenomena kekerasan berbasis gender yang ada di negaranya. Merujuk dari statista, antara Januari dan Maret 2021 sekitar 4,3 ribu kasus kekerasan gender dilaporkan melalui panggilan ke 1522 atau saluran bantuan kekerasan gender dan penguntitan di Italia.[4] Ini menunjukkan bahwasanya Italia juga dihantui akan bayang-bayang ketidakamanan bagi perempuan dan kekerasan berbasis gender yang merebak. Salah satu kasus kekerasan berbasis gender yang menggemparkan Italia ialah kasus pembunuhan Giulia Cechhettin, seorang wanita muda berusia 22 tahun yang mengalami kekerasan berbasis gender oleh sang mantan kekasih dan berakhir tragis pada pembunuhan. [5] Kasus ini memicu kemarahan warga sipil dan para aktivis yang kemudian turun ke jalan untuk melakukan protes atau demonstasi atas kekerasan berbasis gender yang semakin menghantui perempuan Italia. 

Dengan melihat urgensi mengenai kekerasan berbasis gender yang ada di Italia maka hal ini perlu untuk segera diatasi. Banyak cara untuk mengatasi persoalan ini seperti dengan adanya gerakan sosial atau kampanye yang jelas kepada masyarakat mengenai bahayanya kekerasan berbasis gender dalam berbagai media. Salah satu media yang dapat menjadi wadah untuk kampanye anti kekerasan berbasis gender ini ialah melalui sepak bola. Sepak bola merupakan olahraga popular di kalangan masyarakat Italia. Merujuk pada survey tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Statista yang menyatakan bahwasanya 6 dari 10 orang Italia sangat menggemari olahraga ini.[6] Sejak abad ke 19, sepak bola telah mengakar dalam identitas budaya Italia.[7] Hingga saat ini, sepak bolah masih menjadi olahraga yang paling diminati dan memiliki tingkat partisipasi yang besar di seluruh negeri Italia. Populernya sepak bola ini dapat menjadi wadah politik maupun kampanye dan berbagai gerakan sosial yang ada. Dengan audiens yang cukup luas, hal ini dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai-nilai atau norma-norma tertentu di kalangan masyarakat Italia seperti menyebarkan nilai-nilai anti kekerasan berbasis gender.

Pada tahun 2020, sebuah kampanye yang dikenal sebagai "Red Mark" atau "Tanda Merah" diluncurkan di Serie A, liga sepak bola teratas di Italia. Kampanye ini bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menentang seksisme dalam sepak bola. Hal ini tentunya menjadi sorotan publik karena dianggap sebagai langkah yang signifikan dalam memperjuangkan nilai-nilai feminisme melalui dunia olahraga. Kampanye ini secara langsung diusung oleh Federazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC) sejak tahun 2020. Kampanye ini dipromosikan oleh Department for Equal Opportunities dengan dukungan dari Department for Information and Publishing. Inisiatif ini juga merupakan bagian dari proyek CREATIVE dan telah dibiayai oleh European Commission. Inisiatif penghapusan kekerasan terhadap perempuan ini dilaksanakan setiap tahun setiap tanggal 25 november.

Terkait peluncuran kampanye anti kekerasan berbasis gender di Serie A ini, Menteri Keluarga dan Kesetaraan, Elena Bonneti menyampaikan ucapan terima kasih kepada FIGC dan Presiden FIGC Gabriele Gravina, Pelatih Roberti Mancini, dan para pemain tim nasional Italia yang mendukung penuh kampanye anti-kekerasan berbasis gender tersebut. Bonetti juga mengungkapkan bahwasanya "Melalui bahasa dan nilai-nilai universal olahraga dan kontribusinya dari para pemain yang dipuja oleh kita semua orang Italia, kita ingin bersama-sama mendorong perubahan budaya di negara kita. Ini saatnya untuk memilih dan mempromosikan rasa hormat terhadap perempuan dan mengutuk perilaku kekerasan". [8] Kampanye ini dilakukan melalui berbagai dimensi dan aktor yang terlibat di dalamnya. Yang pertama ialah dari Federazione Italiana Giuoco Calcio atau FIGC itu sendiri selaku federasi asosiasi sepak bola di Italia. FIGC meluncurkan kampanye 1522 sejak tahun 2018 yang biasa dikenal dengan kampanye #UnRossoAllaViolenza

Kampanye #UnRossoAllaViolenza di Liga Serie A

Liga Serie A bekolaborasi dengan salah satu organisasi non pemerintah atau non-governmental organization (NGO), WeWorld Onlus untuk menghadirkan kampanye kesadaran melawan kekerasan terhadap perempuan atau #UnRossoAllaViolenza. Kampanye ini hadir di Serie A sejak tahun 2018. [9] #UnRossoAllaViolenza sendiri merujuk pada tanda merah pada kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, tagar tersebut juga merujuk pada kartu merah untuk mengusir berbagai kekerasan, serta mengusir ketakutan para perempuan korban kekerasan yang mereka jalani setiap harinya. 

Di dalam lapangan sendiri, kampanye ini ditunjukkan melalui para pemain dan wasit yang turun ke lapangan dengan tanda merah di wajahnya, serta didampingi oleh para anak perempuan yang mengenakan kaos kampanye tersebut. Hal ini seperti yang dilakukan pada matchday tanggal 26 November 2023 antara AC Milan dengan Fiorentina. Terlihat beberapa pemain seperti Christian Pulisic, bintang sepak bola asal Amerika Serikat menggunakan tanda merah di pipinya sebagai bagian dari kampanye anti kekerasan berbasis gender tersebut. 

Selain itu, dalam kampanye ini juga akan di pajang spanduk dan iklan kampanye di setiap stadion untuk menyadarkan masyarakat bahwa kartu merah yang lebih penting adalah kartu yang diberikan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Tak berhenti, di dalam lapangan saja, bentuk kampanye ini juga dilakukan melalui media sosial dengan unggahan foto para pesepakbola dengan pasangannya yang menyatakan komitmennya untuk melawan kekerasan terhadap perempuan dan juga menambahkan hashtag #UnRossoAllaViolenza dalam postingan seperti bintang pesepakbola Argentina dari klub AS Roma, Leandro Paredes dengan istrinya dalam unggahan berikut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun