We have the right to be heard
Apa yang muncul pertama kali ketika kalian mendengar kata patriarki?. Pendominasian yang dilakukan oleh para laki-laki? Kaum perempuan yang diremehkan oleh para laki-laki? Atau tidak adanya hak bagi perempuan untuk berbicara karena disepelekan oleh para laki-laki?
Semua kalimat diatas adalah bentuk dari adanya patriarki. Mari kita bahas lebih lanjut, apa sebenarnya patriarki itu?. Patriarki merupakan suatu sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Patriarki juga berasal dari kata patriarkat, yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia.
Menurut sejarahnya, patriarki sudah muncul sebagai suatu organisasi sosial, budaya, dan juga agama. Pada hakikatnya Patriarki itu hadir karena adanya ketimpangan kekuasaan antara kaum laki laki dan perempuan yang menyebabkan rasa ingin bersaing itu muncul diantara keduanya.
Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan. Hal ini menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior.
Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama.
Selain itu, produk dari kebijakan pemerintah yang selama ini tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan telah membuat perempuan sering kali menjadi korban dari kebijakan tersebut. Lemahnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan, menempatkan perempuan menjadi termarjinalisasikan.
Aspek historis dan budaya menempatkan perempuan sebagai pihak yang ditundukkan melalui hubungan kekuasaan bersifat patriarkat, baik secara personal maupun melalui pengaturan Negara.
Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua. Ini terlihat pada praktek masyarakat Hindu.
Misalnya, pada zaman Vedic 1500 SM, perempuan tidak mendapat harta warisan dari suami atau keluarga yang meninggal. Dalam tradisi masyarakat Buddha pada tahun 1500 SM, perempuan dinikahkan sebelum mencapai usia produktif. Mereka tidak memperoleh pendidikan, sehingga sebagian besar menjadi buta huruf.
Dalam hukum agama Yahudi, wanita dianggap inferior, najis, dan sumber polusi. Dengan alasan tersebut, perempuan dilarang menghadiri upacara keagamaan, dan hanya diperbolehkan berada di rumah peribadatan.
Begitu pula di Indonesia, pada era penjajahan Belanda maupun Jepang, perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi tentara-tentara asing yang sedang bertugas di Indonesia. Serta terdapat peraturan yang melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali mereka berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan.
Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini, ditengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak perempuan. Praktik ini terlihat pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga hasil dari praktik tersebut menyebabkan berbagai masalah sosial.
Alasan saya membahas tentang pentingnya mengetahui apa itu patriarki adalah untuk menyadarkan kaum perempuan bahwa budaya patriarki dinegeri kita harus dilawan. Karena kaum perempuan juga memiliki hak kebebasan dalam berpendapat dan juga menyuarakan apa yang kita inginkan.
Sebelum saya menutup artikel ini, saya ingin menyimpulkan dari apa yang sudah saya tulis diatas, bahwa sesungguhnya budaya patriarki itu salah, meremehkan kaum perempuan itu juga salah, dan seharusnya kaum laki-laki bisa lebih menghargai kaum perempuan karena mereka juga memiliki hak sebagai manusia yang merdeka.
Perjuangan melawan budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek yang lemah telah dilakukan sekitar satu abad yang lalu oleh Raden Ajeng Kartini, hingga sekarang tentunya telah terjadi banyak perubahan secara substansi, struktur, maupun kultur mengenai perjuangan perempuan. Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebijakan yang biasanya lebih ke arah gender dengan konstruksi yang lebih adil dan ramah perempuan, namun hal itu tetap harus diupayakan.
Perjuangan tersebut harus diikuti secara simultan dengan advokasi untuk mendukung terjadinya perubahan sikap dan perilaku secara struktural maupun kultural yang adil.
Perjuangan perempuan mengakhiri ketidakadilan gender bukan hanya sekadar melawan ketidakadilan, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur masyarakat serta budaya patriarki yang memiliki stigma negatif.
Tentunya sebagai pihak profesional, pekerja sosial memiliki kewenangan dalam membantu mengatasi berbagai hal yang terjadi akibat dari pengaruh budaya patriarki tersebut melalui cara-cara yang tersistematis dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H