Mohon tunggu...
Claresta Queena Nuri
Claresta Queena Nuri Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswi UMM

Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Self Diagnose, Boleh Nggak Sih?

29 September 2021   23:37 Diperbarui: 29 September 2021   23:50 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernah nggak, ketika kalian membaca sebuah artikel mengenai suatu penyakit, kalian merasa ciri-ciri yang disebutkan sesuai dengan apa yang kalian alami?

Atau ketika kalian mengalami sesuatu pada tubuh atau perasaan kalian, kalian segera mencari tahu di internet apa yang terjadi pada kalian?

Dua hal tersebut bisa dikategorikan sebagai self-diagnose, yaitu upaya seseorang mendiagnosis atau mengkategorikan kondisi dirinya tanpa menemui pihak ahli.

Apalagi di era revolusi industri 4.0 dengan kemudahan akses internetnya ini. Orang jadi mudah mencari informasi dimanapun dan kapanpun. Namun sayang, penerapan self-diagnose dinilai kurang tepat karena hanya berdasarkan feeling orang tersebut, tanpa tanggapan dari diagnosis tenaga medis.

Kasus yang paling sering terjadi, ialah seseorang merasa dirinya sedang mengalami depresi setelah membaca artikel atau bacaan yang menyebutkan gejala depresi dan merasa gejala tersebut sedang ia alami. Padahal belum tentu orang tersebut mengalami depresi. Bisa saja ia hanya mengalami stress, sedih, atau bahkan bisa jadi ia sedang mengalami gangguan kesehatan yang lain.

Lalu kenapa sih self-diagnose tidak dianjurkan?

Mencari tahu kondisi tubuh, ketika ada yang salah, melalui internet wajar-wajar saja, karena bisa membuat kita lebih waspada mengenai kemungkinan penyakit yang dimiliki. Tetapi diusahakan jangan sampai menyentuh tahap self-diagnose. Karena, self-diagnose tanpa diagnosa resmi tenaga ahli bersifat belum pasti.

Seorang dokter yang sudah berpengalaman bahkan masih bisa melakukan kesalahan pada diagnosisnya, apalagi seseorang yang hanya menyimpulkan sebuah diagnosa dari informasi sekilas yang dia dapat?

Dokter atau tenaga ahli menyimpulkan sebuah diagnosa berdasarkan keluhan pasien, gejala pasien dan tes-tes lanjutan jika diperlukan. Sedangkan seseorang yang melakukan self-diagnose tidak memiliki data yang akurat untuk mengeluarkan diagnosa.

self-diagnose dapat menimbulkan kecemasan berlebih, karena mengkhawatirkan penyakit yang belum tentu diderita. Parahnya, hal tersebut dapat berlanjut dengan timbulnya penyakit-penyakit lain yang tidak diinginkan. 

Misal, kita mendiagnosa diri mengidap bipolar karena sering mengalami perubahan mood yang ekstrim, padahal kita hanya mengalami stres yang cukup mengganggu dikarenakan padatnya kegiatan. Kita yang sudah berasumsi mengidap penyakit bipolar dapat mengalami cemas dan panik yang bisa memicu stres berkepanjangan, overthinking, putus asa, atau hal-hal yang lain.

Ketika melakukan self-diagnose bisa jadi terdapat gangguan lain yang malah tidak terdeteksi oleh kita. Seperti penyakit atau gejala yang kita alami lebih parah daripada yang kita duga, tetepi kita malah menyepelekan hal tersebut, yang menyebabkan tertundanya pengobatan.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang lebih memilih melakukan self-diagnose ketimbang berkonsultasi kepada dokter, psikolog, atau tenaga ahli lainnya.

Menggunakan mesin pencari Google (internet) dianggap lebih cepat dan lebih mudah disesusaikan yaitu, kemampuan untuk memasukkan gejala secara bebas di mesin pencari daripada pemeriksa gejala. (Aboueid, Meyer, Wallace, Mahajan, & Chaurasia, 2020). 

Kutipan tersebut membuktikan bahwa, orang-orang kini lebih menyukai sesuatu yang simpel. Mengakses internet dari rumah, atau dari manapun mereka berada terdengar lebih mudah dibandingkan harus menghubungi dokter yang mengharuskan mereka untuk membuat janji terlebih dahulu. 

Banyak pasien yang lebih untuk mempercayai informasi yang ada di internet. Alasannya adalah mereka takut pada apa yang dikatakan dokter mengenai keluhannya. Mereka takut jika ternyata keluhannya merupakan gejala dari suatu penyakit yang buruk. Alasan lainnya adalah kurangnya kepercayaan pasien terhadap dokter yang akan menanganinya atau yang telah menanganinya pada kasus yang berbeda (Kim & Kim, 2009).

Zaman boleh maju, tetapi kita juga harus bijak. Jangan terlena dengan nikmat kemudahan yang diberikan. Untuk mengurangi atau bahkan meniadakan self-diagnose, kalian bisa langsung mendatangi dokter, atau mengakses konsultasi online official.

Ingat ya! Jangan mengandalkan self-diagnose berlebihan. Lakukan sebatas bentuk kewasapadaan lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih lanjut dengan tenaga ahli. Jangan mengambil resiko ya teman-teman.

Claresta Queena Nuri

202110230311215

Daftar pustaka  

Nadya, R. A. P. (2019, Desember 26). Mental Illness : Boleh Gak Sih Kita Self-Diagnose?.  

Muhammad, F, A. (2019). Analisis Pasien Self-Diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. doi:10.31227.

Riliv. (2020, November 19). Jangan jadi dokter bagi diri sendiri | bahaya self diagnose . Diakses 27 September 2021

Stephanie, A., Samantha, M., James, R, W., Shreya M., Ashok, C. (2021). Young Adults’ Perspectives on the Use of Symptom Checkers for Self-Triage and Self-Diagnosis: Qualitative Study. JMIR Public Health Surveill. doi: 10.2196/22637

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun